Selasa, 15 Desember 2020

Tidak Merasa Baik, Tidak Merasa Sabar

Dua tahun terakhir semakin banyak yang mengatakan, "Ayu sabar banget ya," atau "Ayu baik banget sih." Namun di satu sisi sama sekali ga merasa demikian, akibat lebih sering dulu dibilangi Mama, "Jangan galak-galak," atau "Pantesan ga ada yg mau deket, orang galak banget," dan semacamnya. Jadi terdoktrin di dalam kepala kalau saya hanyalah the grumpiest person at home. Makanya sekarang malah ga percaya jika orang bilang saya baik sekali atau sangat sabar.

Dengan fenomena ini, cukup terasa banyak yang merasa nyaman dengan saya. Dilihat dari frekuensi mereka berbagi keluh kesah dengan saya. Saya merasa diberi kepercayaan oleh mereka. Tapi tetap saja saya tidak merasa saya cukup sabar atau saya cukup baik.

Kadang malah merasa tidak adil. Ingin rasanya saya juga mempercayai mereka seperti mereka mempercayai saya. Namun, saya tidak merasa cukup memercayai mereka sebegitunya. Pasti ada rasa, "Mereka tidak akan mengerti." Atau sebaliknya, ketika saya memercayai seseorang untuk menampung curahan hati saya, orang tersebut tidak bisa selalu hadir ketika saya butuhkan. Membuat saya jadi malas bercerita dengan orang lain. Membuat saya menjadi tidak terlalu percaya dengan mereka.

Bukankah ini jahat? 

Dari mana baiknya? 

Dan mungkin karena saya lebih memilih diam daripada berdebat yang menyebabkan saya dicap sabar. Entahlah, setelah selama ini hidup saya merasa terkadang bersuara pun percuma jika lawannya lebih tua, atau merasa lebih superior, atau merasa lebih pintar. Lebih memilih 'biar Tuhan yang membalas' daripada meladeni perdebatan yang menuntut pengakuan.

Dari mana sabarnya bila juga sibuk merutuki dalam hati? 

Kalau memang apa yang saya rasakan ini salah, mohon diberikan petunjuknya. Atau buatlah saya dapat lebih percaya diri dengan realita yang kalian lihat maupun rasakan. Buatlah saya merasa nyata agar tak hanya sekadar menjalani hidup untuk makan saja.

Kamis, 03 Desember 2020

Jujur, Kangen Deh


Rasanya ingin menjawab "aku juga". Namun hati masih gelisah dengan pesan singkatku yang dibalas sangat tidak memuaskan. Hari ini pun sebenarnya sudah berencana ingin mengomel untuk menuntaskan sesak di dada. Tapi keduluan dengan pesan yang ia lontarkan ini.

Jujur, aku bingung sama kamu.

Jumat, 30 Oktober 2020

Semoga

*melihat wallpaper handphone dirinya, foto pre-wedding dengan baju adat Jawa berwarna hitam dan sang lelaki menuntun motor klasiknya. keduanya terlihat hanya sampai leher saja.

B: foto siapa? *menunjuk handphone*

D: orang. lucu deh. mungkin kita.

B: tapi ga ada yg Jawa (sebenarnya aku ada darah Jawanya, tapi kalau menikah maunya ikut adat papa saja). 

D: Sunda bisa juga. tapi ga usah deh.

B: kenapa? 

D: mahal. mending uangnya buat yang lain. 

B: iya bener.

D: nanti ga usah mewah-mewah ya. tapi nanti lo gengsi.

B: kenapa gengsi? orang ga ada yang mau diundang. kan emak bapak juga udah ga ada, jadi bebas. eh tapi... ga tahu deh. emang mau kapan?

D: sabar aja. nabung dulu.

... 

percakapan yang harus mulai dibiasakan. padahal selama mengobrol pikiran sudah tak tahu ke mana. antara berpikir, "serius banget nih mau nikah?" dengan "diomongin dong mumpung ada waktunya."

namanya juga manusia. dari kapan hari selalu meminta ditunjukkan dengan yang ingin serius. tapi setiap membicarakan yang serius, mudah goyah. selalu merasa tak siap. tapi kapan siapnya kalau tidak dicoba.

semoga saja ditunjukkan jalan untuk menyegerakan. semoga saja tidak hanya sekadar obrolan belaka. semoga saja tidak menjadi kenangan yang harus dilupakan.

semoga ya, sayang.

Selasa, 22 September 2020

Nothing is Real

"Yes... Nothing is real," sesenggukan mulai terdengar. Air mata mulai mengalir di pipi Arin. Genggaman tangannya semakin keras, meremas tanganku.

"Aku bodoh ya, Fan. Harusnya aku nonton konser ini sama dia. Dia sudah janji mau nonton konser Teddy Adhitya sama aku. Tapi lihat sekarang, di hari ulang tahunku ini dia bilang ga bisa nemenin karena perasaannya bersambut dengan Rima. Dia bahkan lupa dengan ulang tahunku. Dan aku ditinggalkan begitu saja," Arin menatapku. Wajahnya tersenyum, namun penuh air mata. Tangan kananku mencoba menghapusnya dengan ujung pergelangan jaket biru dongker yang aku kenakan. Berdiri di tengah ramainya penonton konser ini sepertinya bukan hal yang tepat untuk Arin. 

"Kita ke pinggir dulu yuk, Rin." Tanpa menunggu persetujuan Arin, aku membawanya menuju meja dan kursi dengan payung besar berwarna jingga, dengan Arin masih menggenggam tanganku. "Duduk dulu ya, aku beli hot choco dulu buat kamu."

Sementara menunggu pramusaji menyiapkan satu cokelat panas untuk Arin dan kapucino untukku, mataku tak lepas memperhatikan Arin. Ia hanya duduk menunduk, dengan tatapan kosong. Ardi sialan! Kenapa sih bisa-bisanya jadian pas Arin ulang tahun. Sengaja? Padahal Arin sudah mulai membuka hatinya loh. Hal yang sulit untuk Arin lakukan kepada para lelaki yang mendekatinya. Untung saja hari ini aku tidak ada janji dengan siapapun, jadi bisa menemani Arin. Tidak, bukan tidak ada janji. Setiap tahun pasti aku akan mengosongkan jadwal di tanggal ulang tahun Arin, dengan atau tanpa Arin ingin merayakan ulang tahunnya.

Tahun-tahun sebelumnya, pasti ada saja pesan singkat atau telepon dari Arin seperti, "Fan sini ke rumah, Bunda masak banyak banget nih!" atau "Fan temenin makan barbecue yuk, tenang saja aku yang traktir," dengan nada yang tidak bisa ditolak. Atau lebih tepatnya tidak akan pernah kutolak dengan nada bicara apapun. Seperti hari ini, "Fan jemput ya, temenin aku ke konser," dengan suara hampir menangis.

"Ini Mas pesanannya," aku berbalik menghadap pramusaji sambil mengucapkan terima kasih padanya sembari mengambil kedua gelas kertas berisi cokelat panas dan kapucino. Aku kembali menghampiri Arin yang masih tetap diam menunduk.

"Minum dulu. Pelan-pelan ya, masih panas." Kuletakkan gelas kertas berisi cokelat panas di depan Arin sambil aku duduk di sebelahnya.

