Jumat, 19 Desember 2014

Ketika Suatu Lagu Mampu Menggugah Hati

Bagaimana bisa arti lirik suatu lagu berbahasa asing membuat emosi seseorang bergejolak?

Itulah mengapa saya menyukai rangkaian kata yang ada di dunia ini. Begitu beragam. Dan apabila disusun dengan baik akan menghasilkan kalimat indah yang bisa menggugah hati seseorang. Hal ini makin saya cintai semenjak kebiasaan baru saya beberapa hari ini.

Jadi, beberapa hari terakhir ini saya mengagumi seorang penyanyi asing yang juga membintangi variety show di salah satu negara di Asia. Awalnya bukan karena tahu dia seorang penyanyi atau memiliki wajah yang tampan, tapi karena sifatnya di dalam acara tersebut yang cukup menarik hati saya. Yaa kurang lebih sama ketika saya menyukai seseorang dari sifatnya (ga nyambung sih, biarin aja deh). Baru setelah itu saya tertarik untuk mencari lagu-lagu yang dipopulerkan oleh grup duonya. Kabarnya lagu-lagu yang dia ciptakan banyak yang bernuansa kelam tidak seperti kesehariannya di acara tersebut.

Akhirnya saya mencari lagu-lagunya di Youtube dan mencari yang mencantumkan lirik Bahasa Inggris. Ini kali pertama saya berusaha mendengarkan lagu berdasarkan arti liriknya. Dan ternyata benar. Liriknya berhasil menyayat hati hingga mengeluarkan air mata saya.

Baiklah saya sebut saja nama grup duonya, yaitu Leessang. Grup duo ini berasal dari Korea. Saya tidak ingin mengatakan terang-terangan di awal karena seperti senjata makan tuan, saya sebenarnya termasuk orang yang tidak suka yang berbau Korea. Tapi setelah saya menonton beberapa variety show Korea saya menyimpulkan bahwa saya cukup menyukai acara seperti ini. Mungkin karena acaranya lucu dan saya suka tertawa. Tapi sepertinya karena saya bukan orang yang hobi menonton jadi drama atau film Korea saya tetap tidak suka.

Oke, kembali ke Leessang. Lagu pertama yang saya perhatikan liriknya dengan seksama adalah lagunya yang berjudul The Girl Who Can't Break Up and The Boy Who Can't Leave. Panjang ya judulnya. Sekali dengar dan menonton musik videonya saya langsung suka! Ditambah dengan arti liriknya yang begitu dalam dan membuat saya berpikir akan kehidupan saya nanti. Mungkinkah saya bisa bertahan di waktu yang lama bersama seorang laki-laki yang sama sepanjang waktu hingga akhir hayat? Lagu ini bisa-bisanya membuat saya berpikir demikian. Pasti banyak yang tidak percaya. Coba saja tonton dan buat testimoni kalian sendiri karena ini hanya pendapat pribadi saya.

Dan tadi malam saya mulai mencari lagi. Sesampai di kosan saya langsung membuka laptop untuk mencoba mencari lagu-lagu lain. Dan saya menemukan yang berjudul Someday. Kalian tahu apa reaksi saya mengenai lagu ini? Saya menangis. Hebat ya. Arti liriknya benar-benar seperti yang sedang saya rasakan dan saya juga sedang memikirkan orang yang tepat dengan lagu tersebut.

Tiada lagi kata yang bisa menggambarkan kekaguman terhadap lagu-lagu yang diciptakan selain hebat. Bisa membuat seseorang merasakan begitu dalam hingga terhanyut.

Tadinya pos ini dibuat untuk berkeluh kesah tentang kegalauan hati setelah mendengarkan Someday. Tapi sepertinya akan lebih baik ini dijadikan pos motivasi semoga suatu hari nanti saya pun dapat merangkai kata-kata menjadi sebuah cerita yang dapat dengan mudah diterima oleh orang banyak dan tepat di hati para pembaca. Semoga. Aamiin.

(Untuk pos galaunya ditunda dulu ya, mungkin akan lebih baik jika berupa cerpen nantinya :p Salam)

Sabtu, 13 Desember 2014

Semoga Tidak Gila dan Nekat

Saya benar-benar tidak sanggup lagi setiap hari harus mendengar suara-suara keras dan dengan nada tinggi yang keluar dari mulut orang-orang yang sama. Entah mengapa mereka harus berselisih setiap harinya.

