Sabtu, 11 Desember 2021

Karma

Mungkin ini yang dinamakan karma. Pernah meninggalkan seseorang begitu saja karena tak pernah merasa menyayanginya sedikit pun dan merasa perbedaan antara aku dan dia semakin jauh. Namun sekarang berbalik, aku mencintai seseorang yang tak pernah mencintaiku, walau ia pernah memperlakukan seakan penuh kasih.

Mungkin ini yang dinamakan karma. Semakin menjauh semakin dicari. Namun, aku punya gengsi. Tak 'kan runtuh dinding pertahananku agar tidak berusaha menghubunginya lagi.

Semoga tak hanya sekadar ambisi. Agar aku tak kalah dengan karma ini.

Senin, 22 November 2021

Kembali

Kamu pulang jam berapa?

Tiba-tiba ada notifikasi masuk di smartphone-ku. Dari seseorang yang sudah kira-kira enam bulan tidak bertukar kabar apapun denganku. Hahh... Aku hanya bisa menghela napas berat.

Paling lambat jam 16.30.

Nanti aku jemput. 

... 
Tidak kubalas lagi pesannya. Sekarang otakku sibuk memikirkan perihal apa lagi yang ingin ia bicarakan. Kapan siklus ini akan berhenti? Tak ada seorang pun yang tahu jawabannya.

***

Jam dinding kantorku sudah menunjukkan pukul 16.00. Aku meregangkan badanku yang masih duduk di kursi semenjak tiga jam lalu dan memutuskan untuk mengemasi barangku saja. Sebenarnya sudah tidak bisa fokus lagi bekerja semenjak pesan darinya masuk. Setelah komputer kumatikan, dan isi tasku sudah lengkap, aku menuju mushola. Memang saatnya paling tepat untuk melamun dan curhat kepada Yang Maha Membolak-balikkan Hati.

Selepas shalat dan merapikan mukena, aku membuka smartphone-ku, dan ada pesan masuk di sana.

Aku sudah sampai. 

Pesannya masuk sepuluh menit yang lalu. Kuketikkan jempolku untuk membalasnya.

Sebentar lagi aku turun.

Aku kembali ke meja kerjaku, dan melihat sekeliling. Beberapa rekan kerjaku sudah pulang. Aku pun mengambil tas dan berpamitan kepada yang lain untuk pulang juga.

***

Ting!

Pintu lift terbuka, tanda sudah sampai di lantai dasar. Aku berjalan melintasi lobi, menyapa rekan sejawat yang juga ingin pulang. Sesampai di depan gerbang kantor, tidak jauh di sebelah kiri ia menunggu di atas motornya, dengan sweater biru dongkernya yang biasa, celana jeans biru yang tak sebelel biasanya, sepatu Vans hitam kesayangannya, dan sebatang rokok yang sudah mau habis di antara kedua jarinya.

Aku mendekatinya. Tanpa ada perubahan suasana hati. Biasa-biasa saja. Mungkin malah wajahku begitu datar, seperti ini hal yang sudah biasa terjadi. Ya, memang dulu biasa terjadi. Entah bulan apa terakhir ia menjemputku. Dan setelahnya sudah tak menjadi kebiasaan, karena ia tak lagi memberikan kabar.

"Sudah?" tanyanya padaku setelah aku berhenti di sebelahnya. Aku hanya mengangguk. Ia menyerahkan helm padaku untuk dipakai. "Bisa 'kan pakai helmnya? Soalnya cuma kamu yang pakai helm itu," kalimat yang sama setiap ia menjemputku setelah sekian lama tak muncul di hadapanku. Kalimat yang selalu membuatku ngedumel dalam hati, "Kenapa sih harus ditambah embel-embel cuma aku yang pakai? Biar apa?"

"Kita ga langsung pulang gapapa?"

"Terserah kamu." Jawaban andalan para wanita terlontar dari mulutku.

"Yaudah, kita mampir sebentar ya ke salah satu kafe. Atau kamu lapar? Mau sekalian makan malam?"

"Terserah." Terserah kedua. Terbayang ya seberapa aku sudah tidak memikirkan apa-apa. Yang kupikirkan hanya apalagi maksud dan tujuan lelaki ini menemuiku. 

Akhirnya ia menghidupkan motornya dan mulai berkendara berkeliling kota. Sial, aku jadi ingat waktu itu, di jalan yang sama, tanpa bilang-bilang ia juga mengajakku berkeliling sebelum pulang. Aku bilang padanya tumben sekali, karena biasanya ia paling malas jalan-jalan tidak jelas tanpa tujuan. Dan jawabannya hanya karena ingin membuat memori denganku di jalan yang sangat sering ia lewati. Jawaban yang dulu membuat perutku kegelian dan pipiku bersemu merah, sedangkan sekarang hanya menimbulkan tanda tanya besar mengapa ia mengatakan demikian bila tidak suka denganku.

***

Motor ia parkirkan di depan restoran yang pernah kami kunjungi. Restoran dengan variasi makanan dan minuman yang cukup banyak, sehingga tidak perlu bingung bila mencari makanan besar atau hanya ingin ngemil saja. Seperti biasa kami menuju ke area smoking room. Hanya dengannya aku selalu ada di area yang paling tidak aku sukai. Duduklah kami di ujung berandanya, yang jauh dari orang-orang sekitar. Kami langsung memesan minuman kesukaan kami di sana, ia pesan moccachino, dan aku hot chocolate mint. Pramusaji pergi meninggalkan meja kami setelah menerima pesanan. Seketika hening. Tidak ada yang berbicara satu pun di antara kami. 

"Kamu ga pesan makanan?"

Aku hanya menggeleng. Bagaimana bisa napsu makan bila kamu tiba-tiba muncul kembali setelah sekian lama.

"Apa kabar kamu?" akhirnya pertanyaan pamungkas keluar.

"Kenapa baru tanya sekarang?" serangan balik yang selalu aku lontarkan.

Ia hanya bisa nyengir pahit. Tampak sedikit rasa bersalah terbersit di mukanya. Ia mengeluarkan rokoknya, membakar ujungnya, dan mulai menyesapnya.