"Makasih, Fan." Arin meraih gelasnya. Digenggam dengan kedua tangannya. Tidak kunjung diminum, hanya ditatap. 

"Makasih ya, Fan."

"Lagi? Sekali lagi kamu bilang makasih bisa dapat piring loh."

"Iya. Makasih banyak. Kamu selalu bisa nemenin aku."

"Kebetulan aja aku juga lagi senggang, siapa yang ga mau nonton konser gratis." Bohong sekali kamu wahai Ifan Pranata! 

"Yakin cuma lagi senggang? Kamu bukan sengaja mengosongkan hari kamu setiap aku ulang tahun?" kini Arin menatapku. Refleks, aku buang muka. Wajahku panas. Untung saja gelap, Arin tidak perlu melihat pipi merahku.

"Kamu selalu baik sama aku, Fan. Selama sepuluh tahun ini kamu hampir selalu ada di setiap ceritaku. Kenapa ya Fan aku masih cari laki-laki lain?"

Arin kenapa sih malam ini. Haruskah aku jawab sejujurnya setiap pertanyaannya? Atau ia hanya melantur asal karena banyak pikiran gara-gara Ardi? Argh! Aku harus ngomong apa...

"Ini," kusodorkan kotak berwarna merah. "Selamat ulang tahun, ya. Welcome to a quarter life of crisis. But, I wish you can pass the whole year with all your might. And you always know that I'll be there for you."

"You'll be there for me? For real? Forever?"

"Should I say yes?" haruskah sekarang kukatakan semuanya? 

"Terserah kamu. Ngapain sih kamu repot-repot ngasih aku kado. Ini?! Ya ampun Fan ini kan mahal," dibukanya kotak bludru merah yang kusodorkan. Di dalamnya terdapat kalung perak dengan liontin berbentuk hati bersemat satu berlian di tengahnya. Diambilnya dan dipandanginya kalung tersebut.

"Fan, kamu..."

"Apa?"

"Ngga kan?"

"Apa sih?"

"Fan, maaf..."

"Kamu kenapa sih, Rin?"

"Maaf, saat ini perasaanku berantakan. Masih terlalu sakit karena Ardi. Aku ga bisa nerima ini." Dikembalikannya kalung itu kepadaku.

"Rin, did I ask you something? Aku ga bilang apa-apa. Aku cuma mau ngasih kamu kado ulang tahun."

"Tapi ini..."

"Oke, aku pikir kita sudah cukup dewasa, ga perlu lagi pura-pura ga ngerti dengan topik ini. Kamu sudah menyadari hal ini, dan aku ga akan menghindar. Kalau kamu mengharapkan jawaban, aku cuma bisa bilang 'ya, benar'. Tapi aku ga menuntut apa-apa dari kamu. I will just be there for you. Forever."

"Tapi kenapa?"

"Tanpa alasan."

Tidak kusangka, yang terjadi selanjutnya di luar dugaanku. Arin menangis sesenggukan, menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Orang-orang sekitar mulai memandangi kami berdua. 

"Eh, Rin kok jadi nangis lagi. Sudah ya, kita dilihatin orang-orang nih," kupeluk Arin dalam dekapanku. Semakin deras tangisnya. Ternyata panik juga ya menangani seorang wanita yang sedang menangis.

"Kamu kenapa baik banget..." di tengah tangisnya Arin berusaha berbicara.

"Kenapa aku ga sadar..."

"Kenapa kamu mau nemenin aku terus..."

"Kenapa aku malah mikirin Ardi yang brengsek itu..."

Aku hanya bisa memeluknya semakin kuat. Mengusap-usap belakang kepalanya, dan terkadang menepuk belakang pundaknya perlahan atau mengelus punggungnya agar segera tenang. Semakin tidak bisa aku meninggalkan anak ini... 

Tidak terasa setengah jam berlalu. Akhirnya Arin sudah lebih tenang dan kusuruh minum cokelat panasnya yang sudah tidak lagi panas. 
Kami berdua diam beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing. Apalagi setelah ini? 

Minuman kami habis. Dan kami tetap masih diam satu sama lain. "Fan, pulang yuk," akhirnya Arin bersuara. Aku hanya mengangguk. 

"Kado aku tadi mana?"

"Hah?"

"Iya, pasangin," Arin membelakangiku sambil menyibakkan rambutnya ke depan, memperlihatkan belakang lehernya untuk memudahkan aku memasang kalungnya. 

"Fan, is this for real?" Arin bertanya ketika kupasangkan kalungnya.

"Yes, if you wanna hear the answer."

"Kamu ga menyesal?"

"For ten years and still counting? How about you?"

"I'm blessed to have you."

"So, don't ask me anything else, Rin."

"Hehehehe, baiklah. Yuk pulang saja. Kita streaming nonton film di rumah aku saja sambil makan popcorn buatan Bunda." Arin menggenggam tanganku kembali. Bukan genggaman kuat penuh emosi, tapi genggaman lembut penuh kasih.

"Rin..."

"Apa?"

"Nothing is real if you just fantasize it. It's getting real when we have strength to choose what we want to achieve. Like us, right now."

"Us? Pede kamu ya."

"Loh, bukannya..." aku menghentikan jalanku. Arin ikut berhenti.

"Hahahahahahahaha, mukamu lucu banget sih Fan!"

"Kok kamu malah ketawa sih... kan aku malu kalau aku sudah kepedean ternyata kamu biasa saja..."

"Hahahaha, iya iya iya. For ten years and still counting ya."

Rabu, 16 September 2020

Life is Like a Dream

 

Life is like a dream, ketika bangun tidur sangat pagi di hari libur dan lihat notifikasi ada chat seperti di atas, dibalas kemudian lanjut tidur lagi. Sesungguhnya chat tersebut sudah diduga akan muncul, tetapi tidak banyak berharap daripada hanya akan membuat percikan api yang menjadi ledakan emosi. Sedang mencari formula yang tepat untuk memperbaiki yang membuat tidak nyaman beberapa tahun terakhir. Semoga saja proses ini berujung baik. Ada 'aamiin'?

Jumat, 11 September 2020

Tertumben


Baru lima hari setelah pertemuan hari itu. Tertumben. Mau dipajang di sini sebagai pengingat.

Jumat, 21 Agustus 2020

Exhausted

exhausted.
i need 'me time'.
ups, sorry...
i mean 'we time'.
yes, 'we time'.
i think i need you to charge my energy.
but, if you don't wanna help me, it's okay.
maybe i can die slowly.

Senin, 10 Agustus 2020

Gelap Jilid Dua

sudah sampai tahap berpikir:
'kalau mati sekarang apakah ada yang merasa kehilangan?
apakah ada yang merasa sedih?
apakah ada yang merasa menyesal?'
sepertinya antara ada dan tiada juga tidak ada yang peduli.
hanya karena kebutuhan, barulah dicari. 