Sesungguhnya saya senang mendengar suara keras. Maksud saya lagu-lagu yang keras. Seperti lagu rock dan lagu-lagu yang sering diputar di klub. Sering saya mendengarkan lagu-lagu dengan headphone dan memasang volume maksimal. Tujuan saya melakukannya hanya untuk menutupi suara keras yang bersumber langsung dari manusia-manusia yang tinggal bersama dengan saya. Setidaknya saya bisa pura-pura tidak dengar atau ikut berteriak sambil menyanyikan lagu yang berkumandang di telinga saya untuk menutupi kekesalan saya oleh ulah mereka.

Kekesalan saya mulai muncul ketika terdengar suara manusia yang mulai meninggi. Bukan karena mereka sedang menyanyi dan sedang berusaha melakukan falseto. Tapi karena mereka marah-marah. Marah-marah karena sebab yang kecil. Beberapa penyebabnya antara lain karena tidak ingin merasa bersalah, merasa teraniaya atau tidak ada orang yang sependapat dengannya, salah paham, dan lain-lain.

Saya juga mulai membenci, bukan hanya tidak suka, suara-suara keras yang dihasilkan oleh benda-benda di sekitar saya akibat dari ulah manusia-manusia yang tinggal bersama saya, misalnya suara bantingan pintu, atau suara klakson yang menderu. Bisa dengan mudahnya emosi saya naik.

Dan ada lagi yang membuat saya muak akhir-akhir ini. Sikap manusia yang hanya ingin diperhatikan namun tidak berusaha untuk memperhatikan orang lain. Ingin didengarkan tapi tidak ingin mendengar orang lain. Oleh karenanya, apa pun yang saya lakukan akan selalu salah di matanya. Maksud hati ingin memberikan waktu istirahat agar tidak terlalu lelah karena setiap hari berpergian malah dianggap tidak sayang lagi dan tidak ingin menemani.

Hal memuakkan lainnya adalah diberi tahu hal yang sama berulang-ulang untuk melakukan sesuatu. Saya muak. Seperti tidak dipercaya dan dianggap tidak punya otak untuk melakukan hal itu. Padahal sebaliknya, saya sudah melakukannya sebelum hal itu diberitahukan. Entahlah, mungkin dipengaruhi nada suara yang tidak enak ketika pesan itu disampaikan membuat saya merasa direndahkan.

Hal-hal tersebut yang akhir-akhir ini membuat saya sakit kepala. Benar-benar sakit kepala yang menyakitkan. Berharap ini bukan menjadi awal suatu penyakit keras yang tidak ada penyembuhnya.

Saya juga berharap saya tidak gila. Karena harus terkurung dalam keadaan yang sama dalam waktu yang tak bisa ditentukan sampai kapan. Mungkin seumur hidup. Tak tahu juga. Atau mungkin saya sudah gila dari sebelum saya menuliskan hal ini.

Entah apa tujuan saya di sini. Mungkin hanya untuk membagi beban di otak. Orang bilang kalau menceritakan masalah ke orang lain maka beban yang terasa akan semakin ringan. Semoga saja setelah ini sakit kepala saya semakin berkurang. Jangan sampai membuat saya kehilangan akal sehat dan akhirnya saya memutuskan untuk....

Selasa, 09 Desember 2014

Mimpi dalam Mimpi

Hangat. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan seperti ini. Ada seseorang yang menggenggam tanganku dari belakang. Tidak, tidak mungkin dia.

“Hei! Nanti dimarahi loh sama seseorang,” ku tolehkan kepalaku ke kanan, ada Luki sahabatku sedang memergoki seseorang di sebelah kiriku.

Secara reflek aku mengikuti arah pandang Luki. Benar, ternyata dia. Seorang lelaki yang telah menghancurkan hatiku. Fariz. Jemarinya telah menggamit jemariku dengan erat. Senyumnya yang berhasil meracuni hatiku begitu terkembang di bibirnya. Sekarang, apa lagi? Pikirku. Menolak untuk merasa senang dengan aliran hangat yang mulai mengalir kembali ke hatiku, aku membuang muka, menatap jalanan di bawah kakiku.

“Tidak lagi hahaha. Lo curang Ki mau nguasain Lara sendirian. Emang nanti pacar lo ga marah?” tanpa sadar aku telah melingkarkan tanganku dengan tangan Luki. Luki yang menyadarinya bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan diriku hanya bisa mengusap tanganku dengan lembut, seperti mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Maksud lo udah ga lagi apa, Riz? Rahma udah tahu Lara kali.”