"Kamu pasti bingung aku ke mana selama ini dan kenapa tiba-tiba jemput kamu."

Aku hanya diam menunggu lanjutannya.

"Apakah yang kamu rasakan masih sama seperti dulu?"

"Kamu sudah tahu jawabannya."

"Maafkan aku. Tapi bolehkah kita kembali seperti dulu?"

"Untuk apa? Seperti dulu yang mana? Seperti saat kita bersama tapi hanya aku yang mengkhawatirkan kamu? Di mana hubungan ini sepertinya hanya aku yang menginginkannya? Dengan kamu tanpa merasakan hal yang sama? Buat apa?"

"Alisha, maafin aku. Aku tahu aku salah. Tapi aku ga bisa kehilangan kamu."

"Aku ga pernah ke mana-mana, Rom. Aku selalu ada setiap kamu butuhkan. Kamu yang selalu menghilang tanpa kejelasan."

Emosiku mulai naik. Untung saja pramusaji datang membawa pesanan kami. Kami pun diam dan menikmati seteguk minuman kami. Lanjut diam, dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Aku sudah mendapat pekerjaan tetap. Kegusaran kita selama ini sudah berkurang. Maka dari itu aku ingin kita kembali bersama." Romy menatapku dengan sangat serius. Aku sibuk menyugesti diriku agar tidak terhipnotis tatapannya.

"Lalu kenapa?"

"Kita bisa merancang masa depan lagi. Untuk kita."

"Percuma, kalau kamu masih tidak ada perasaan sedikit pun untukku."

"Aku mohon, aku akan berusaha. Aku hanya ingin bersamamu."

"Rom, kamu pikir yang kamu bilang itu masuk akal? Dari empat tahun lalu kamu selalu bilang untuk berusaha menyayangiku karena mengatakan aku yang terbaik buat kamu. Nyatanya, aku tidak pernah ada dalam prioritas kamu. Ingin tahu kabarku pun sepertinya juga tidak. Bagaimana aku mau percaya omonganmu lagi?"

"Tapi kamu bilang kamu masih sayang aku, Sha."

"Iya, aku masih sayang sama kamu. Banget. Bahkan aku masih ingin bertemu denganmu sekarang setelah terakhir kamu bilang kamu lagi pengen sendiri enam bulan lalu. Kenapa? Karena aku kangen, Rom. Sesederhana itu. Tapi aku sadar diri, aku ga bisa meneruskan hubungan ini sama kamu yang masih tidak ada rasa sedikit pun untukku."

Romy diam mendengar omonganku. Hanya membuatku geram, karena itu tandanya ia mengakuinya. Mengakui bahwa ia masih tidak bisa mencintaiku sebagaimana pasangan normal yang ingin hidup berdampingan dengan seseorang yang sangat ingin ia miliki.

"Lalu aku harus bagaimana agar kamu percaya aku tidak ingin main-main lagi dengan hubungan kita?"

"Jika kamu seserius itu, katakanlah semuanya kepada ayahku. Biar ia yang memutuskan apakah layak atau tidak hubungan ini dilanjutkan."

"Tapi Sha, aku mau hubungan kita menjadi baik dahulu sebelum kita memutuskan untuk menikah."

"Apakah ada jaminan jika kita kembali bersama kamu akan bisa mencintaiku sebagaimana mestinya? Empat tahun saja kita habiskan dan kamu berlaku seenaknya. Sepertinya tidak ada lagi yang perlu aku sampaikan. Aku mau pulang sekarang."

Romy menatapku seolah-olah aku akan menghilang. Terlihat sedih raut wajahnya, tapi ia tak mengatakan apa-apa lagi, mematikan rokoknya dan membuangnya ke asbak. Kembali memakai sweater biru dongkernya yang tadi ia tanggalkan dan digantung di kursinya. Di balik sweaternya, ia menggunakan kemeja flanel kotak-kotak kecil yang juga berwarna biru dongker, hadiah ulang tahun dariku di tahun ini. Ia berdiri dari kursi dan mengajakku pulang.

Selama perjalanan pulang, kami hanya diam. Aku sibuk menata hati agar tidak goyah dengan segala permintaannya hari ini. Tidak bohong jika aku ingin kembali bersamanya. Namun tidak bohong pula bila aku tidak ingin kembali mencintai sendirian. Sebenarnya banyak hal yang Romy tunjukkan padaku, yang membuatku terkadang berpikir apakah ia benar-benar tidak menyayangiku?

Tapi kalimat itu selalu ia ulangi, yang membuatku terluka. Bukan sekadar pedih rasanya menjalani hubungan dengan hanya mencinta sendirian. Setiap ingin melakukan sesuatu selalu aku pikirkan, apakah yang kulakukan ini tidak mengganggunya, atau hanya membuat ia semakin tidak mencintaiku.

Hal yang teraneh memang hanya kalimat yang ia katakan: Kamu yang terbaik untukku. Menyatakan itu saja sebenarnya tidak mudah bagi seseorang yang tidak mencinta terhadap orang yang ingin dimiliki. Satu pertanyaan yang mengganjal hanyalah: mengapa ia tak kunjung mencintaiku? 

Jumat, 03 September 2021

Baik dan Bodoh Beda Tipis

aku tidak tahu ini sudah kesempatan ke berapa.
aku anggap ini yang kedua, karena satu dan lain hal.
kata orang aku terlalu baik, kamu juga berkata demikian. 
lalu, bila memang aku terlalu baik, apakah sebuah kesalahan menjadi orang baik? 
baik dan bodoh beda tipis, kata mereka.
apakah aku bodoh dengan memberi kesempatan bagimu kembali? 
tolong buktikan bahwa aku tidak bodoh. 
bahwa aku hanya baik.
dan kamu tidak membodohiku.

Kamis, 15 Juli 2021

Teman Terbaikku

Tadinya, malam adalah teman terbaikku. Penyimpan semua keluh kesah, dan pereda lelahku. Namun, malam tak lagi sama di mataku. Rasanya sekarang ia terlalu sepi, sehingga aku selalu mendengar kebisingan di dalam pikiranku yang begitu mengganggu. Kebisingan yang dipenuhi pikiran tentangmu. Hanya tentangmu.