Jumat, 24 Juli 2020

Menangis Lagi

aku tak tahu apalagi yang kutangisi
entah mengapa jadi sesering ini
merasa hilang arah dan tujuan
untuk apa aku masih di sini
meratapi aku yang digerogoti sepi

aku tahu mereka pergi demi yang terbaik
untuk mereka
juga untukku
tapi bisakah aku memohon
untukmu jangan meninggalkanku lagi? 

sunyi ini mulai menyiksa diri
tanpa mengerti ke mana harus kulari
yang berujung kembali lagi
ke kamar berukuran tiga kali empat
mengurung diri dan menangis lagi

Minggu, 19 Juli 2020

Lelah dengan Kehilangan

Tahun ini, sudah berapa orang-orang besar yang berpulang? Jangankan dari awal tahun, di minggu ini sudah 3 tokoh yang diberitakan kembali ke Rahmatullah, Nurhasanah (pengisi suara Doraemon di Indonesia), Omaswati, dan hari ini Eyang Sapardi. 

Apa sih yang dirasakan bila mendengar berita kepergian seseorang yang tak akan kembali keberadaannya? Sedih, pasti. Dan hampa. Itu versi saya. Rasanya hati ini mendadak kosong. Seperti tidak tahu harus berbuat apa.

Akan tetapi, jika terlalu sering merasakan kehilangan, entah mengapa saya merasa lelah. Lelah kehilangan. Hati ini rasanya belum selesai berduka sudah harus ditambah dengan duka lainnya. Tragis. 

Lelah ini membuat saya berpikir, mengapa kehilangan ini harus terjadi? Mengapa harus beruntun berita ini mengalir? Apa yang salah dengan negara ini sampai orang-orang hebat silih berganti dijemput Yang Maha Kuasa?

Iya, apa yang salah. Apa tidak terpikir ini bagai teguran? Seperti ditegur Sang Pencipta, berapa orang lagi yang harus dijemput hingga akhirnya kita sadar. Sadar bahwa ada yang salah dengan hidup kita. Sadar bahwa kematian itu tidak memandang umur. Dengan segala yang sedang terjadi di hadapan kita, kita masih mau menantang kematian? 

Memang hidup dan mati di tangan Tuhan. Tapi tidakkah kita ingin mati dengan kondisi mulia? Sekarang, lihat apa yang terjadi. Korban covid-19 sudah melampaui Cina. Dan di tempat yang sama orang-orang masih banyak yang meragukan keberadaan virus ini. Haruskah tetap masa bodoh hingga penyakit ini terlebih dahulu menyerang kita atau kerabat terdekat kita? 

Jangan bermain-main dengan kesehatan, penyesalan akan datang tak main-main. Sudah, rehat sejenak dari berkumpul di tempat umum. Jika rumah sakit penuh di mana-mana, tenaga medis kewalahan hingga turut berguguran, ke mana lagi kalian akan pergi jika ingin mengobati diri? 

Mari jaga diri. Agar lelah akan kehilangan ini juga tak muncul. Sungguh benar-benar lelah merasakan ini. Seperti separuh jiwa pun hilang entah ke mana. Seperti tidak ada istirahat, padahal akibat dari menerima berita duka. Lelah. Sangat lelah. Sebagai manusia yang hanya bisa selalu mengingatkan tapi tak mampu mengubah.

Mari berubah. Ubah pola hidup, ubah pola pikir. Tak perlu untuk saya atau siapapun, tapi untuk dirimu sendiri. Agar saya pun tak perlu merasakan lelah. Iya, saya tak mau kehilangan kalian. 

Minggu, 05 Juli 2020

Dear God

dear God, 
why it's so hard to letting go? 
even he never talks to me again, 
never thinks of me, 
never loves me. 
is it a Karma?
because i've ever did the same
to someone that always think of me, 
always love me, isn't it? 
why? 
it's too cruel. 
i want to be in love,
and to be loved. 
when the times come for me?
when my happiness come? 
until when i must waiting for it? 
will i find my happiness before i die? 
or,
will i die first? 
i don't know what You will choose for me. 
but really, 
i want to live happily ever after, 
and will meet my whole family in Your heaven, 
please. 

Selasa, 30 Juni 2020

Konflik

Aku punya bahasan yang menarik kali ini. Tentang kita, tentu saja. Aku yakin kamu muak dengan kata-kataku yang menyatakan aku lelah mengkhawatirkan kamu yang cenderung cuek dan tanpa kabar. Padahal ya kita tak ada apa-apa, tapi mengapa bisa aku berulang kali berbicara demikian?

Lalu, aku menonton drama Korea. Salah satu episodenya ada adegan di mana pacar dari pemeran utamanya memutuskan si lelaki dengan kalimat-kalimat yang sama persis dengan yang pernah aku ucapkan ke kamu. Aneh betul, ya? Kok alasan mereka putus bisa sama dengan konflik kita.

Ada lagi kasus lainnya. Ketika membahas tentang hubungan dengan pasangannya, temanku juga mengamini ceritaku seperti yang aku sebutkan sebelumnya. Ia lelah mengomeli pasangannya yang seperti tidak mendengarkan omongan temanku. Padahal ia bersikap demikian karena khawatir dengan masalah kesehatan dan keuangan pasangannya, tetapi pasangannya malah tidak acuh dan membuat keputusan sendiri.

Setelah dua contoh kasus di atas, aku jadi berpikir bahwa permasalahan suatu hubungan kurang lebih sama, walau aku juga tidak tahu hubungan kita sebenarnya sedalam apa. Namun lamanya berhubungan juga tidak menjadi tolak ukur komunikasi sebuah hubungan akan berjalan lancar. Di drama Korea itu mereka telah saling mengenal dalam waktu lama, semenjak mereka kecil (seperti kita), dan baru berpacaran ketika dewasa tapi tetap saja salah satunya cuek dan tidak memikirkan perasaan pasangannya. Temanku dan pasangannya telah berpacaran mungkin sewindu, tapi masih juga ego masing-masing menjadi masalah.

Apa hubungannya dengan kita? Mungkin kira-kira itu yang akan kamu tanyakan. Ini hanya pendapatku ya, kalau kamu tidak setuju silakan beri sanggahan. Menurutku jika kamu masih ingin sebebas-bebasnya tanpa perlu peduliku, tolong jangan pernah menganggap aku yang terbaik karena membuatku menjadi memikirkanmu lebih dari sekadar teman. Namun, jika kamu merasa memang aku yang terbaik buat kamu, tolong saling mendengarkan, saling peduli. Agar tidak lagi lelah, karena saling merasakan. Jika melulu menuntut dari ku dan tidak berusaha melakukan apa pun, lalu aku dapat apa? 

Komunikasi. Lagi-lagi aku ulang kata ini. Komunikasi yang baik itu perlu dua arah, agar dapat saling mengoreksi bila terjadi kesalahan.

Kalau masih belum bisa melakukannya, sudah ya jangan bermimpi membawa namaku lagi. Aku juga punya mimpi yang ingin aku penuhi. Sekarang aku tanya, pernahkah kamu berpikir bagaimana bila ada aku di kehidupanmu selamanya? Kemudian kamu berpikir bagaimana bila tidak ada aku di hidupmu selamanya? Apakah ada perbedaan? Jika tidak ada, mari sudahi saja.

Jumat, 26 Juni 2020

Mimpi

sekarang saatnya tidur
pasrah
akan atau tidak bertemu kamu
dalam mimpi
semestinya aku senang
berjumpa denganmu dalam mimpi
berbagi suka cita
tanpa berpikir ini khayalan saja
namun nyatanya menyiksa
ketika bangun dan sadar
kita tidak baik-baik saja
tidak seindah dalam mimpi
bahkan tidak ada indahnya
hanya lelah dengan khawatir tak berujung
yang dianggap saja tidak
haruskah aku tidur
dan tak bangun lagi
agar selalu bermimpi
bahagia bersamamu? 
akankah kamu bersedih
dengan ketiadaanku kelak
di dunia ini? 

