Senin, 22 November 2021

Kembali

Kamu pulang jam berapa?

Tiba-tiba ada notifikasi masuk di smartphone-ku. Dari seseorang yang sudah kira-kira enam bulan tidak bertukar kabar apapun denganku. Hahh... Aku hanya bisa menghela napas berat.

Paling lambat jam 16.30.

Nanti aku jemput. 

... 
Tidak kubalas lagi pesannya. Sekarang otakku sibuk memikirkan perihal apa lagi yang ingin ia bicarakan. Kapan siklus ini akan berhenti? Tak ada seorang pun yang tahu jawabannya.

***

Jam dinding kantorku sudah menunjukkan pukul 16.00. Aku meregangkan badanku yang masih duduk di kursi semenjak tiga jam lalu dan memutuskan untuk mengemasi barangku saja. Sebenarnya sudah tidak bisa fokus lagi bekerja semenjak pesan darinya masuk. Setelah komputer kumatikan, dan isi tasku sudah lengkap, aku menuju mushola. Memang saatnya paling tepat untuk melamun dan curhat kepada Yang Maha Membolak-balikkan Hati.

Selepas shalat dan merapikan mukena, aku membuka smartphone-ku, dan ada pesan masuk di sana.

Aku sudah sampai. 

Pesannya masuk sepuluh menit yang lalu. Kuketikkan jempolku untuk membalasnya.

Sebentar lagi aku turun.

Aku kembali ke meja kerjaku, dan melihat sekeliling. Beberapa rekan kerjaku sudah pulang. Aku pun mengambil tas dan berpamitan kepada yang lain untuk pulang juga.

***

Ting!

Pintu lift terbuka, tanda sudah sampai di lantai dasar. Aku berjalan melintasi lobi, menyapa rekan sejawat yang juga ingin pulang. Sesampai di depan gerbang kantor, tidak jauh di sebelah kiri ia menunggu di atas motornya, dengan sweater biru dongkernya yang biasa, celana jeans biru yang tak sebelel biasanya, sepatu Vans hitam kesayangannya, dan sebatang rokok yang sudah mau habis di antara kedua jarinya.

Aku mendekatinya. Tanpa ada perubahan suasana hati. Biasa-biasa saja. Mungkin malah wajahku begitu datar, seperti ini hal yang sudah biasa terjadi. Ya, memang dulu biasa terjadi. Entah bulan apa terakhir ia menjemputku. Dan setelahnya sudah tak menjadi kebiasaan, karena ia tak lagi memberikan kabar.

"Sudah?" tanyanya padaku setelah aku berhenti di sebelahnya. Aku hanya mengangguk. Ia menyerahkan helm padaku untuk dipakai. "Bisa 'kan pakai helmnya? Soalnya cuma kamu yang pakai helm itu," kalimat yang sama setiap ia menjemputku setelah sekian lama tak muncul di hadapanku. Kalimat yang selalu membuatku ngedumel dalam hati, "Kenapa sih harus ditambah embel-embel cuma aku yang pakai? Biar apa?"

"Kita ga langsung pulang gapapa?"

"Terserah kamu." Jawaban andalan para wanita terlontar dari mulutku.

"Yaudah, kita mampir sebentar ya ke salah satu kafe. Atau kamu lapar? Mau sekalian makan malam?"

"Terserah." Terserah kedua. Terbayang ya seberapa aku sudah tidak memikirkan apa-apa. Yang kupikirkan hanya apalagi maksud dan tujuan lelaki ini menemuiku. 

Akhirnya ia menghidupkan motornya dan mulai berkendara berkeliling kota. Sial, aku jadi ingat waktu itu, di jalan yang sama, tanpa bilang-bilang ia juga mengajakku berkeliling sebelum pulang. Aku bilang padanya tumben sekali, karena biasanya ia paling malas jalan-jalan tidak jelas tanpa tujuan. Dan jawabannya hanya karena ingin membuat memori denganku di jalan yang sangat sering ia lewati. Jawaban yang dulu membuat perutku kegelian dan pipiku bersemu merah, sedangkan sekarang hanya menimbulkan tanda tanya besar mengapa ia mengatakan demikian bila tidak suka denganku.

***

Motor ia parkirkan di depan restoran yang pernah kami kunjungi. Restoran dengan variasi makanan dan minuman yang cukup banyak, sehingga tidak perlu bingung bila mencari makanan besar atau hanya ingin ngemil saja. Seperti biasa kami menuju ke area smoking room. Hanya dengannya aku selalu ada di area yang paling tidak aku sukai. Duduklah kami di ujung berandanya, yang jauh dari orang-orang sekitar. Kami langsung memesan minuman kesukaan kami di sana, ia pesan moccachino, dan aku hot chocolate mint. Pramusaji pergi meninggalkan meja kami setelah menerima pesanan. Seketika hening. Tidak ada yang berbicara satu pun di antara kami. 

"Kamu ga pesan makanan?"

Aku hanya menggeleng. Bagaimana bisa napsu makan bila kamu tiba-tiba muncul kembali setelah sekian lama.

"Apa kabar kamu?" akhirnya pertanyaan pamungkas keluar.

"Kenapa baru tanya sekarang?" serangan balik yang selalu aku lontarkan.