“Ra, apa kabar?” seperti tak mengacuhkan jawaban Luki, Fariz mengalihkan pandangannya kepadaku. Bimbang bagaimana harus menjawabnya dan dengan raut muka seperti apa, aku memilih menatap Luki. Luki yang mengerti maksudku hanya mengangguk, memberi tanda untuk membebaskanku menjawab pertanyaan Fariz.

Setelah berusaha mengumpulkan segenap tenaga, aku menengokkan kepalaku ke Fariz. Senyumnya masih ada di sana. “Kantin yuk,” mungkin Fariz tahu aku belum siap, sehingga dia lebih memilih mengajak aku dan Luki ke kantin.

Waktu sudah menunjukkan tengah hari, saatnya istirahat makan siang. Tadinya aku dan Luki sudah janjian dengan Rahma untuk makan siang bersama di salah satu restoran sushi yang berada di antara kantor Rahma dengan kentorku dan Luki. Tapi karena tiba-tiba menghadapi situasi seperti ini, Luki tidak mampu meninggalkanku sendirian. Akhirnya Luki memutuskan untuk menjemput Rahma dan mengajak Rahma makan di kantin kami, itu juga setelah mendapatkan persetujuan dariku untuk meninggalkan aku dan Fariz berdua saja.

“Ra, beneran gapapa gue tinggal? Rahma bisa kok gue suruh ke sini sendiri, dia pasti ngerti,” Luki yang khawatir berulang kali menanyakan hal ini padaku.

“Gapapa Ki, entah sekarang atau besok pasti gue harus mengalami hal ini. Kalau lo dan Rahma mau tetep makan sushi juga gapapa,” aku menjawab Luki dengan menambahkan senyum untuk meyakinkan Luki.

“Kalau ada apa-apa telepon gue atau Rahma ya Ra, jangan maksain diri,” Luki pergi setelah menepuk pundakku. Sepanjang perjalanan Luki keluar kantin, bolak-balik ia menatap ke belakang, memperhatikanku dengan penuh kekhawatiran. Aku memberinya senyum lagi dan pura-pura mengusirnya untuk menghibur kekhawatiran Luki.

Setelah Luki sudah tidak lagi terlihat, aku melemaskan badanku di bangku kantin. Menarik dan membuang napas panjang untuk menenangkan diri. Tak lama, Fariz kembali ke meja kami setelah memesan makanan.

“Luki mana?”

“Jemput Rahma di depan,” jawabku singkat.

“Oh…”

“Riz, gue pesan makanan dulu ya,” aku segera berdiri, mencari alasan untuk tidak bersama Fariz walau dalam waktu singkat.

“Ga usah Ra, udah gue pesenin. Sate ayam bumbu kecap dengan lontong dan es teh manis kan?” akhirnya aku duduk kembali, sedikit tercengang ternyata Fariz masih mengingat makanan favoritku di kantin ini.

Sepi tanpa obrolan menyelimuti kami berdua. Sibuk dengan handphone masing-masing. Luki mengirimkan pesan berulang kali ke handphone-ku hanya untuk memberitahukan posisinya sudah berada di mana. Tersenyum aku membacanya. Senang rasanya memiliki sahabat yang mengkhawatirkan keadaan sahabatnya.

“Ra,” akhirnya Fariz duluan yang memecah keheningan.

“Ada apa Riz?” aku rasa aku sudah cukup nyaman untuk menghadapi Fariz sekarang.

“Gue mau minta maaf atas kejadian waktu itu.”

Kenangan yang ditorehkan oleh Fariz sejenak menyeruak di dalam kepalaku. Keputusan sepihak Fariz untuk memutuskan tali persahabatanku dengannya setelah ia mengetahui ada perasaan lebih dari teman yang ku pendam terhadapnya. Hal tersulit yang harus ku terima. Padahal aku telah menjelaskan semuanya, aku tidak mengharapkan status apa pun darinya karena aku tahu Fariz sudah memiliki kekasih yang tidak lain adalah teman satu divisiku di kantor. Tapi komitmen Fariz cukup kuat untuk meninggalkan aku yang hanya sebagai temannya. Sejak hari itu Fariz tidak pernah muncul di depan mataku walaupun dia dan Luki masih sering bertemu.

“Untuk apa? itu semua keputusan lo. Jadi gue ga punya hak menerima maaf dari lo.”

“Iya, gue tahu. Maka dari itu gue mau minta maaf. Keputusan gue salah untuk meninggalkan lo.”

“Karena?”

“Gue kangen sama lo,” kedua tangan Fariz mulai meraba lembut kedua tanganku.