Menunggu atau Menemukan

acap kali lupa
bahwa tiada yang terjalin
di antara dua hati
yang ingin saling memiliki
bukan karena tiada rasa
namun hanya mengalir sepihak
dan membuatnya lelah
hingga menguap ke angkasa
terombang-ambing melayang
dengan debu kosmik
tak tentu arah
mencoba kembali memenuhi hati
tapi radar tak menemukan gelombang
sinyal untuk mempersatukan dua hati
melayang
melayang
melayang
entah sampai kapan
menunggu sinyal hatinya terpancar
atau mencoba menemukan gelombang lain
yang terlebih dahulu memberikan tanda

Sabtu, 20 Juni 2020

Rumah

ketika rumah adalah tempat berpulang
rasanya tak lagi demikian
karena yang menanti juga telah tiada, 
terpilih untuk pulang lebih dulu ke haribaan-Nya
rasa yang berbeda ini
membuatku merasa tak lagi dibutuhkan
tidak ada lagi yang menuntut
atau dituntut untuk mendapatkan
kasih sayang
mungkin rasa ini juga
yang membuatku cemas
hingga tergesa
ingin mendapatkan kepastian
agar dapat saling menyayangi
dan yang terpenting
menemukan kembali rumah untuk berpulang

Jumat, 12 Juni 2020

Ulangi dari Kalimat Awal

tugasku mulai waktu itu
meyakini hati
bahwa aku tidak apa-apa
tiada beda dengan sebelumnya
seperti teman pada umumnya
tiada kehilangan
sebab memang begitu adanya
tidak perlu mencari
biarlah dicari
jika ia telah merasa
ada yang berbeda
dan kehilangan
pasti ia akan mencari
pasti!
tapi pertanyaannya,
apakah aku yang dicari?
belum tentu
maka,
ulangi dari kalimat awal

Selasa, 02 Juni 2020

Bukan yang Pertama

jujur saja
ini bukan luka hati yang pertama
namun mengapa masih sulit
mencari penawarnya?

Jumat, 15 Mei 2020

Deep Thought

Kondisi di rumah saja tanpa pekerjaan sambil berpuasa sungguh sangat mempermainkan mental. Pusing berkelanjutan juga terjadi hanya karena hal-hal remeh. Emosi juga jauh meningkat. Hal terparah adalah mempengaruhi pola tidur.

Jujur, pola tidur sekarang terparah sepanjang hidup selama 27 tahun. Beberapa kali sempat tidak tidur semalaman. Benar-benar jadi concern karena tidak mau kesehatan makin memburuk di tengah pandemi yang tak kunjung usai. Sampailah di puncak kegelisahan dan akhirnya memilih untuk pasrah dan berdoa, Allah pasti memiliki jawabannya.

Alhamdulillah, malamnya langsung merasakan tidur berkualitas. Walau hanya 3 jam tapi bangun tidur badan terasa fit, tidak merasa demam atau pusing seperti hari-hari sebelumnya. Ketika bangun, langsung melihat jam di handphone dan masih ada waktu untuk melakukan shalat malam terlebih dahulu. Selesai shalat dan berdoa, saya terdiam. Sepertinya ini saat yang tepat. Akhirnya saya kembali berdiri, berniat untuk shalat istikharah. Untuk apa? Meminta petunjuk dari salah satu kegelisahan terbesar abad ini hehehehe.

Surprisingly, setelah malam itu, malam di mana saya memilih untuk bercerita dan bersyukur pada Allah, saya merasa hari-hari saya menjadi lebih ringan. Sesak dan rasa insecure di dada sudah tak lagi terasa saat ini. Inikah ketenangan hati yang diberikan Allah pada saya?

Allah Maha Kuasa. Allah Maha Pengasih. Allah Maha Penyayang. Memang paling benar mengutarakan segalanya kepada Sang Pencipta. Mungkin belum langsung diberikan jawaban atas segala pinta, tapi ketenangan hati ini sangat sangat sangat membuat hidup lebih mudah dijalani. Dan jadi lebih yakin Allah selalu ada untuk kita.

Namun, di satu sisi merasa aneh. Duh, kecintaan pada duniawinya mulai keluar. Dengan hati setenang ini apakah maksudnya diminta untuk lebih sabar dan tak memikirkan seseorang yang selama ini membuat gelisah? Apakah bukan ia jawaban terbaiknya? Hati pun belum merasa sedih, atau lebih baik jangan. Tapi tetap saja jadi terpikir dan menerka apakah ini jawabannya. Semoga diberikan petunjuk yang lebih jelas, dan diselesaikan dengan akhir yg bahagia, aamiin!


Minggu, 03 Mei 2020

Karena yang Pergi Dapat Kembali

"Ra..."

"Eh, hai Ren. Apa kabar?" hampir copot jantungku mendengar suara yang benar-benar aku rindukan. Rendy. Iya, ada Rendy di depan mataku. Dan ia yang lebih dulu memanggil namaku.

"Good. Lo?"

"Baik. Sama siapa ke sini?"

"Itu..." jari Rendy menunjuk ke arah sekerumun ibu-ibu yang sedang sibuk memilih buah jeruk untuk ditimbang. Ada seorang yang terlihat seumuran denganku. Perutnya terlihat tengah mengandung. Oh... kataku dalam hati. Belum pernah aku bertemu istrinya. Sepertinya Rendy juga tidak ada niat untuk mengenalkan aku padanya.

"Lo sendiri?" Rendy bertanya kembali padaku.

"Gitu deh," jawabku singkat diselingi tawa kecil, basa-basi. Sudah tak mampu lagi rasanya berbasa-basi dengan Rendy. Ingin segera menyudahi obrolan tak disengaja ini.

"Eh, gue duluan ya, Ra. Sudah dipanggil tuh sama nyonya. I'm so glad to meet you again, Ra," Rendy berlalu setelah melambaikan tangannya cepat. But i'm not, Ren. Luka lama terasa lagi perihnya. Aku kira lima tahun sudah cukup menuntaskan rasa ini. Nyatanya... nihil.

Tanpa ku sadari, ada yang memperhatikan kami berdua tadi. Setelah Rendy pergi, barulah ia menghampiriku. "Sudah?" tanyanya padaku.

"Iya, sudah. Yuk pulang," rasanya tidak ingin berlama-lama lagi di sana. Nanti sajalah jika masih ada belanjaan yang kurang, cari di pasar dekat rumah saja.

Tanpa banyak tanya, kami berdua menuju kasir, lalu menuju parkiran. Setelah menata barang belanjaan di bagasi, masuklah kami ke dalam mobil, bersiap untuk pulang. Tidak satu pun dari kami bersuara dari terakhir obrolan sebelum pulang di supermarket tadi.

"Siapa Ra?" Alex akhirnya memecah keheningan. Sambil dihidupkannya radio mobil agar suasana tak begitu canggung di antara kami.

"Mantan?" tanya Alex lagi.

"Iya, mantan."