Ia hanya bisa nyengir pahit. Tampak sedikit rasa bersalah terbersit di mukanya. Ia mengeluarkan rokoknya, membakar ujungnya, dan mulai menyesapnya.

"Kamu pasti bingung aku ke mana selama ini dan kenapa tiba-tiba jemput kamu."

Aku hanya diam menunggu lanjutannya.

"Apakah yang kamu rasakan masih sama seperti dulu?"

"Kamu sudah tahu jawabannya."

"Maafkan aku. Tapi bolehkah kita kembali seperti dulu?"

"Untuk apa? Seperti dulu yang mana? Seperti saat kita bersama tapi hanya aku yang mengkhawatirkan kamu? Di mana hubungan ini sepertinya hanya aku yang menginginkannya? Dengan kamu tanpa merasakan hal yang sama? Buat apa?"

"Alisha, maafin aku. Aku tahu aku salah. Tapi aku ga bisa kehilangan kamu."

"Aku ga pernah ke mana-mana, Rom. Aku selalu ada setiap kamu butuhkan. Kamu yang selalu menghilang tanpa kejelasan."

Emosiku mulai naik. Untung saja pramusaji datang membawa pesanan kami. Kami pun diam dan menikmati seteguk minuman kami. Lanjut diam, dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Aku sudah mendapat pekerjaan tetap. Kegusaran kita selama ini sudah berkurang. Maka dari itu aku ingin kita kembali bersama." Romy menatapku dengan sangat serius. Aku sibuk menyugesti diriku agar tidak terhipnotis tatapannya.

"Lalu kenapa?"

"Kita bisa merancang masa depan lagi. Untuk kita."

"Percuma, kalau kamu masih tidak ada perasaan sedikit pun untukku."

"Aku mohon, aku akan berusaha. Aku hanya ingin bersamamu."

"Rom, kamu pikir yang kamu bilang itu masuk akal? Dari empat tahun lalu kamu selalu bilang untuk berusaha menyayangiku karena mengatakan aku yang terbaik buat kamu. Nyatanya, aku tidak pernah ada dalam prioritas kamu. Ingin tahu kabarku pun sepertinya juga tidak. Bagaimana aku mau percaya omonganmu lagi?"

"Tapi kamu bilang kamu masih sayang aku, Sha."

"Iya, aku masih sayang sama kamu. Banget. Bahkan aku masih ingin bertemu denganmu sekarang setelah terakhir kamu bilang kamu lagi pengen sendiri enam bulan lalu. Kenapa? Karena aku kangen, Rom. Sesederhana itu. Tapi aku sadar diri, aku ga bisa meneruskan hubungan ini sama kamu yang masih tidak ada rasa sedikit pun untukku."

Romy diam mendengar omonganku. Hanya membuatku geram, karena itu tandanya ia mengakuinya. Mengakui bahwa ia masih tidak bisa mencintaiku sebagaimana pasangan normal yang ingin hidup berdampingan dengan seseorang yang sangat ingin ia miliki.

"Lalu aku harus bagaimana agar kamu percaya aku tidak ingin main-main lagi dengan hubungan kita?"

"Jika kamu seserius itu, katakanlah semuanya kepada ayahku. Biar ia yang memutuskan apakah layak atau tidak hubungan ini dilanjutkan."

"Tapi Sha, aku mau hubungan kita menjadi baik dahulu sebelum kita memutuskan untuk menikah."

"Apakah ada jaminan jika kita kembali bersama kamu akan bisa mencintaiku sebagaimana mestinya? Empat tahun saja kita habiskan dan kamu berlaku seenaknya. Sepertinya tidak ada lagi yang perlu aku sampaikan. Aku mau pulang sekarang."

Romy menatapku seolah-olah aku akan menghilang. Terlihat sedih raut wajahnya, tapi ia tak mengatakan apa-apa lagi, mematikan rokoknya dan membuangnya ke asbak. Kembali memakai sweater biru dongkernya yang tadi ia tanggalkan dan digantung di kursinya. Di balik sweaternya, ia menggunakan kemeja flanel kotak-kotak kecil yang juga berwarna biru dongker, hadiah ulang tahun dariku di tahun ini. Ia berdiri dari kursi dan mengajakku pulang.

Selama perjalanan pulang, kami hanya diam. Aku sibuk menata hati agar tidak goyah dengan segala permintaannya hari ini. Tidak bohong jika aku ingin kembali bersamanya. Namun tidak bohong pula bila aku tidak ingin kembali mencintai sendirian. Sebenarnya banyak hal yang Romy tunjukkan padaku, yang membuatku terkadang berpikir apakah ia benar-benar tidak menyayangiku?

Tapi kalimat itu selalu ia ulangi, yang membuatku terluka. Bukan sekadar pedih rasanya menjalani hubungan dengan hanya mencinta sendirian. Setiap ingin melakukan sesuatu selalu aku pikirkan, apakah yang kulakukan ini tidak mengganggunya, atau hanya membuat ia semakin tidak mencintaiku.

Hal yang teraneh memang hanya kalimat yang ia katakan: Kamu yang terbaik untukku. Menyatakan itu saja sebenarnya tidak mudah bagi seseorang yang tidak mencinta terhadap orang yang ingin dimiliki. Satu pertanyaan yang mengganjal hanyalah: mengapa ia tak kunjung mencintaiku?