“Riz, lo ga bisa kaya gini ke gue,” aku mendorong tangannya.

“Kenapa Ra? Gue pengen kita temenan lagi. Gue ga peduli walau cewe gue ga memperbolehkan gue untuk temenan sama lo. Tapi gue merasa kehilangan temen terbaik gue. Dan cewe gue ga bisa menggantikan posisi lo.”

Rasanya air mataku mulai ingin menetes, “Ya, lo memang ga peduli. Lo ga peduli dengan apa yang lo perbuat. Dulu lo hanya menyetujui apa yang disuruh pacar lo untuk menjauh dari gue tanpa peduli perasaan gue bakal jadi kaya apa. Sekarang lo butuh gue dan lo ga peduli dengan perasaan cewe lo. Lo ga dewasa Riz!”

Segera aku berdiri dan meninggalkan Fariz. Air mataku yang sudah ku tahan akhirnya mulai bercucuran. Di pintu kantin aku menabrak Luki yang sempat menarik tanganku dan bertanya ada apa tapi aku memilih untuk pergi. Aku sempat mendengar gebrakan meja dari dalam kantin yang ku rasa Luki pelakunya, memarahi Fariz yang membuatku menangis kembali.

Hari ini aku hanya menangis tanpa suara di dalam toilet wanita hingga lelah. Dan akhirnya aku terbangun…

Mimpi? Ku lihat kanan kiriku. Aku berada di kamarku. Matahari sudah cukup tinggi, menyusup masuk dari balik tirai. Badanku penuh peluh. Lagi-lagi aku memimpikan Fariz. Sudah setahun putus kontak dengannya malah semakin sering aku memimpikan Fariz. Entah apa yang aku pikirkan hingga mimpi selalu memunculkan wajahnya.

Tok tok tok. Pintu kamarku diketuk.

“Nak, sudah bangun?”

Ternyata umi yang mengetok pintu, “Sudah, Mi.”

“Cepat mandi. Ada yang mencarimu.”

“Siapa Mi?”

“Mandi saja dulu. Dia sedang ditemani abi mengobrol.”

Siapa? Aku mengingat-ingat sepertinya tidak ada yang membuat janji denganku di Sabtu pagi. Aku mengecek handphone siapa tahu ada yang mendadak memberi kabar ingin ke rumah. Tapi tidak ada. Hanya ada pesan dari Rahma yang ingin memastikan nanti malam aku jadi pergi dengannya, karena saat ini Luki sedang dinas di luar kota.

Selesai mandi dan menyiapkan diri, aku ke ruang makan mendekati umi. Terdengar suara tawa renyah dua orang lelaki dari teras rumah. Yang satu suara abi sedangkan yang satu lagi suaranya cukup ku kenal. Tapi tak satu pun nama teringat olehku.

“Ada siapa Mi? Beneran nyari aku? Bukan nyari abi? Itu kayanya seru banget ngobrol sama abi.”

“Abi kan seneng kalau ada temen ngobrol, Nak. Kan di rumah ini ga ada temen yang nyambung diajak ngomongin bola.”

“Terus siapa Mi? kan Luki lagi dinas.”

“Kalau penasaran lihat saja sendiri. Umi saja kangen lihat dia di sini,” umi tersenyum dan mengangkat nampan dengan dua cangkir teh hangat di atasnya. Aku mengikuti umi dari belakang karena umi ingin mengantarkan sendiri minumannya.

“Silakan diminum, Nak Fariz. Ini Lara sudah bangun. Yuk Abi masuk gantian ngobrolnya sama Lara. Jangan sungkan ya Riz.”

Kaget, aku hanya bisa mematung di depan pintu. Kejutan apa lagi yang aku dapatkan setelah mimpi yang menguras tenaga tadi malam.

“Ra?”

Tersadar, aku segera duduk di kursi yang tadi ditempati abi. Mencoba santai aku mulai bertanya, “Ada apa Riz?”

“Apa kabar?” pertanyaan yang sama seperti di dalam mimpi. Setelah mimpi yang begitu menguras emosi, pertanyaan Fariz menjadi pertanyaan tersulit untuk ku jawab.

Melihat gelagatku yang sulit untuk menjawab, Fariz meneruskan kalimatnya, “Maaf gue ganggu ke rumah lo pagi-pagi di saat lo seharusnya menikmati Sabtu dengan santai.”

Fariz menatapku, dan menangkap bahwa aku tidak ingin menanggapi basa-basinya. Ia meneruskan kata-katanya, “Abi masih sama ya kaya dulu, masih sehat dan bugar. Tidak terlihat tua sama sekali.”