Dulu, hujan adalah teman terbaikku. Aromanya yang menguar di udara ketika ia bertemu dengan tanah, memberikan kenyamanan. Dan simfoni yang ia lantunkan pada setiap tetesannya menjadi nada terindah yang menenangkan. Namun, rasanya hujan tak lagi sama. Ketika ia turun, hanya membuatku terperangkap di dalam rumah, batal menuntaskan kegiatan yang sudah aku rencanakan dengan padat agar tak ada sedikit pun celah untuk memikirkanmu. Nyatanya, rencana hanya sebatas rencana. Semesta berkonspirasi membuatku tak bisa melupakanmu.

Tidur tidak lagi menjadi kegiatan favoritku. Semenjak kamu kerap muncul di dalam mimpiku dan membuatku tersentak bangun karena sadar bertemu denganmu hanyalah bunga tidur semata. Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Aku akan menatap kosong dinding kamarku dengan penuh tanya, "Apa yang terjadi denganmu? Apakah kamu baik-baik saja? Atau aku yang tidak baik-baik saja?"

Siang dan sore adalah teman terbaikku. Bekerja dan bertemu teman-teman adalah waktu terbaik untuk menghempaskan segala tentangmu. Aku suka, bahkan butuh, siang dan sore lebih panjang. Agar perlahan kamu menghilang dari ingatanku. Sayangnya semua sudah ada porsinya masing-masing. Tidak semudah itu keinginan dapat terkabul. Realitanya tidak semua yang aku inginkan akan menjadi takdirku. Termasuk kamu.

Sulit rasanya mengelabui diri ini, setelah sekian banyak kenangan yang telah terpatri dengan jelas dalam ingatan. Padahal aku pelupa bagai ikan mas koki yang ingatannya hanya bertahan 3 detik, tapi setiap detail tentangmu masih terpampang nyata dan secara gamblang dapat aku sebutkan setiap ceritanya dengan bibirku yang biasanya digunakan untuk berbicara dengan orang lain saja malas dilakukan.

Bagaimana bisa? Aku rasa kamu pun paham. Jangan coba-coba mengelak. Atau mungkin kamu sedang mengelak sehingga aku tak lagi bisa menemukanmu kembali di hadapanku. Jika memang itu yang kamu inginkan, tidak mengapa. Tapi biarkanlah aku sendiri berusaha menata kembali segala memori yang telah terjadi, bahwa kamu pernah menjadi teman terbaikku.

Senin, 19 April 2021

Diskusi Tak Berujung

"Mengapa kita tidak bisa menyatu?" tanya seorang wanita yang sedang duduk di sofa dengan melipat kedua kakinya sambil matanya menuju ke kuku-kukunya yang sedang ia mainkan.

Kutatap ia sambil tersenyum samar, walaupun ia tak melihatnya, "Bukan tidak. Tapi belum?"

"Lalu, kapan?" kembali ia bertanya. Masih tidak menatapku. 

Aku hampiri ia. Berlutut di depan sofanya. Kutarik kedua tangannya ke dalam genggamanku, hingga akhirnya kami bertatapan. "Kamu mau kita menikah sekarang?"

"Emm... Belum sih."

"Kenapa?"

"Entahlah," ia menarik tangannya, mulai membuang pandangannya ke arah lain. Menarik diri.

"Aku juga masih ragu, Sha. Aku ga mau membawa kamu ke dalam keraguan ini lebih jauh. Aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama. Kita sedang berusaha meyakinkan dan memantaskan diri masing-masing. Seperti yang kamu lihat sekarang. Tempat ini salah satu usahaku untuk memahami kamu." Tanganku terentang, menandakan rumah kecil yang aku tempati belum sebulan ini.

Rumah kecil yang memiliki taman kecil di belakang untuk ruang jemur, dan garasi yang bisa memuat satu mobil. Biar tidak mengganggu tetangga kalau parkir, katamu kala itu, ketika kamu menceritakan bagaimana gambaran rumah yang kamu inginkan. "Pokoknya aku mau punya tempat tinggal sendiri. Lelah tinggal dengan orang lain, sibuk mengurusi orang yang sebenarnya kebutuhannya bisa dipenuhi oleh dirinya sendiri," ceritamu dengan menggebu-gebu beberapa bulan lalu. Tidak lama setelah kamu bercerita, ternyata ada omku ingin menjual rumahnya yang sudah lama tidak ditinggali. Tidak terlalu besar. Ada 2 kamar, 1 kamar mandi, ada ruang tengah menyatu dengan ruang tamu, dapur semi-outdoor yang menyatu dengan halaman kecil di belakang tempat untuk menjemur pakaian, dan garasi. Akhirnya tanpa banyak berpikir aku menawarkan diri untuk membelinya. Namun, rumahnya cukup jauh dari tempat tinggal kita sedari kecil. Apalagi tempat kamu kerja. Ini juga yang sedang menjadi pikiranku bagaimana bisa bertahan hidup bila kita kelak tinggal di sini. 

"Sabar ya, maaf rumahnya masih nyicil," tanganku mengacak-acak rambutnya pelan-pelan. 

"Kamu sayang sama aku?" tanyanya sambil menyenderkan kepalanya di bahuku. 

"Aku akan selalu ada di samping kamu kok."

"Kenapa kamu selalu ga pernah jawab kalau aku tanya kamu sayang atau ngga sama aku? Aku cuma butuh kamu menjawab iya atau tidak. Kamu ga mau kita terikat lebih dari ini?"

... 

Diam. Banyak narasi dalam kepalaku. Tak terucap. Tidak yakin harus menjawab apa. 

"Aku anggap sebagai ngga, ya."

"Sha-..."

"Aku harus sabar sampai kapan?"

Hening. Aku masih tidak berkata-kata. Aku juga tidak tahu jawabannya.

