Sabtu, 07 Juni 2014

Juni

Juni datang. Tidak pernah dijemput, namun selalu datang sesuai jadwal. Juni tahun ini rasanya ingin saya hindari karena merupakan Juni mematikan bagi saya. Mengapa? Karena pasti di bulan Juni ini akan muncul begitu banyak kata semangat dan selamat untuk orang lain yang malah membuat beban di otak saya.

Seperti kemarin siang, saya cukup sedih dengan tragedi yang terjadi. Di saat yang lain tengah mengerjakan "tugas mematikan" mereka atau ingin bimbingan mengenai tugas mereka tersebut, saya malah keluyuran bersama dengan adik tingkat untuk menyelesaikan ujian yang mata kuliahnya terlambat saya ambil akibat dari nilai saya yang di bawah standar tahun lalu.

Mungkin pada kenyataannya saya tidak menunjukkan hal tersebut. Saya ikut menyemangati dan menyelamati. Tapi hati siapa yang tahu. Bahwa sebenarnya saya menghindarinya, karena hanya menambah beban.

Bukan, bukannya saya tidak senang kalian (istilah kasarnya) meninggalkan saya. Namanya juga ditinggal, pasti sedih. Tapi sesungguhnya saya lebih tidak dapat menahan prosesi kalian menuju selebrasi ketimbang selebrasinya itu sendiri. Dari pada saya hanya membuat kalian berpikiran negatif karena apa yang akan saya lakukan (yang saya sendiri tidak tahu) apabila ada di tengah-tengah proses kalian, lebih baik saya menyingkir dan bersiap untuk mengarungi proses yang sama dengan kalian.

Jadi maafkan saya jika Juni membuat saya hilang dari peradaban. Karena jujur saja saya lebih tidak sanggup menghadapi Juni ketimbang Agustus.

Keterlambatan Berujung Harapan Tanpa Ujung

Sering kali manusia terlambat menyadari akan sesuatu. Terlambat berpikir, melakukan sesuatu, atau pun merasakan sesuatu. Sama halnya dengan aku.

Ketiga hal itu pernah ku lewati ketika aku telah menyesal. Menyesal mengapa aku tak kunjung sadar bahwa sebenarnya aku menyukaimu, dan tidak berusaha untuk menampakkan hal itu agar kamu juga dapat membalas perasaanku. 

Sungguh, sebenarnya telah aku sadari bahwa rasa yang berbeda itu ada ketika aku menghabiskan waktu bersamamu. Namun, aku menampik rasa itu karena aku tahu kita, aku dan kamu, sudah terbiasa menjadi sepasang teman. Dan aku takut, kalau memang aku menyukaimu, kamu tidaklah menyukaiku. Pengecut. Memang, aku pengecut. Hatiku sudah keburu ciut oleh takut kehilanganmu.

Curang memang hanya menginginkan kamu ada di sisiku tanpa embel-embel apa pun. Jujur, aku ingin kita, ya lagi-lagi aku dan kamu, lebih dari teman. Tapi, lagi-lagi, aku tidak berani. Karena rasanya kamu tidak merasakan demikian.

Hari-hari telah terlewati. Sampai suatu ketika hari di mana kamu pertama kalinya menggapai kepalaku, dan mengelusnya dengan sayang. Mungkin ini pertanda, batinku. Dan akhirnya aku mulai merobohkan pertahanan hatiku dengan memulai menyukaimu.

Namun, apa yang diharapkan memang tidak selalu sesuai apa yang diinginkan. Kita memang semakin dekat, tetapi hati kita tidak, karena kamu mendekatkan hatimu dengan yang lain. Wanita mana pun pasti akan menerimamu, wahai lelaki berparas tampan dan berakhlak baik. Sempat pupus harapanku.

Lalu ku dengarkan sebuah lagu, liriknya kurang lebih seperti ini:
"Haruskah ku pendam rasa ini saja, atau kah ku teruskan saja hingga kau meninggalkannya, dan kita bersama"

Persis sama dengan apa yang ku rasa. Lalu, aku pun bimbang. Sebaiknya mana yang harus aku jalani? Menurutmu yang mana? Hahaha, gila rasanya jika aku berani menanyakan hal ini padamu secara langsung.

Lambat laun akhirnya aku memutuskan, bahwa aku menyesal. Menyesal telah terlambat menyadari. Menyesal sudah menutup diri. Menyesal tidak segera beraksi. Jikalau memang ini permainan waktu, sungguh seharusnya aku memenangkannya dibandingkan dengan dirinya. Tapi jika ini berkaitan dengan hati maka hanya kamu lah yang tahu jawabannya.

Tapi, jika aku masih ingin berusaha mempertahankan hatiku, adakah celah di hatimu yang siap untuk aku sisipi dan tebari dengan kasih sayangku? 

Harapanku hanya satu, kamu dapat menjawabnya tanpa perlu aku tanyakan padamu.

Dan ini akan hanya tetap menjadi suatu harapan yang tak berujung.