Aku bergeming. “Ada apa Riz?” tanyaku lagi.

“Baiklah, sepertinya lo masih marah sama gue. Gue ke sini mau minta maaf. Jujur saja setahun ini terasa berat buat gue untuk menjauh dari lo setelah dua belas tahun ke belakang kita selalu bareng. Maafin gue ga bisa mengubah keputusan gue tahun lalu walaupun itu keinginan sepihak dari pacar gue. Karena gue sudah janji untuk berkomitmen penuh dengannya. Salah gue tidak menyadari perasaan lo lebih dulu. Mungkin kalau gue sadar, kisah kita ga bakal berakhir kaya gini.”

Aku tersentak mendengar akhir kalimat yang diucapkan Fariz. Aku langsung menatapnya dan terlihat tidak ada kebohongan di dalam matanya. Lagi-lagi air mataku mulai menetes. Fariz menghampiriku, berlutut di depanku, lalu memelukku. Tangisku pecah seiring dengan kata maaf yang dibisikkan Fariz di telingaku.

“Maaf aku harus membuat kamu terluka lagi. Aku memang bukan lelaki yang baik buat kamu karena hanya bisa membuat kamu menangis. Aku harus menyerahkan ini sama kamu. Maafkan aku,” Fariz memberikan sebuah amplop berwarna merah marun berbentuk persegi dengan dua inisial huruf di depannya.

“Minggu depan aku menikah. Maafkan aku, Ra. Sampai akhir aku ngga bisa memilih kamu. Walau perasaan ini ga akan pernah berubah untuk kamu.”

Fariz memelukku sekali lagi, lebih erat dari sebelumnya. Andai waktu dapat berhenti, aku ingin waktu berhenti sekarang. Tidak ku lepas pelukan Fariz. Ia menghapus air mataku yang terus mengalir di pipi. Dan akhirnya ia melepas pelukkannya padaku.

“Maaf Ra aku harus pergi,” Fariz berdiri di hadapanku dan aku merangkulnya erat. Dengan enggan, Fariz melepas tanganku yang melingkari badannya. Dikecupnya keningku sebelum dia berbalik dan meninggalkanku.

Sakit. Ini terlalu sakit. Mengetahui seseorang memiliki perasaan yang sama tapi tidak ditakdirkan untuk bersama. Apa maksud Tuhan mempertemukan kita? Menguji kekuatan hatiku? Rasanya aku menangis sampai air mataku habis.

“Ra, bangun Ra,” seseorang memanggil namaku dan mengguncang badanku. Suaranya penuh kekhawatiran.

Ku buka mataku perlahan. Buram. Pandanganku tertutup air mata. Aku di mana?

Ku kerjapkan mataku berkali-kali untuk melihat lebih jelas. Fariz! Fariz ada di depan mataku saat ini? Apa ini? Mimpi lagi?

“Sayang kamu kenapa? Tiba-tiba kamu nangis pas tidur,” Fariz memelukku.

“Riz, ini di mana?”

“Ini di kamar kita sayang.”

“Kita?” aku mulai bingung.

“Ra kayanya kamu tadi di kantor kerjaan kamu terlalu berat sampai kamu linglung begini. Iya, ini di kamar kita, istriku,”

Istri? Loh, tunggu… Ini bukan mimpi kan? 

Rabu, 12 November 2014

Sunyi, Sepi, Sendiri

Tidak ada yang lebih menyebalkan dari pada hari ini. Bad day. Itu bahasa kekiniannya. Puncaknya stres mungkin pengandaian lainnya.

Bagaimana tidak, hari ini diawali dengan bangun tidur yang tiba-tiba akibat mimpi buruk dan keringat sudah banjir dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mimpi paling brengsek! (maaf kasar, ngetiknya juga masih dengan emosi yang belum stabil). Kenapa brengsek? Karena di dalam mimpi itu seperti masih ada harapan terhadap orang yang menyebabkan hati saya hancur berkeping-keping hingga jadi butiran debu tapi orang yang bersangkutan tidak dapat mengatakan yang sejujurnya. Akibatnya saya tidak bisa sepenuhnya move on untuk orang lain karena takut ditolak kemudian kehilangan teman lagi. Gila, baru kali ini urusan hati bikin trauma. Tanggung jawab tuh harusnya.