"Mantan kamu yang mana? Sepertinya ada yang berbeda dengan yang ini," nada suara Alex yang datar selalu bisa membuat obrolan sensitif (bagiku) ini terdengar biasa saja. Alex sudah hapal dengan sikapku, jika bertemu mantan kekasih aku tidak akan sediam ini. Pasti biasa saja, seperti bertemu teman biasa.

"Mantan sahabat."

"Wanna tell me?"

"Long story short, dia sahabat aku pas kuliah. Sudah seperti sepaket kami berdua. Berujung aku terlanjur sayang sama dia. Tapi dia tidak pernah menganggapku lebih. Sampai akhirnya dia jadian dengan salah satu temanku. Entah kenapa saat itu rasanya hatiku tidak puas dengan kenyataan dan berusaha untuk mengatakan kepadanya tanpa maksud apa pun. Hanya menyatakan, agar hatiku lega. Tapi akhirnya malah dia yang menyudahi semuanya. Dia tak boleh lagi pergi bersamaku dalam konteks apa pun oleh pacarnya."

Masih teringat jelas kalimat yang Rendy kirimkan melalui chat pribadinya: terima kasih untuk segalanya. Kalimat umum yang diucapkan seseorang untuk putus dengan pacarnya. Sepotong kalimat itu saja membuat pikiranku ke mana-mana. Segalanya, katanya. Yang berarti ia juga merasakan hal yang sama. Jika tidak, buat apa ia sampaikan demikian, di samping memang disuruh pacarnya. Tapi hal yang paling menyebalkan bukan itu.

Setelah banyak malam ku lewati dengan tangis karena sudah tiada hari lagi bisa ku habiskan dengannya, dan sengaja ke kampus tidak berselisihan dengan Rendy, hari itu mau tidak mau aku tidak bisa menghindari Rendy. Posisinya makanan yang aku pesan di kantin baru datang ke meja yang bisa diduduki delapan orang, di mana di meja itu sudah terisi enam orang, aku dan teman-temanku yang lain, yang baru saja selesai kelas bersama. Sayangnya tempat yang kosong hanya ada di sebelahku, di mana aku duduk paling ujung, dan satu lagi di ujung satunya dari bangku depanku. Kalau orang biasa pasti akan memilih mengisi bagian ujung yang kosong karena lebih mudah untuk mendudukinya. Tapi ini Rendy. Di mana ia memilih tempat di sebelahku untuk diduduki.

Tanpa merasa aneh, ia sapa semua teman yang duduk di meja itu sambil bercanda bersama. Kecuali aku. Tapi apa yang ia lakukan? Duduknya sengaja menempel denganku. Hal yang biasa kami lakukan dulu, atau tepatnya dia, jika aku sedang marah dengannya. Dia akan menempeliku tanpa kata. Sampai aku terbiasa dengan kehadirannya dan akhirnya aku lupa jika sedang marah dengannya. Berujung kami akan kembali baik-baik saja dan melupakan masalah yang membuatku marah padanya.

Gelagatnya sungguh menyiksaku. Beberapa kali melirikku, berharap pertahananku runtuh agar bisa kembali mengobrol bersama. Sebisa mungkin aku bertahan. Ikut asyik mengobrol dengan yang lain tapi tetap tidak mengacuhkannya adalah hal tersulit untuk dilakukan. Namun aku merasa harus bisa melewati ini agar terbiasa untuk jauh darinya. Hasilnya, aku berhasil tidak mengobrol dengannya dan bergegas meninggalkan meja itu duluan ketika makananku sudah habis. 

Sikap Rendy tidak berhenti di situ. Dia terus mengulang hal yang sama jika ada kesempatan. Mengapa ia harus melakukan ini, pikirku.

Akhirnya sampai pada hari kelulusan. Wisuda dimulai dengan arak-arakan, ditutup dengan acara bersama di balairung. Aku dan teman-temanku saling memberikan ucapan selamat satu sama lain, tapi tidak ku hiraukan Rendy dan pacarnya. Selesai juga drama ini, kataku dalam hati. Namun ternyata di acara lain setelah kelulusanku, nikahan atau buka bersama, ia masih berusaha melakukan hal yang sama. Untuk apa? Tidakkah cukup ia sudah mematahkan hatiku? Mengapa berusaha untuk menjalin hubungan lagi denganku? Semua usahanya tidak ada yang ku sambut. Karena aku tahu rasa sayangku untuknya seperti apa. Aku tidak mau memberi harapan pada egoku sendiri, sebab tidak mungkin kita akan menyatu. Buktinya setelah putus dengan temanku, ia sudah menjalin hubungan dengan teman kantornya. Tiada itikad untuk berbaikan denganku di kala "kekosongannya".

"Jadi tadi kali pertama kalian mengobrol kembali?" tanya Alex menanggapi cerita singkatku.

"Lex, maaf..." entah mengapa kata itu yang keluar dari mulutku.

"Untuk apa? Karena kamu masih tidak bisa menyembunyikan rasa sayangmu? Lalu memangnya kamu sekarang bisa apa?" Alex berbicara tanpa menatapku. Nadanya tetap tenang sambil berkemudi.

Aku hanya diam. Menunduk. Menatapi tanganku. Merasa bersalah karena rasa ini masih ada.

"Aku tahu kamu, Ra. Dia sudah beristri. Bahkan sebentar lagi menjadi seorang ayah. Kamu bukan orang yang akan mengambil masalah. Kamu tahu diri dengan posisimu. Sekarang tugasnya di aku."

Tugas? Tugas apa untuk Alex? Aku memandangnya penuh tanda tanya.

Alex menengokkan kepalanya ke arahku sebentar, kemudian tersenyum, "Iya tugasku untuk membuat kamu lebih menyayangiku agar sayangmu padanya tertimbun dengan sayangmu padaku."

Tersadar dengan ucapan Alex, spontan aku tertawa. "Makasih ya, Lex. Makasih banget kamu selalu bisa ngertiin aku. Bahkan ga marah di saat seperti ini. Aku bakal memenuhi hati aku dengan kamu," ku balas gombalan Alex dengan hati yang lega.

Tidak terasa akhirnya perjalanan kami sampai ke rumahku. Obrolan berat di awal disulap Alex menjadi obrolan lain yang bisa membuatku lebih ceria, dan melupakan patah hatiku yang mestinya sudah kedaluwarsa itu.

Aku dan Alex turun dari mobil. Kemudian memindahkan barang belanjaan dari bagasi ke dapur mamaku. Alex ku suruh melepas lelah di ruang tamu sembari menunggu aku selesai membuatkannya es teh manis. Ku letakkan handphone yang ku ambil dari dashboard mobil Alex di atas pantri dapurku. Tak lama ada getaran dari handphone-ku dan muncul satu notifikasi:
Rendy Laksana started following you.

Jumat, 24 April 2020

Seperti Hidup Kembali

Kali kedua merasakan ini, setelah terakhir setahun yang lalu. Seperti juga tahun lalu, lagi-lagi harus menghadapi perpisahan. Awalnya aku berpikir ini hal yang mudah. Tinggal katakan: terima kasih, maaf, dan sampai jumpa lagi. Iya, aku percaya pasti akan ada pertemuan berikutnya, tidak akan ada perpisahan sepenuhnya, kecuali jika Yang Maha Kuasa telah menjemput terlebih dahulu. Namun, kenyataannya tak semudah itu.