"Ini sudah tahun ke berapa? Kita juga sudah sama-sama dewasa. Aku tahu dalam pikiranmu aku bisa mengerti akan keadaan kita. Paham. Sangat mengerti. Tapi bukan cuma kamu yang mau dipahami. Aku juga. Dan satu hal yang harus kamu pahami untuk mencapai hubungan yang ada dalam kepala kita masing-masing kita membutuhkan komunikasi yang baik. Bukan sekadar ajakan bertemu yang tidak menentu kapan waktunya, dan tiap bertemu seperti tidak ada masalah. Ini masalah. Menganggap ini bukan sebuah masalah adalah masalah buatku. Kita bermasalah."

Aku bergeming. Dia tidak salah sama sekali. 

"Lalu kita harus bagaimana? Pacaran juga tidak menuntaskan masalah bagimu," tanyaku.

"Bagaimana bisa tuntas bila aku dipenuhi rasa khawatir setiap hari hanya karena menunggu kabar darimu. Kenapa kamu harus melakukan semua ini kalau kamu saja tidak paham dengan perasaan kamu sendiri!" Kamu berdiri.

"Mau ke mana?" tanyaku. 

Dia mulai diam. Mukanya merah. Matanya berkaca-kaca. Marah. Dia marah. 

"Pulang?"

Dia mengangguk. 

"Tunggu, aku ambil jaket dulu." Aku menuju kamarku, mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu, mengambil kunci motor, dan dua helm.

Dia sudah menunggu di depan garasi. Kuberikan helmnya, kubantu mengenakannya. Setelah mengunci pintu rumah dan garasi, aku hidupkan mesin motor. Dia duduk di belakangku, menaruh tasnya di antara kami. Tangannya tidak akan berpegangan di pinggangku bila sudah begini. Dia lipat tangannya di depan dada. Ya, dia marah.

Di perjalanan, aku lihat raut mukanya dari kaca spion. Masih sama kakunya. Masih marah.

"Sha?"

Tak ada jawaban.

Aku tahu ini salah sudah mengikutkan ia dalam keraguan jalan hidupku. Tapi aku belum bisa menjanjikan apapun. Aku takut ia terluka. Atau malah sudah. Entahlah aku tidak paham. Aku hanya ingin ia ada dalam perjalanan hidupku, dan aku akan selalu ada menemaninya jika ia membutuhkanku. Ingin mengajak ke dalam hubungan yang lebih serius, aku belum mampu. Aku tahu diri. Pekerjaanku hanya serabutan. Aku ambil rumah juga karena omku memperbolehkan aku membayarnya dengan dicicil semampuku. Aku ingin merasa stabil dahulu barulah aku berani menyatu denganmu. Namun, kembali lagi pasti kamu akan bertanya sampai kapan kamu harus menunggu. 

Lantas, mengapa kamu masih tetap berada di sampingku walau sudah bertahun-tahun seperti ini?

Selasa, 09 Maret 2021

Mau Punya Mesin Waktu Doraemon

PATUT DIKETAHUI DI AWAL, BAHWA POS KALI INI AKAN MENGANDUNG SPOILER FILM DORAEMON STAND BY ME 2. KALAU TIDAK INGIN TERJEBAK SPOILER, LEBIH BAIK TIDAK USAH BACA POS INI.

Sedang hangat-hangatnya di dunia maya perihal per-ghosting-an di mana sudah dijanjikan ingin menikahi seseorang malah tiba-tiba ditinggal begitu saja tanpa kabar, tanpa alasan. Tapi, sebatas ini saja kan yang kita tahu. Tidak pernah tahu hubungan mereka sebenarnya bagaimana. Dan sesungguhnya aku pun tak mau tahu.

Namanya juga rencana manusia, maunya juga rencana-rencana dikabulkan Yang Maha Kuasa. Namun tetap saja Yang Maha Mengetahui jelas lebih tahu apa yang lebih baik untuk kita. Misalnya saja aku.

Dari dulu punya rencana menikah paling telat umur 27. Alasannya sederhana, supaya nanti anak-anakku merasakan kasih sayang dari kakek neneknya. Setiap selesai liburan sekolah aku paling iri dengan cerita teman-teman yang mayoritas liburan ke rumah nenek. Sedangkan aku dari lahir tidak pernah bertemu kakek, nenek, eyang, juga mbah. Ketika mama papa masih ada, lihat ponakan-ponakan dekat sekali dengan atuk dan utinya benar-benar bikin iri. Sering terselip doa dalam hati, "Ya Allah, izinkan anak-anakku merasakan punya atuk dan uti. Jangan seperti aku." Takdir berkata lain. Dalam hitungan beberapa minggu lagi sudah tidak 27 dan masih tetap lajang, pun mama papa sudah pergi menyusul kakek, nenek, eyang, dan mbah.

Kemarin, aku menonton Doraemon Stand by Me 2 di bioskop yang berisikan total hanya enam orang saja. Sepanjang adegan ada neneknya Nobita, pasti mata otomatis berair. Belum lagi pidato pernikahan dari Nobita. Langsung terpikir, nanti aku nikah gimana, sudah tak ada siapa-siapa. Coba ada mesin waktu Doraemon. Pasti aku akan jemput papa, mama, kakak perempuanku, dan sudah pasti kakek, nenek, eyang, serta mbah untuk melihat hari spesialku. Ketika adegan neneknya Nobita menyaksikan pernikahan Nobita, dan ketika neneknya menunjukkan rasa sayangnya pada Nobita, sesungguhnya ambyar banget hatiku. Karena lupa bawa tisu dan nontonnya ga sendiri, jadi diredam deh banjir air matanya.

Lemah banget ya, hehehehehehehe. Tapi begitulah adanya. Sekarang kalau ditanya mau nikah kaya apa pasti bakal balik nanya, "Bisa ga sih di KUA aja terus bagi-bagi nasi kotak buat sebar kabar ke tetangga dan kerabat? Terus ngumpulin anak yatim buat doa bersama. Ujungnya garden party deh sama para sahabat." Sesederhana itu. Eh, sederhana ga sih? HAHAHAHA. 

