Selasa, 24 Maret 2015

Kubus

Aku bagai terkurung di dalam kubus. Ingin pergi mengarungi dunia, namun terhalang oleh dinding-dinding tak bertepi. Tak memberikan jalan untuk keluar. Hanya terdapat lubang kecil untuk membantu bernapas. Itu pun sesak.

Aku bagai terkurung di dalam kubus. Memiliki kerabat dekat adalah salah satu karunia manusia sebagai makhluk sosial. Tetapi kedekatan yang terjalin begitu mengikat hingga akhirnya aku tidak mampu keluar dari jalinan yang terjadi. Namun aku sudah terlalu muak dengan segala hal manis yang dilakukan dan lama-lama hanya membuatku mual. Seperti dipaksakan. Tetapi mereka mengikatku. Memutuskannya begitu saja hanya akan menjadi bahan omongan. Dan putus bukanlah sesuatu yang mengenakkan, bukan?

Aku bagai terkurung di dalam kubus. Mereka tidak pernah sependapat denganku. Aku hanya boleh melakukan apa yang menurut mereka benar dan terbaik olehku. Namun mereka tidak pernah bertanya padaku apakah aku sanggup untuk menjalaninya. Apakah aku sanggup bertahan di dalamnya. Tidak pernah. Hanya berdasarkan pengalaman mereka dan berharap aku berhasil melewatinya. Dan sekarang aku terjebak.

Aku bagai terkurung di dalam kubus. Tidak dapat melakukan apa-apa. Bukan tidak mampu, hati yang menolak. Merasa ini bukan jalanku, tetapi tidak memiliki keberanian untuk melewati jalan lainnya. Karena terkurung di dalam kubus. Kubus yang penuh ketakutan. Takut dimarahi, takut membuat malu, takut tidak punya teman. Takut, takut, dan takut. Lalu, sekarang apa bedanya?

Kubus ini sudah terlalu sempit aku tinggali. Rasanya semakin menyusut seiring dengan aku bernapas. Tidak ada jalan lain selain mengumpulkan segenap tenaga yang tersisa dan mendobrak kubus ini dari arah mana pun demi menemukan jalan keluar. Jalan keluar yang mampu ku lewati dengan bernyanyi riang diiringi burung-burung yang terbang rendah, semilir angin yang damai, dan sinar mentari yang tak terlalu menyengat. Bukan jalan yang salah hingga aku harus masuk kembali ke kubus yang serupa.

Kamis, 12 Maret 2015

Part 10

"Nak, makan dulu ya. Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaan kamu," suara ibu terdengar dari luar pintu kamarku. Sejak pagi aku tidak keluar dari kamar. Tidak seperti aku yang biasanya di Minggu pagi selalu memulai aktivitas bersama ibu dan bapak.

"Ibu masuk ya," karena tidak mendengar jawaban dariku, ibu membuka pintu dan masuk ke dalam kamarku. Melihatku hanya duduk melamun di atas kasur, ibu menghampiri dan duduk di pinggir kasur tepat di sebelahku.

"Kamu kenapa, Nak? Semenjak Putra datang ke rumah kamu tampak lesu. Ada masalah dengan Putra? Cerita saja sama Ibu."

"Ibu pernah tidak sayang sekali dengan seseorang?"

"Pernah. Ibu sangat sayang dengan kamu dan bapak."

"Bukan. Maksud Konny sayang dengan seseorang di luar keluarga Ibu sendiri."

Ibu sedikit mengerutkan keningnya. Mencoba menerka apa maksud dari pertanyaan anak semata wayangnya. Sebelum ibunya menjawab, Konny sudah melanjutkan pertanyaannya.

"Mengapa harus ada pertemuan jika ternyata kita harus berpisah? Mengapa harus ada rasa sayang jika tidak bisa saling memiliki?"

Ibu tersenyum menanggapi pertanyaan Konny. Beliau menyadari anaknya sudah mulai beranjak dewasa. Dan merasa bersyukur Konny selalu terbuka untuk menceritakan masalahnya. Kini saatnya ibu menjawab kegundahan hati Konny dengan sebijak mungkin.