Kemarin pagi sudah dibuka dengan tangisan. Perpisahan (kedua kalinya) dengan seorang teman yang lebih dahulu pamit dari tempat kerja. Baru setahun saling kenal tapi sudah terasa sangat dekat. Karena sebelum bekerja pun sudah menghabiskan nyaris satu bulan penuh bersama untuk belajar. Melihat matanya yang berkaca-kaca sungguh menular. Dalam peluk, kami pun menangis. Hanya maaf dan terima kasih yang menguar ke udara.

Selanjutnya aku yang berganti berpamitan dengan para rekan kerja. Belum saatnya untuk selesai, tapi harus pindah shift. Jadi mau tak mau menjadi kebersamaan terakhir di shift tersebut. Sudah menguatkan diri untuk pamit tanpa tangis. Bisa! Pasti bisa! Pamit pertama dengan salah satu yg tertua, ya berhasil. Walau hampir tumpah. Untung ada pelanggan, jadi aku dapat melipir pergi. Pamitan kedua dengan salah satu rekan yang lebih muda. Yang menurutku tingkat kedekatannya sama dengan yang lain pada umumnya. Tapi apa? Ia menangis sesenggukan... Pecah sudah pertahananku. Ditambah ia berkata, "Kenapa cepet banget, kita kan baru deket. Aku sayang banget loh sama kamu, Kak."

Yah, mengetiknya saja sudah membuat mataku berair sekali. Menyadari hal ini, ada orang yang menyayangiku tanpa diduga, membuatku terenyuh. Sangat. Siapa sangka sikapku mempengaruhinya. Padahal menurutku tidak ada yang ku perlakukan spesial. Karena merasa diri ini juga masih mencari yang lain, di luar lingkungan kerja, ketika sedang merasa gusar dan gelisah.

Mungkin faktor umur yang membuatku begini. Mudah tersentuh dengan kebaikan orang lain. Mudah terenyuh bila seseorang mengatakan aku cukup berarti untuk mereka. Karena menurutku aku tidak pantas mendapatkannya.

Lagi-lagi merasa, bahkan bukan lagi-lagi, mungkin lebih tepatnya masih merasa bahwa aku salah satu makhluk tidak berguna di bumi ini. Tidak merasa percaya diri dengan diri sendiri. Namun ternyata ada saja yang menyampaikan bahwa aku lebih dari apa yang aku pikirkan. Kalimat-kalimat seperti itulah yang membuatku merasa hidup kembali. Menjadi manusia yang berguna.

Selalu sedih menghadapi perpisahan, tapi itulah yang menguatkan, karena selalu memberikan pelajaran. Mungkin masih sulit bagiku untuk menerima bahwa diri ini lebih berharga daripada apa yang dipikirkan, tapi biarlah menjadi pendar yang lama-lama akan semakin besar terangnya menerangi hatiku, membuatku semakin percaya akan kelebihan yang aku miliki. 

Terima kasih teman-teman yang telah membantuku merasakan hidup kembali. Aku pun masih harus menghadapi hari terakhir di tempat kerja dalam beberapa hari lagi. Akankah ku lalui dengan langkah ringan, atau kembali berat sibuk memikirkan apa yang ditinggalkan...

Kamis, 16 April 2020

Alasan Jatuh Cinta

Pernahkah kalian menyukai seseorang karena pemikirannya? Sungguh aku bingung, sebab aku pernah mengalaminya. Atau bisa dibilang sedang mengalaminya. Biarkan aku bercerita, silakan kalian tetap tinggal atau pergi begitu saja tak usah tinggalkan jejak.

Selama ini, lebih tepatnya sekitar dua tahun terakhir, aku merasa menjadi orang yang selalu memikirkan segalanya menjadi positif. Bukannya aku sombong karena memuji diri sendiri (jika ini juga dapat disebut pujian), melainkan karena sesungguhnya aku terlalu sensitif dengan omongan orang. Maka aku membutuhkan afirmasi positif untuk mengenyahkan segala kenegatifan isi kepalaku.

Sampai pada akhirnya ada kala aku merasa tak sanggup lagi dengan pikiran negatifku, hingga aku butuh pelarian. Aku butuh wadah untuk menumpahkan ini semua. Lalu, ku pilihlah dia.

Alasan aku memilihnya hanya satu, dia pernah menjadi penawar racun di masa kelamku. Dia yang menemaniku keluar dari ruang gelap yang tak mampu diraih siapapun. Hingga akhirnya sekarang aku bisa berada di sini, di antara para manusia yang dahulu tak ingin aku temui satupun.

Awalnya sempat ragu, karena beberapa sebab yang membuatku enggan menghubunginya. Namun, entah hati ini begitu kuat memanggil namanya. Seperti memaksa otak untuk memerintahkan kedua jempol mengetikkan sapaan di kolom chat-nya. Dan akhirnya terkirimlah dua kalimat, "Lagi sibuk? Mau ngobrol."

Tidak seperti biasanya, ia langsung membalas. Wahai semesta, ingin rasanya aku mengumpat. Mengapa di setiap momen ini ia siap sedia. Mungkin harapan juga telah terselip dalam hati, hingga rasanya aku kesal setengah mati. Ya sudahlah, toh bagus ia jawab. Sebab aku pun butuh "wadah".

Setelah menanyakan aku di mana, ia langsung meneleponku. Dasar, tidak ada basa-basinya. Selalu membuat si introvert yang cinta menulis ini harus mengerahkan seluruh tenaga untuk mengungkapkan segalanya dengan lisan. Untung saja kegelisahanku ini terlampau besar, hingga menjadi tenaga yang bisa ku keluarkan membabi buta. Akhirnya tumpahlah semua kegusaranku.

Sungguhlah, aku mulai kesal dengan semesta. Di saat aku sudah melontarkan segalanya, ternyata ia juga di posisi yang sama denganku. Sedang mengalami kegelisahan yang sama. Iya, sedang. Bukan past tense atau future tense. Dialami saat ini juga. YA TUHAN! MENGAPA SEMESTA BERSEKONGKOL DI HIDUPKU DAN HIDUPNYA...

Kembali lagi ke pernyataanku di awal, bahwa aku dapat memikirkan segalanya menjadi positif. Tapi tidak saat itu. Dialah yang menjadi aku. Mengolah segala keluhanku menjadi terlihat lebih indah. Sisi kelam ini juga ada indahnya loh. Kira-kira seperti itu. Mungkin aku tidak dapat menjabarkannya secara detail di sini, hanya penggambarannya kira-kira seperti tiba-tiba aku melihat cahaya masuk ke tempat aku terkurung yang adalah dia sedang berusaha membuat lubang untuk mengeluarkanku dari sana. Diajaknya aku melihat dunia dari perspektif lainnya agar aku dapat mengembangkan masalahku menjadi hal yang patut aku syukuri.

Aku hanya bisa terdiam. Tidak pernah rasanya aku memikirkan kalimat-kalimat yang ia katakan akan keluar langsung dari bibirnya. Apa yang dilakukan waktu hingga membuat ia dapat berpikir demikian? Mengapa sekejap aku dibuat takjub dengan pemikirannya? Sejak kapan ia menjadi dewasa seperti itu?