Inti dari pos ini adalah seandainya saja ada mesin waktu Doraemon, aku pasti melakukan apa yang Nobita lakukan, menjemput mereka yang telah pergi meninggalkan dunia ini dari masa lalu ketika mereka masih sehat walafiat ke hari di saat aku menikah dan punya anak. Biar rasanya lengkap. Ga ngawang. Kaya sekarang. 

Buat yang masih punya orang tua, ayo dipeluk-pelukin sesering mungkin deh. Karena ga ada yang tahu kapan mereka bakal pergi meninggalkan kita. Sekesal apapun kita sama orang tua, disabar-sabarkan saja. Mereka seperti itu toh karena sayang sama kita, walaupun terkadang tidak sepaham bentuk cintanya. Dibicarakan saja semuanya. Kesalahanku dari dulu itu adalah tidak pernah bersuara. Jadilah........... begitu deh.

Kalian pasti dalam hati masih ingin melawan orang tua hahahaha. Tapi patut diingat, nanti kita juga jadi orang tua. Bisa saja kita akan seperti mereka dan kelak anak-anak juga sebal pada kita. Siapa yang tahu. Jadi, mau seperti apa kita kelak?

Jumat, 19 Februari 2021

Maaf.


Too much coincidence in my life, apalagi yang berhubungan denganmu. Seperti tulisan di atas. Draft dari dua bulan lalu yang tak kunjung kutemukan bagaimana menyelesaikannya. Sebenarnya tulisan ini urutan diunggah di media sosial Sabtu lalu. Namun, aku tak menemukan juga kalimat seperti apa yang tepat untuk menutupnya. Akhirnya, kulompati saja ke tulisan selanjutnya, yang mestinya baru diunggah akhir minggu ini. Lalu apa yang terjadi... Tulisan di atas menjadi suara hatiku malam ini. Maaf aku tidak sempat bersua terlebih dahulu. Feeling ibu itu memang kuat ya, di saat kami memutuskan untuk jalani masing-masing saja, katanya aku malah dicari. Sudah berjanji kok akan menengok ketika pulang, dan mungkin memang sudah takdirnya seperti ini. Sekarang Mamah lebih bisa mengawasi kita dari sana bersama Mama dan Papaku. Entah apa yang akan menjadi takdir untuk kita berdua di masa depan, tapi aku benar-benar minta maaf sepenuh hatiku. Seperti tulisan yang belum selesai tersebut, akan aku selesaikan dengan menyematkan tanda titik (.). Maaf.

Minggu, 14 Februari 2021

Surat Terakhir

Hari terakhir di rangkaian suratku. Berharap ini surat terakhir untukmu. Walaupun aku juga tak berharap banyak kamu membaca surat-surat sebelumnya atau tidak.

Semoga saja ini yang terakhir. Terakhir dari ungkapan hati yang tak dapat aku sampaikan langsung padamu.

Aku ingin mencoba berhenti memedulikanmu. Apakah kamu berharap aku akan berhasil? Kalau tidak berhasil, apa yang akan kamu lakukan? Memperjuangkanku atau memilih berlalu tanpa memedulikan perasaanku sama sekali? 

Entah apa yang akan terjadi, aku mencoba melepasmu. Mencoba. Sambil menebak-nebak apa yang akan terjadi, yang digariskan untukku. 

Kuharap tidak gagal. Demi luka hati yang ingin kusembuhkan. Tidak ingin kubiarkan menganga tanpa ada penyembuhan. Semoga aku berhasil. 

Maka dari itu, aku berusaha pamit ya. Bila memang kamu sudah berpikir dapat hidup tanpa aku, diamkan saja aku. Namun jika kamu sudah memikirkannya dengan matang dan ingin menyegerakan yang dahulu hanya menjadi harapan, aku harap kamu bersungguh-sungguh menghampiriku. 

Semoga kala itu terjadi, hatiku telah siap dipertemukan dengan rahasia besar Tuhan yang bahkan kita, manusia biasa, tidak dapat memastikannya. 

Tapi, sebelum mulai berharap lagi, aku akan pamit terlebih dahulu. Ini surat terakhir untukmu. Semoga kamu tidak merasa kecewa ketika membaca surat ini. 

Sabtu, 13 Februari 2021

Semoga Mama Lekas Pulih

Semakin jarang aku menulis untukmu, sebab semakin banyak yang aku pikirkan. Satu setengah bulan tidak berkomunikasi denganmu kupikir akan membuat aku terbiasa. Nyatanya tidak juga. 

Lagi-lagi kupikir memberikan ucapan selamat dan doa di hari ulang tahunmu adalah hal yang wajar, serta sebagai bentuk pernyataan bahwa aku baik-baik saja. Nyatanya, jauh sebaliknya. Aku menanti percakapan panjang, untuk sekadar tahu kabarmu seperti apa. 

Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan Hati paham betul bagaimana aku. Ia hanya menjadikan diriku apa adanya, diriku yang mudah khawatir dengan orang yang disayang. Sampai akhirnya setelah umurmu tepat bertambah satu tahun, kamu memposkan sesuatu di media sosialmu yang membuatku penuh pertanyaan. Siapa? Mengapa? Bagaimana bisa? Dan pertanyaan lainnya yang kuredam dalam hati dan hanya digantikan dengan sebuah kata, "Sakit?"

Terima kasih kamu masih bersedia menjawabnya daripada kelak kepalaku sakit memikirkan yang tidak-tidak. Jawabanmu saja sudah menjadi berkas baru untuk dipikirkan dalam otakku sampai detik ini.

Maaf ya aku masih belum terbiasa untuk tidak memikirkanmu. Malah aku merasa memori tentangmu adalah candu. Semakin kugali mengapa aku dapat memikirkanmu sampai seperti ini. Padahal kenangan bersama pun tak banyak. Tetapi percakapan intens yang sedikit itu sepertinya melekat dalam jiwa.

Rasanya yang dapat membuat aku berhenti melakukan ini hanya kamu. Iya, kamu. Kamu yang harus mengatakan sejujur-jujurnya di depan mataku bahwa kamu tidak membutuhkanku, bahwa kamu tidak mencintaiku, bahwa kamu tidak pernah ada rasa denganku. Barulah aku akan terbebas dari rasa penasaran dan benar-benar membuka mata, serta hati, untuk yang lain. 