Kemudian setelah bangun tidur sebenarnya mendapatkan berita baik karena dosen ingin memberikan revisi yang sudah saya tunggu sebulan walau saya harus ambil sendiri di rumahnya. Berhubung saya belum pernah ke rumah beliau, rasanya saya ingin ditemani. Entahlah, tidak seperti saya yang biasanya. Saya mencoba menghubungi teman-teman yang mungkin bisa menemani saya pergi, tapi hasilnya nihil. Karena tidak ingin membuang banyak waktu saya berangkat bermodal GPS dan instruksi dari teman saya. Sampai di rumah beliau (setelah jalan kaki di tengah panasnya matahari dan kaki lecet di mana-mana) ternyata tidak ada seorang pun yang dititipi revisi saya di rumah itu. Bengong. Kok bisa saya disuruh ke rumahnya tapi barang yang disuruh ambil tidak ada. Jadilah saya bertolak pergi dari rumah beliau dan mengirimkan pesan bahwa di rumahnya tidak ada yang tahu mengenai revisi saya. Untung responnya cepat, beliau meminta saya balik lagi ke rumahnya karena sudah menginstruksikan orang di rumah untuk memberikan revisi saya. Akhirnya saya mendapatkan revisi saya, tapi... Kok cuma 1 bab? Kan saya ngumpulin 3 bab. Hmm... Besok harus menemui beliau lagi deh meminta kejelasan. Sampai kosan kaki saya perih semua nyaris tidak bisa menyentuh lantai saking perihnya.

Kabar menakjubkan berikutnya adalah sudah diumumkan tenggat pengumpulan skripsi. Yeiy! Pengumpulan draft pertengahan bulan depan. Ya sudahlah pupus sudah harapan saya lulus semester ini, seminar saja belum selesai tidak mungkin bisa menyelesaikan skripsi tanpa penelitian. Yang penting semester ini harus sudah seminar! (Semakin ke bawah bahasanya semakin menyenangkan, emosi sudah mulai turun. Maaf seperti berkepribadian ganda. Saya pun bingung dengan diri saya secepat itu pergolakan emosinya.)

Semua kejadian di atas yang menyebabkan saya begitu tenggelam dalam kesedihan. Ditambah lagi tidak ada yang bisa menemani saya hanya sekadar untuk menawarkan bahu sebagai tempat untuk menangis sepuasnya. Memikirkan saya harus menambah beban orang tua dengan menambah satu semester lagi bayaran dan jumlahnya tidak sedikit membuat hari ini menjadi begitu menyedihkan. Ditambah hari ini adalah hari ayah. Saya merasa gagal menjadi anak. Tidak kunjung selesai menjadi beban orang tua.

Sunyi. Sepi. Sendiri. Menangis berulang kali. Entah apa gunanya. Entah apa yang seharusnya dilakukan. Merasa begitu hancur. Dan tidak ada seorang pun yang ada di samping saya.

Datang bulan menjadi halangan saya untuk menenangkan diri dengan bersembahyang. Hanya bisa berdoa dan berdoa agar Tuhan selalu menemani dan memberikan saya kekuatan untuk menghadapi semua ini. Terus berusaha untuk berpikiran positif tapi sulit. Setiap memikirkan Tuhan dan orang tua air mata ini terus mengalir tanpa henti.

Terlalu sunyi. Terlalu sepi. Dan selalu sendiri. Semoga masih bisa berpikiran jernih dan menjejali hati dan pikiran dengan segala sesuatu hal yang positif. Tetap percaya bahwa Tuhan selalu menemani. Tetap percaya suatu hari nanti orang tua akan bahagia dan bangga melihat saya.

Tolong aku Ya Tuhan...

Selasa, 09 September 2014

(Berasa) Diputusin Teman

"Makasi atas segalanya."

Tiga kata itu yang menyentak kehidupan saya di hari ini. Pagi menuju siang, di mana saya baru bangun kembali setelah beberapa kali terbangun, saya menatap layar telepon pintar saya dan muncullah beberapa kalimat yang saya terima di salah satu media sosial saya. Salah satunya seperti kalimat di atas.

Wah, luar biasa sekali sensasi yang saya dapatkan. Tangan saya langsung tremor, bolak-balik menelan air ludah untuk menahan rasa ingin menangis, dan panik.

Tapi setelah saya sadari sekarang, keadaan ini cukup janggal. Saya tidak memiliki kekasih. Kalimat itu dilontarkan oleh teman saya. Benar-benar teman. Bukan sahabat atau saudara.

Tidak punya pacar tapi kok serasa diputusin? Sedih ga sih? Harusnya sih sedih, tapi sepertinya karena sudah terlalu sering ditempa dengan kehidupan yang tidak selalu manis maka akhirnya saya biasa saja. Malah sekarang cenderung kesal.