Hmm... Gawat. Jangan bilang aku mulai jatuh... Hati. Dengan pemikirannya yang sudah cukup dewasa. Membuatku berpikir ia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Apakah ini sudah cukup menjadi alasanku untuk jatuh cinta dengannya?

Kalau kalian, kapan kalian merasa "ini" adalah alasan kalian jatuh cinta? Dan bagaimana prosesnya? Atau jika kalian tak berkenan untuk berbagi beri tahu saja tanggapanmu tentang alasanku ini, apakah aku terlampau bodoh dengan begitu mudahnya terpesona hanya dengan pemikirannya saja atau ikuti saja kata hatiku agar dapat tertambat di hatinya?

Jumat, 10 April 2020

Akibat Pandemi

Yang terbayang saat ini hanya satu, jalan-jalan bersamamu menuju taman kota di saat matahari bersinar dengan cerahnya ditemani dengan sepoinya angin mengusik pepohonan. Kita menggelar tikar lipat yang dibawa, menaruh semua bawaan di atasnya. Sekarang waktu bebas! Aku menghempaskan badanku, duduk di atas tikar, mencari posisi enak, membuka camilan, menghidupkan musik, dan mulai membaca novel romansa. Sedangkan kau menuju skatepark yang tersedia dengan skateboard sudah kau apit di lenganmu. Kita menikmati waktu senggang kita dengan hobi masing-masing. Waktu berjalan, kau mulai lelah. Kembali menghampiriku yang sudah memegang botol minuman dingin untukmu, yang baru saja ku beli dari ibu-ibu penjual minuman keliling. Kau duduk di sebelahku sambil menghabiskan setengah botol air yang tadi ku berikan. Ku tawarkan untuk makan, dan kau mengiyakan. Ku buka kotak bekal yang telah ku persiapkan tadi pagi, beberapa tangkup roti lapis berbentuk segitiga yang berisi selada, telur dadar, keju, juga saos sambal dan tomat. Enak, katamu. Dengan lahapnya kau habiskan tiga tangkup di saat aku hanya berhasil menghabiskan satu tangkup. Perut kenyang. Masih belum ingin pulang. Akhirnya kita menghabiskan waktu dengan bercengkerama. Sudah lama sekali tidak ada waktu untuk saling bertukar cerita. Akibat pandemi ini. Bahkan ini semua hanya bayanganku saja.

Apakah semua hanya akan jadi bayang-bayang semu akibat pandemi yang tak kunjung usai?

Senin, 16 Maret 2020

Deni-al

masing-masing sudah tahu
namun saling tidak mau tahu
tidak ada apa-apa
walau sebenarnya sudah ada apa-apa

Senin, 24 Februari 2020

Mungkin Memang Waktunya

Hari ini hari libur saya. Seperti biasa, hanya goler-goler dari kasur ke sofa, mencoba menyeret badan untuk beraktivitas. Sampai akhirnya smartphone saya berbunyi, muncul notifikasi dari Line, karena notifikasi dari Whatsapp dan Instagram saya matikan jadi smartphone saya pun sudah jarang berbunyi. Ternyata dari salah satu sahabat saya. Ya iyalah, siapa lagi yang punya dan chat via Line kalau bukan sahabat dekat. Seperti biasa tanpa tedeng aling-aling mengajak jumpa. Langsung saya oke-kan sebab saya pun sedang penat, butuh asupan obrolan dari teman sejawat.

Bertemu di salah satu tempat nongkrong yang sudah cukup terkenal namanya, kami saling bertukar kabar. Sampai akhirnya topik obrolan menuju ke masalah lelaki. Ia sedang merasakan patah hati terbesar (mungkin) dalam seumur hidupnya. Sebagai teman mestinya saya menghibur dong ya. Tapi entahlah, apa ia merasa terhibur dengan omongan saya atau tidak. Saya tipe yang blak-blakan dengan teman dekat. Tidak menye-menye bilang, "Sabar ya, semua cowo memang gitu," tapi lebih seperti, "Lo berhak sedih kok. Wajar lo nangis, karena itu sakit banget. Akan ada masanya lo sedih, dan pasti masa itu akan berlalu."

Obrolan terus mengalir, sampai akhirnya tercetus omongan dari mulut saya, "Nikmati saja yang sekarang. Mungkin ini saatnya kita bebas sebebas-bebasnya, setelah dulu kita mau ini itu terkekang. Mungkin memang disengaja sekarang kita merasakan bebas melakukan apa saja sampai nanti ketika sudah cukup kita akan bertemu orang yang tepat untuk mulai fokus kembali, tidak bisa bebas seperti sekarang."

Awalnya saya tidak berpikir telah berkata demikian. Tapi setelah sahabat saya bilang, "Oh iya benar juga, kan kita dulu sama ya," perkataan saya tak lagi terasa sama untuk saya sendiri. Oh iya ya, mungkin memang waktunya Tuhan menyuruh saya mencoba banyak hal yang saya ingin kerjakan dari dulu pada saat sekarang. Itu sebabnya saya belum diizinkan Tuhan membentuk keluarga baru untuk diri saya sendiri. 

Di umur yang sudah melewati seperempat abad ini tuntutan dari lingkungan sekitar semakin banyak. Tapi kan mereka tidak tahu apa yang kita rasa, apa yang kita lakukan. Tuhan yang paling tahu kapan untuk kita dapat bertemu dengan jodoh yang terbaik. Tidak usahlah memaksa untuk melangkahi takdir Tuhan, sebab mau dipaksakan seperti apa juga jika Tuhan tidak mengizinkan semuanya tidak akan terjadi.

Lagi-lagi dari obrolan santai menyadarkan diri ini bahwa banyak hal yang masih patut disyukuri, seperti dengan kesendirian ini. Banyak orang juga ingin kembali ke kehidupan sebelum menikah karena satu dan lain hal. Maka, nikmatilah. Nikmatilah sementara masih diberikan nikmat. Apa pun bentuknya. Dan tidak lupa bersyukur. Semua ada waktunya. Mungkin memang sekarang waktunya untuk kita menghadapi, menikmati, juga mensyukuri apa yang ada di depan mata kita.

Selasa, 04 Februari 2020

Is It Okay?

is it okay to meet you again?
is it okay to hug you when we meet again?
is it okay to lean on your shoulder 'til the end of time?
is it okay to hold your hand and never apart?
is it okay to have you beside me for whole my life?
is it okay?
is it okay for me?