Sekali lagi aku minta maaf atas ketidaknyamanan yang aku buat. Ini buah dari kekhawatiran tak berujung yang hanya berputar dalam kepala saja. Satu hal lagi, semoga Mama lekas pulih. Semoga kamu tidak perlu merasakan kelam yang pernah aku rasa. 

Jumat, 05 Februari 2021

Lagi-lagi

Membuka lembaran baru tak semudah harfiahnya. Padahal tak banyak yang pantas dikenang. Mungkin memang benar perkara cinta itu buta. Sampai sekarang pun sebagian otakku masih berpikir bahwa kamu bisa berubah. 

Tak muluk-muluk harapanku, tak berharap kamu berubah menjadi satria baja hitam, atau pangeran berkuda putih. Hanya berharap kamu peduli dengan adaku, serta menghargai waktu denganku.

Aku pikir dengan menghapus jejak digital yang ada merupakan salah satu cara terbaik. Salah. Salahnya adalah ketika aku ingin memulai dari nol pertemanan kita seperti dulu lagi. Bagaimanapun tidak akan bisa kembali nol. Sebab apa yang telah kita lalui seharusnya sudah lebih dari cukup untuk mengenal satu sama lain. Hanya saja ego kita terlalu tinggi saling mempertahankan kemauan masing-masing, yang memiliki mimpi dan harapan yang berbeda. 

Sekadar penasaran, apakah saat ini aku sudah tak ada dalam ingatanmu? Apakah kamu sudah berhasil menghapus kenangan dan harap yang pernah kita amini? Lagi-lagi aku titip pesan pada Tuhan agar tetap menjagamu dalam lindungan-Nya. Semoga kamu selalu baik-baik saja. 

Selasa, 02 Februari 2021

Selamat Ulang Tahun

Selamat ulang tahun!
Semoga baik-baik saja di mana pun berada.
Semoga selalu diberikan kesehatan.
Semoga Allah SWT melindungi setiap langkah yang diambil.
Semoga semakin bahagia di 2021.
Semoga menemukan apa yang patut ditemukan, dan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan.

Senin, 01 Februari 2021

Jikalau

Sudah Februari saja. Bukan semakin lupa, malah semakin kuat kenangan yang ingin dienyahkan. Bahkan di kala memori itu tanpa wujudmu, hanya yang berhubungan denganmu, juga masih teringat jelas dalam ingatan. Misalnya, seperti saat aku mendengarkan lagu Naif yang berjudul Jikalau.

Aku pernah menangis di jalanan perkara lagu ini. Hahahaha seperti orang bodoh ya. Ceritanya aku mau nonton konser. Ya, kamu yang paling tahu aku suka sekali nonton konser, bahkan kamu juga pernah menemani atau cuma jemput ketika konser selesai, masih ingatkah kamu? Kembali ke ceritaku yang memalukan tadi. Ketika aku sedang berjalan menuju gerbang masuk konser, ternyata Naif sudah mulai beraksi. "Jikalau telah datang waktu yang dinanti, kupasti bahagiakan dirimu seorang. Kuharap dikau sabar menunggu..."

Baru dua kalimat mengalun, tiba-tiba sudah ada yang menetes di pipi. Padahal kita tidak pernah menonton Naif bersama, hanya saling karaoke tidak jelas setiap ada lagu Naif diputar di saat kita sedang bersama atau sekadar di telepon saja. Tapi entah mengapa setiap lagu ini mengalun, di dalam kepalaku selalu ada adegan kamu menyanyikan lagu ini sambil menatap mataku dengan jelas, walau ujungnya kita menertawainya bersama. Ternyata sangat membekas di pikiranku yang sering lupa ini. 

Aku harus sabar menunggu sampai kapan? Tanyaku dalam hati setiap mendengar lagu ini. Apakah ada perbedaannya jika aku tetap sabar menunggu? Bagaimana jika aku tetap menunggu tetapi perasaanmu juga tidak berubah? Mau semakin lama dipertahankan juga tidak berguna. Malah yang terjadi aku semakin sulit melepasmu, dan kamu tetap tidak berubah. Sekarang saja sudah menjadi bukti jika menghapus ingatan tidak semudah membakar kertas yang akan berubah menjadi abu lalu terbang terbawa angin.

Maaf jika kamu terganggu dengan ini. Setidaknya kamu tahu aku menyayangimu walau setiap ditanya alasannya aku selalu menjawab tidak tahu. Yang pasti waktu banyak berperan di dalamnya hingga akhirnya rasa ini memupuk terlalu besar.

Tidak apakah bila aku menutup surat ini dengan mengatakan 'aku masih menyayangimu tanpa kamu perlu terbebani untuk membalasnya'? Semoga di bulan kasih sayang ini kamu semakin bahagia. 

Jumat, 29 Januari 2021

Surat Pengingat

Lima hari berlalu tanpa menulis apapun. Maaf ya ternyata aku belum sanggup menulis surat untukmu setiap harinya. Lagi pula aku takut kamu bosan isi suratku begitu-begitu saja, cuma berkata melulu mencintaimu tapi hatimu juga takkan kunjung menyukaiku. 

Terkadang aku bingung mengapa bisa mencintai seseorang sepenuh hati, padahal orang tersebut belum tentu menyukaiku kembali. Apa memang kodratku tidak patut dicintai? 

Alasan karena aku terlalu baik juga memuakkan. Haruskah aku menjadi orang jahat baru membuatmu berpaling padaku? Atau haruskah aku tunjukkan segalanya dengan perbuatan hingga kamu sadar aku mencintaimu tanpa alasan?

Sayangnya aku tak memilih keduanya. Aku tak memilih menjadi orang jahat karena aku tidak ingin dijahati orang lain di kemudian hari. Aku pun tak mencium atau memelukmu erat walau ingin, karena merasa ada yang mengawasi di balik awan yang menghiasi langit. Apa lagi yang harus aku lakukan?