"Setiap pertemuan pasti memberikan pelajaran tersendiri. Setiap orang yang hadir di dalam kehidupan kamu pasti memiliki kisah yang berbeda yang bisa ia bagikan ke kamu. Dan perpisahan sendiri juga merupakan pelajaran bagi orang yang ditinggalkan mau pun yang meninggalkan. Berpisah bukan berarti orang itu salah telah masuk dalam kehidupan kamu, tapi pasti Tuhan punya rencana tersendiri untuk mempertemukan kamu dengannya. Sesuatu hal yang tidak bisa kamu miliki walaupun kamu sangat menginginkannya juga berarti hal tersebut bukan yang terbaik buat kamu, atau belum saatnya kamu miliki. Ada saatnya nanti kamu akan menyadarinya. Jadi ini ada hubungannya dengan Putra?"

Konny mengangguk. Ibu mendekatkan duduknya menjadi tepat di samping Konny. Diraihnya kepala anak kesayangannya dan dielusnya dengan lembut. Konny mulai menceritakan apa yang meresahkan hatinya hingga Konny merasa lega. Perbincangan pun dilanjutkan di meja makan karena ibu Konny mulai khawatir maag Konny kambuh akibat belum makan pagi.

Setelah puas mengobrol dengan kedua orang tuanya, sampai melenceng jauh dari topik awal, Konny mulai merasa lebih baik. Dan ia merasa harus menyelesaikan salah satu masalahnya untuk merasa lebih baik. Konny kembali ke kamarnya lalu mencari ponselnya. Ia mulai mencari kontak seseorang dan meneleponnya.

"Mike, kamu ada waktu hari ini? Aku mau ngomongin sesuatu."

Senin, 09 Maret 2015

Keluarga

Keluarga. Satu-satunya kata yang sensitif untuk saya dengar. Setiap mendengar kata ini, atau sesuatu yang berhubungan dengan ini, membuat emosi saya bergejolak. Perasaan menjadi campur aduk. Sering kali sampai mata tidak mampu membendung air yang kemudian berlinang di pipi.

Entah apa yang membuat kata ini menjadi begitu sensitif di hati saya. Mungkin begitu banyak harapan yang saya gantungkan dalam kata tersebut, namun realitanya jauh dari yang saya harapkan. Mungkin.

Melihat begitu banyak foto di jejaring sosial yang memperlihatkan keakraban dan kehangatan di dalam keluarga sering kali membuat saya tersenyum. Hati kecil berkata, "Beruntung ya mereka," tapi terasa pula perih. Aneh. Mungkin ada rasa iri ingin merasakan kehangatan yang sama.

Pulang ke rumah pun pasti ingin disambut dengan tawa, canda, peluk, dan hal manis lainnya yang memberi kebahagiaan. Bagaimana jika pulang ke rumah disambut dengan hening, berpenghuni namun setiap insannya memiliki kesibukan lain? Bukan kehangatan dan kebahagiaan yang didapat, melainkan kesepian semakin terasa.

Tujuan pulang ingin mencari rasa aman, dilindungi, dan nyaman dikelilingi orang-orang tersayang. Tapi jikalau pulang hanya bertemu kembali dengan kasur, laptop, dan benda mati lainnya, di mana tidak ada interaksi dengan sesama manusia, apa bedanya dengan berada di indekos? Miris.

Sedih. Sakit. Namun tuntutan, salah paham, amarah, keegoisan sudah terlalu lama ikut campur di dalamnya. Membuat rasa nyaman berkurang beberapa kali lipat. Merasa menjauh adalah cara terbaik untuk menenangkan diri.

Tapi apa gunanya menjauh jika ikatan yang kuat ini tidak akan pernah terputus. Semua akan terjalin. Semua akan merasakan. Tidak ada gunanya menghindar. Semua akan tahu pada akhirnya.

Racau asal di fajar buta ini mulai tidak jelas tujuannya. Dari pada membesarkan konflik akan lebih baik diam dan dihadapi saja. Setiap manusia diberikan ujian yang berbeda, namun akan selalu ada jawaban manis di dalamnya.

Jadi, tidak mengapa kan jika saya masih menggantungkan harapan mendapatkan kehangatan dan kebahagiaan seperti sedia kala?