Sabtu, 01 Februari 2020

Preambul

kamu tahu ngga,
tukang ojek di belakang SD kita,
mereka masih jadi tukang ojek.
tukang es campur di belakang SD kita,
yang biasa cuma dibeli es batoknya saja,
masih jadi tukang es campur.
tukang bubur keliling yang dari dulu selalu lewat tepat waktu,
entah di SD atau pun rumahku,
pasti rumahmu juga,
masih jadi tukang bubur.
tukang otak-otak yang jualan depan SD kita,
kalau sudah siang pindah di belokan masjid,
iya masjid dekat rumah kita,
masjid paling nyaman buat kamu shalat jumat,
masih jadi tukang otak-otak,
bahkan masih ingat aku.
mereka sudah terlanjur nyaman dengan pekerjaan mereka.
walaupun beragam pekerjaan zaman sekarang yang lebih menjanjikan pemasukannya.
misalnya,
tukang ojek menjadi ojek online,
tukang es campur menjadi penjual minuman boba berbagai rasa,
tukang bubur keliling menjadi buka kedai dan dapat dipesan online,
atau tukang otak-otak menjadi tukang tahu bulat yang juga menjual sotong.
namun mereka memilih tidak berubah,
karena mereka pikir masih ada yang menyukai dan memilih mereka,
daripada mereka berubah dan kehilangan pelanggan tetap mereka.
tapi apakah yang tetap itu akan abadi?
jika bersikeras tidak berubah apakah akan tetap bertahan tidak tergerus perkembangan zaman?
seperti itu juga rasaku padamu.
aku akan tetap nyaman denganmu.
aku akan tetap berteman denganmu.
iya, teman.
jika kamu masih tidak berubah.
mungkin kamu bilang aku yang paling mengerti kamu.
ya, aku memang mengerti.
tapi untuk memaklumi,
dan berharap lebih dari ini,
aku pikir-pikir lagi.
bukan,
bukan karena egois.
tapi kurang komunikasi.
jika hanya kamu yang ingin dimengerti,
bagaimana dengan aku?
apakah kamu mengerti aku?
kalau sudah mengerti pasti tidak ragu lagi.
atau kamu sudah merasa nyaman seperti ini,
seperti tukang-tukang yang tadi aku sebutkan,
berharap ada yang selalu menerima apa adanya.
ya,
aku menerima kamu saat ini apa adanya.
sebagai teman.
tidak bisa lebih.
jika masih ingin menggugatku,
perbaikilah satu,
dan kamu tahu itu dengan pasti.


Jumat, 31 Januari 2020

Dijawab Tuhan

senang ya
'pabila doa kita langsung dijawab Tuhan.
langsung bersyukur
dengan segala kondisi yang diberikan.
tapi mengapa doa tentangmu tak kunjung dijawab Tuhan?
atau sebenarnya sudah dijawab
tetapi aku yang masih selalu menyangkal?
haruskah aku mengubah doaku
untuk tidak berharap
kalau jawaban terbaiknya
bukan kamu?
siapkah aku bila dijawab Tuhan demikian?
bagaimana dengan doamu?
apakah ada aku di dalamnya?
atau sudah mendapat jawaban lainnya?
tolong,
beri tahu aku
agar harapku tak semakin tinggi,
agar tak terlalu sakit
bila aku harus jatuh
dari tingginya harapku.

Rabu, 29 Januari 2020

Nobody

when my friend -the cutest one- asked me, "is there someone will pick you up, sist?" before we went home together, i always answered with, "no, there is no one will pick me up, so we can go home together."
and suddenly i realized that i'm nobody for you.
yeah, i'm so tired why i always think about you in this situation.

Rabu, 15 Januari 2020

Kegelisahanku

Bukan hal mudah untuk bertahan. Selalu berusaha memberi kesempatan yang tak pernah di-aamiin-i alam. Tentu saja aku mulai lelah. Seperti berkata pada tembok jalanan. Diam. Bergeming. Bagaimana muncul komunikasi?

Cinta bukan hanya mencari yang terbaik. Mungkin aku yang terbaik bagimu, tapi apa berlaku sebaliknya? Sulit untuk mengatakannya, apalagi mengakuinya, bila kau saja tak ada rasa.

Cinta tanpa rasa, sungguh hal yang sangat mengerikan bagiku. Mendapat pendamping seumur hidup tanpa rasa, bisa-bisa aku hanya dihantui rasa gelisah di sepanjang sisa hidupku. Alasan darimu karena aku tak bisa membuatmu jatuh cinta. Hei, mengapa seperti ini salahku bahwa tidak bisa membuatmu jatuh cinta padaku?

Aku tak pernah meminta apa pun darimu. Tidak pernah memaksa untuk bersama. Aku bukan ahli nujum yang bisa mengetahui apa maumu. Semua perlu dikomunikasikan. Jika komunikasi denganku saja sungguh menyulitkan, sudah tak apa sudahi saja yang kau katakan dengan "kedekatan" ini. Sebelum semua terlalu jauh. Sebelum semua direncanakan. Sebelum...

Ah sudahlah. Aku terlalu jauh memikirkannya. Entah kau pikirkan pula atau tidak. Mungkin kau pikir ini sudah terlanjur, tapi kehidupan kita masih panjang, Sayang. Jika ketika kita sudah saling terikat, dan ternyata kau menemukan rasa dengan yang lain di tengah-tengah kita, kau merasakan jatuh cinta dengan yang lain dan bukan aku, lalu apa yang harus aku perbuat?

Iya, aku takut. Aku takut gagal. Tahu sendiri kan kehidupanku sudah dipenuhi kegagalan. Kau sendiri yang menemaniku melewatinya agar aku bisa bangkit kembali. Sungguh aku tidak ingin kembali ke masa kelam itu. Entah apa yang akan terjadi jika masa itu kembali...

Maka dari itu, aku berhati-hati untuk membuka hati. Rasa itu bisa diciptakan, bila memang ada niat. Niat saja tak terlihat dari gelagatmu, bagaimana bisa membentuk rasa? Rasa yang bahkan harus ku olah lagi agar kamu juga memiliki rasa yang sama. Sepertinya mustahil. Tidak masuk dalam logikaku.

Cinta tak perlu logika. Hahaha maaf saja aku bukan penganut paham itu. Mungkin sifat asli aries ini terlalu kuat dalam hatiku. Cinta perlu logika, bagiku. Buat apa mencinta orang yang tak mencintaimu, sakit. Logikanya, keduanya harus memiliki rasa. Satu frekuensi. Agar nyata dan tidak saling menyalahkan satu sama lain.

Logika dan rasa harus saling berkesinambungan. Semua bisa dikatakan sempurna bila komunikasi dinomorsatukan. Tentu saja doa yang utama, karena tanpa doa mungkin Tuhan tidak akan mengizinkan segalanya terjadi. Namun jika hanya berkomunikasi dengan Tuhan, tidak kunjung disampaikan padaku, apakah semua akan menjadi kenyataan?

Hahaha lucu memikirkan aku bisa menulis sepanjang ini karena kegelisahanku terhadapmu. Mengapa aku gelisah? Karena saat ini aku tengah di persimpangan. Haruskah aku menuju arahmu yang masih penuh tanda tanya, gelap, tak tentu arah atau memilih jalur lain yang terlihat lebih baik dan dapat ku jelajahi lebih jauh karena lebih mudah berkomunikasi dengannya?

Coba tanya hatimu. Setelah membacanya apakah masih biasa saja? Wah, ternyata aku masih memberikan kesempatan. Sudah gila sepertinya aku.

Daripada aku gila, mungkin lebih baik menikmati yang lebih menarik ada di depan mata saja ya. Bukan begitu?

Minggu, 12 Januari 2020

Halo Matahari

halo Matahari!
akhirnya kita berjumpa
kau tahu kan aku sangat merindukanmu?
ya, memang aku lebih menyukai Hujan
tapi kekosongan hariku tanpamu terasa hampa
tidak cerah ceria
maafkan aku yang baru mencarimu
ketika kau pergi
untung saja kau kembali
bagaimana jika tidak?
entahlah, aku tak ingin memikirkannya
karena pasti penyesalan akan datang menyergap