Mengapa rasanya berat setiap berusaha mendoktrin pikiranku sendiri dengan kalimat "mungkin bukan ia orangnya". Berat. Sulit. Mau kamu bertanya sebanyak apa rasa sayangku padamu juga aku tak dapat menjawab. Karena sudah terakumulasi dari waktu yang telah kita lalui. Lama kan? Mungkin butuh waktu yang lama juga untukku dapat kembali seperti semula.

Jadi, maklumi saja ya. Perasaan ini akan sulit berubah. Perlahan tapi pasti akan sedikit demi sedikit menggerus rasa yang ada dengan mengingat semua kenangan pahit yang kamu berikan. Namun, tak menutup kemungkinan bila kamu ajak kembali aku akan bergeming. Tak dapat menentukan ingin kembali atau tidak. Karena sebenarnya banyak luka yang kamu torehkan, tapi entah perasaan yang buta ini akan terlena atau tidak.

Maaf kamu harus melihat aku yang seperti ini. Tapi sebabnya kamu yang memulai ini semua. Aku pikir kita akan tumbuh bersama. Ternyata hanya aku yang berusaha tumbuh dan memprioritaskanmu, sedangkan kamu... Entahlah. 

Lagi-lagi aku katakan, aku tak tahu akan begini sampai kapan. Mungkin masih akan ada surat bodoh lainnya. Atau aku akan mulai menulis surat untuk yang lain. Aku juga tidak tahu. Ini hanya sebagai pengingat bahwa aku pernah menyayangimu sepenuh hatiku.

Sabtu, 23 Januari 2021

KE-NA-PA?

Sudah lewat tengah malam. Maaf terlambat. Mungkin hari ini aku akan mengirim dua surat. Tapi jangan ditunggu, nanti kamu berharap. Kalau aku lupa, kamu akan kecewa. Sudah, bagian kecewa itu biar aku saja. Karena kamu tak akan mengerti bagaimana rasa kecewa dengan yang selalu diimingi harapan.

Seharian kemarin suasana hatiku sangat dinamis. Dari dirundung tangis, hingga ditutup tawa. Sampai bertanya pada diri sendiri, "Kok bisa?" Ya bisa saja. Namanya juga manusia. Punya rasa, punya hati. Jangan samakan dengan pisau belati. Eh, kok jadi nyanyi...

Namun, bisa-bisanya ya, sekali lagi BISA-BISANYA terselip kamu di setiap celah kesempatan. Lagi mikirin apa, nyambungnya kamu. Bingung sih. Sumpah, BINGUNG BANGET! 

Kenapa ya kok aku bisa sayang banget sama kamu? KE-NA-PA? Dan kenapa juga kamu ga merasakan hal yang sama? KE-NA-PA? 

Ah, sudahlah. Aku mengantuk. Siapa tahu kita bisa terhubung dalam mimpi hingga akhirnya kamu menyadari bahwa aku sebegitu berarti buat kamu. 

Bye bye! 
Salam sayang :) 

Kamis, 21 Januari 2021

Sayang!

Sayang, aku lelah banget hari ini! 
Mendapatkan berita memuakkan sekali. Belum lagi yang terjadi di depan mata. Sampai membuatku berpikir, wanita zaman sekarang memang seperti ini ya bentukannya? Maksudnya bisa dengan mudah hayuk aja diajak lelaki dengan mudahnya. Kok aku ga bisa ya kaya mereka gitu, Yang?

Ketika orang-orang bisa dengan mudah pergi dengan orang lain padahal sudah punya pasangan masing-masing, aku malah setia dengan orang yang entah menganggap aku ada atau tiada. Iya, maksud aku kamu, Sayang. Siapa lagi kalau bukan kamu.

Dibilang aku sayang kamu tanpa pamrih, ga juga sih. Buktinya aku berharap kamu rindu atau sayang aku juga. Tapi kamu malah ikut memilih kita bye-bye, tandanya semudah itu kamu melepasku. Kenapa ga dari dulu sih, Yang? Kenapa dulu aku ga boleh pergi dari kamu? 

Oh iya, maaf masih panggil 'Sayang'. Apalagi kalau bukan karena aku masih... 

Sudah deh, Yang. Daripada aku makin halu. Aku berdoa saja yang terbaik buat kamu. Bye, Sayang! 

Rabu, 20 Januari 2021

Masih Memikirkanmu

Hai!
Hari ini aku mendengarkan podcast yang membahas bahwa seseorang bisa berubah dengan melakukan hal yang ingin dibiasakan secara teratur selama 63 hari. Yang terlintas di kepalaku ada dua; mengapa aku baru tahu hal ini sekarang, dan apakah kita harus mencobanya?

Ya ampun! Lagi-lagi aku masih mencoba memikirkanmu. Padahal kamu saja tak memberikan balasan padaku semenjak hari itu. Apalah yang harus diharapkan dari seorang manusia yang menghargaimu saja tidak? Maaf ya, kamu tahu kan aku memang seterang-terangan ini. 

Masih tidak masuk akal untukku bagaimana bisa kamu menahanku begitu lama bila tak ada rasa sedikitpun? Sayangnya aku sangat membutuhkan jawabannya, tapi tak tahu harus mendapatkan dari mana.

Selasa, 19 Januari 2021

Masih Rindu

Hai... 
Sedang apa kamu? 
Masih ingat aku? 
Iya, aku rindu. 
Maaf tak banyak basa-basi. 
Cuma mau bilang aku rindu. 
Maaf bila mengganggumu. 
Tapi pikiran yang terus memikirkanmu ini juga menggangguku. 
Harus aku bebaskan agar tak melulu merindu. 
Aku tak akan bertanya apa kamu merindukanku juga. 
Sebab aku tak mau lagi memupuk harapan. 
Tak mau lagi terbuai janji manis. 
Jika sekali lagi aku begini, tampar saja aku. 
Agar aku tak kembali mencarimu. 
Biar teringat rasa sakit di pipi sehingga enggan untuk kembali padamu. 
Maaf ya. 
Aku akan mencoba untuk menguburmu di hati yang terdalam.
Jika tidak berhasil, kumohon kamu berubah. 


Tertanda, 
yang mengharapkan perubahan darimu. 