Awalnya memang saya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak bermaksud untuk memutus silaturahmi. Namun karena dia terlebih dahulu yang memulai dan langsung mengatakan demikian, apa boleh buat sepertinya rencana saya tidak berjalan dengan lancar. Sudah mencoba mengklarifikasi bahwa saya tidak mengharapkan apa-apa darinya tidak mempan untuk menangguhkan kata-katanya. Sepertinya dia memang tipe orang yang jika tidak suka sesuatu maka menjauhlah atau pergilah dari sisinya.

Padahal harapan saya hanya ingin menjaga jarak saja. Ya, saya tahu itu tidak mungkin, tapi tidak ada salahnya dicoba dari pada dikuasai kehendak hati dan saya malah jadi gila. Jahat sih demi kebaikan diri sendiri mengusik kehidupan orang, tapi mau bagaimana lagi. Selama saya tidak merebut hak orang lain toh tidak mengapa kan?

Namun kenyataannya malah demikian. Mau tidak mau, suka tidak suka yang bersangkutan memilih untuk benar-benar menjauh dan menyudahi hubungan (?) ini. Mau dikatakan apa lagi, sudah tidak dapat berkutik.

Sepertinya benar saya belum tepat untuk menggenapkan kehidupan Anda. Kalau hidup Anda begitu kaku seperti kanebo kering begitu akan sulit menerima saya yang seutuhnya. Atau karena ini merupakan yang pertama kali untuk Anda, sehingga Anda bingung bagaimana cara menyikapi? Jangan bingung-bingung, jalani saja yang menurut Anda benar, mungkin kalau meninggalkan teman itu benar buat Anda ya berarti saya yang harus mengalah (lagi).

Selama Anda masih sekaku ini saya berani untuk mengatakan bahwa kita memang tidak cocok. Tapi jangan lupa, waktu bermain di sini. Teguhkah Anda dengan prinsip itu? Karena tidak ada yang tahu rahasia Tuhan di kemudian hari.

Jangan menampik kenyataan jikalau nanti Anda tidak mendapatkan apa yang sudah Anda impikan. Waktu sangat memiliki andil dalam kehidupan. Jangan salahkan waktu atau pun Tuhan jika nanti Anda menyesal.

Doa saya hanya satu untuk Anda dan akan selalu menjadi doa saya untuk mendoakan Anda: semoga Anda diberikan yang terbaik oleh Tuhan. Tapi ingat, mungkin yang Tuhan pikir yang terbaik bukanlah pilihanmu yang terbaik. Semua ada hikmahnya.

Salam,

Teman yang Anda putuskan (?) 


Rabu, 03 September 2014

Putus Asa? No Way!

Pernah terpikir untuk bunuh diri? Selama ini kalau melihat atau membaca berita bunuh diri saya cuma satu pertanyaan yang timbul dalam pikiran saya: kok bisa?
Secara kan bunuh diri berarti melukai diri sendiri. Apa rasanya coba? Bahkan terkadang tidak sengaja teriris pisau ketika sedang memotong bawang sudah sakitnya minta ampun. Bagaimana dengan orang-orang yang sengaja menyakiti dirinya untuk mati, kok mau sih melakukan hal seperti itu?
Sekadar iseng (?) sebenarnya penasaran mengapa masih saja ada orang yang sengaja membuat dirinya mati dengan menyakiti dirinya sendiri (entah minum obat nyamuk atau karbol termasuk menyakiti diri atau tidak tapi yang pasti rasa dua cairan itu tidak seenak susu kocok) dan ingin mengetahui apa alasan orang-orang seperti itu. Tapi tenang saja, keiisengan ini tidak serius didalami kok, saya masih (cukup) normal.

Sampai suatu hari entah apa saja yang telah saya pikirkan hingga akhirnya saya merasa di titik keputusasaan, titik di mana keadaan saya merasa sudah tidak memiliki tujuan, atau bisa dibilang memungkiri bahwa saya memiliki tujuan yang harus dicapai. Penyebabnya bisa karena tujuan yang ingin dicapai tersebut bukan berasal dari dalam hati, tapi hanya sekadar ingin menyenangkan orang lain namun diri dirasa tidak sanggup untuk melakukan hal itu.

Pada saat itu terlontar dalam pikiran saya, untuk apa saya hidup? Sudah tidak memiliki tujuan lagi yang sesuai dengan kemampuan diri, sudah tidak ada yang perlu dicapai.