Senin, 18 Januari 2021

Sudahlah

Hai Sayang,
Maaf dari kemarin aku muak sekali melihatmu. Bisa-bisanya merasa tidak ada apa-apa di depan banyak orang. Ingin rasanya dapat seperti itu pula. Tapi sayangnya aku tidak bisa. 

Dimulai dari aku sangat muak setiap mendengar lagu kesukaanmu diputar di radio. Pasti akan langsung kuganti salurannya. Lalu ketika aku harus berinteraksi dengan dia, iya dia, pasti hatiku mulai merutuk, ingin segera pergi dan menjauhinya. Padahal dulu aku cukup dekat dengannya.

Entahlah. Coba kamu pikir, bagaimana rasanya bila melihat seseorang yang kamu sayang memperlakukan orang lain juga penuh kasih sayang seperti apa yang ia lakukan padamu? Sakit? Perih? Atau tiada rasa sama sekali? Mungkin yang terakhir ya, karena kamu menikmati juga dengan orang lain, tidak hanya aku. 

Namun hebatnya kamu merasa kita tidak pernah melakukan hal-hal berbau romansa, karena setiap ada aku di tengah kalian pun kamu tidak merasa canggung dan tetap melanjutkan perlakuan manismu yang sepertinya tak pernah hilang. 

Sudahlah. Cukup tahu saja. Malah menjadi sebuah keuntungan ditinggalkan lebih awal oleh lelaki seperti ini, walau aku tak tahu juga siapa kelak jodohku. 

Jika keputusanmu sudah bulat, ya sudah ingat saja bahwa pernah ada yang menyangimu. Yang mungkin masih juga sampai sekarang. 

Baik-baik ya kamu. Jangan lupakan aku.

Minggu, 17 Januari 2021

Terima Kasih

Dear kamu...
Terima kasih ya untuk semuanya.
Terima kasih atas perhatian kamu.
Terima kasih selalu mengingatkan jangan lupa makan.
Bahkan sampai membelikan makanan kalau aku lupa waktu akibat terlalu banyak kerjaan.
Terima kasih ya selalu menerima aku yang seperti ini.
Terima kasih karena selalu peka dengan suasana hatiku di saat yang lain tidak menyadarinya.
Terima kasih atas kepercayaannya, hingga dapat berkeluh kesah denganku. 
Terima kasih atas genggaman tangan yang tak ingin kamu lepas jika kita harus berpisah.
Terima kasih juga kamu berbuat hal seperti ini ternyata tidak hanya untukku.
Terima kasih karena sudah memberiku pelajaran agar tak mudah lagi tertipu dengan berbagai gestur dan kata-kata yang manis.
Terima kasih kita pernah sedekat itu.
Entah apa yang kamu rasakan, tapi yang pasti aku berterima kasih telah bertemu denganmu, sebab kini aku dapat lebih berhati-hati membuka hati terhadap orang baru.
Sudah ya, jangan dekatiku lagi. 
Berbahagialah dengan pilihanmu. 
Cukup satu dan tak perlu berpaling (lagi). 

Sabtu, 16 Januari 2021

Pembukaan

Hai kamu...
Surat pembuka ini untuk kamu yang masih ada dalam pikiranku. Seharian ini tiba-tiba saja aku menggumamkan lagu berulang di bait yang sama, "Sandiwarakah selama ini, setelah sekian lama kita t'lah bersama." Padahal belum sekalipun aku mendengarkan lagu ini kembali setelah hari "itu".

Rasanya seperti mimpi. Tidak pernah sedikit pun kamu menghubungiku lagi. Yang membuat tanya dalam hati, apakah beberapa tahun yang dilewati hanya sekadar mimpi?

Tak ada keinginan pula kamu menahanku untuk tidak 'pergi' kala itu. Kamu membiarkanku pergi, seolah-olah tidak ada yang terjadi di antara kita. Bodohnya, aku malah terus merindu dan tak pernah kuungkap. Demi menjaga hati agar tak patah dua kali; karena kamu tak merasakan hal yang sama, atau kamu yang tak akan kunjung membalas pesanku.

Aku masih menjadikanmu tujuan utama di surat ini. Entah apa yang akan terjadi 29 hari lagi selama aku menantang diriku untuk menulis. Apakah sepenuhnya aku akan menulis untukmu atau tidak, tunggu saja. Namun yang pasti, ada tanggal tertentu yang wajib aku tujukan untukmu.


Tertanda,
Aku yang masih ingin meluapkan isi hati ini kepadamu. 

Kamis, 07 Januari 2021

Seperti Hujan

hujannya awet ya dari semalam. tenang saja, nanti juga akan berhenti ketika tugasnya sudah selesai. keberadaannya tak melulu membuat orang-orang bahagia, pun membuat kesal untuk sebagian orang yg ingin berangkat kerja atau merasakan banjir. tapi di kala hujan tak kunjung datang, orang-orang akan merindukannya. begitulah, keberadaan akan menimbulkan kesan. baik dan buruk kesan yang ditimbulkan semua akan menjadi pelajaran. hujan pun hanya sementara. sama halnya denganmu. dengan kita. saling memberikan pelajaran walau hanya bersifat sementara sebab tak ada yang abadi di dunia ini. seperti hujan yang datang dan pergi, kita juga demikian. mungkin sekarang saatnya untuk pergi, tapi mungkin ada kesempatan untuk kembali, bila kesan yang ditinggalkan baik dan ada benih-benih yang dapat dikembangkan hingga berbuah indah. mengapa masih tersemat mungkin dan kesempatan? entahlah, aku terlalu banyak berharap. denial dengan pikiran 'kelak kamu pasti bisa menjadi lebih baik'. padahal bukan sehari dua hari dijalani, sudah hitungan tahun kita lewati. apa yang dirasa masih tidak seperti yang diharapkan. ingin rasanya aku melepasmu seperti hujan, menyukainya dan menghargai kedatangannya namun ketika usai aku dapat melepasnya walau rindu pasti akan menumpuk. semoga ya. kecuali, kamu memiliki rencana lain. ah, lagi-lagi aku berharap.