Alhamdulillah sekali Tuhan masih menyayangi saya. Seketika pula saat itu pertanyaan di dalam pikiran saya tergantikan dengan kalimat lainnya, oh jadi ini alasan mengapa orang rela untuk bunuh diri! Segera saya melakukan shalat, mohon ampun dan petunjuk dari Yang Maha Kuasa untuk menjalani kehidupan di bumiNya ini. Alhamdulillah godaan setan masih bisa saya kalahkan.

Intinya adalah jangan sampai kita merasa putus asa. Cari terus apa yang belum tercapai dan bagaimana agar bisa menyelesaikannya. Kalau tidak suka maka sesegera mungkin diselesaikan, tidak perlu sempurna karena lebih baik diselesaikan seadanya daripada tidak dikerjakan sama sekali karena tidak suka. Semakin cepat dikerjakan maka semakin cepat juga yang tidak kita sukai itu hilang dari beban kehidupan kita.

Kalau terpikir ingin bunuh diri coba berpikir ulang lagi. Memangnya jika mati saat itu juga akan langsung masuk surga? Kalau masuk neraka bagaimana, sudah siap? Amalan baik apa yang sudah dibawa dan sudah sebanyak apa yang dilakukan sehingga berani menantang Tuhan untuk menyerahkan nyawa kalian? Lalu pikirkan orang-orang yang ditinggalkan, apa mereka tidak sedih melihat jasad kalian yang mengenaskan? Atau kalau pun kalian merasa sudah tidak memiliki orang-orang yang kalian anggap kalian sayangi paling tidak berpikirlah bahwa ketika kalian bunuh diri akan menyusahkan orang-orang sekitar untuk merapikan jasad kalian. Kalau saya sih ketika mati tidak ingin menyusahkan orang lain dan siap dengan amalan baik yang in sya Allah cukup untuk mengantarkan saya ke surga (aamiin yaa Rabb).

Jadi, jangan pernah sampai merasa putus asa. Jangan berpikir untuk bunuh diri. Pikirkan kembali hal lain yang dapat dilakukan dengan senang hati. Misalnya dengan melakukan hal yang sederhana seperti memberi makan para anak jalanan, memberi santunan kepada yayasan atau panti, atau hal sederhana lainnya. Membuat orang lain bahagia itu akan memberikaan kebahagiaan, kelegaan, dan kepuasan hati tersendiri pada diri kita.

Maka, berpikirlah positif. Masih banyak hal di dunia ini yang bisa dilakukan untuk kebaikan diri kita, mau pun orang lain :)
 

Selasa, 02 September 2014

Curahan Hati untuk Tuhan

Oh Tuhan, lagi-lagi kau membubuhi kehidupanku dengan tanda tanya. Kemarin untuk pertama kalinya ia menghubungi duluan. Walaupun tujuan dari menghubungiku adalah tantangan yang ku berikan agar ia meminta langsung sesuatu dimana hanya aku yang menyimpannya dnegan harapan tantangan tersebut tidak ia penuhi. Dan timbullah namanya di layar ponselku tadi malam.

Hal pertama yang aku lakukan hanya menghela nafas panjang. Tuhan, mengapa hal ini harus terjadi? Mengapa hanya dengan melihat namanya muncul membuat perasaankup begitu gamang? Mengapa Tuhan? Mengapa hal ini harus terjadi? Mengapa hal ini harus terjadi secara berulang? Apa sebenarnya rencana yang Kau sembunyikan dariku? Belajar sabar dan ikhlas? Atau aku harus menantinya sebagai ujian dariMu?

Ya, aku tahu seharusnya ini bukan prioritas utama yang harus aku pikirkan. Tapi bagaimana lagi, aku benar-benar membutuhkan teman dekat. Teman yang bisa aku jadikan tempat berbagi apa pun. Bukan teman yang... Ah sudahlah, membahas teman yang sudah ada dan aku anggap mereka tidak pernah mengerti keadaanku seperti apa hanya akan Kau tanggapi (walaupun secara tidak langsung) dengan menyuruhku untuk sabar dan memilah teman saja, tidak mempermasalahkan orang yang dianggap tidak cocok menjadi teman. Namanya juga teman, pasti ada yang cocok atau tidak.

Mungkin saat ini yang terbayang olehku Kau akan menjawab aku harus sabar. Mungkin hal ini terjadi lagi karena aku kurang sabar. Baiklah aku akan sabar. Tapi sampai kapan Tuhan? Pasti Kau akan menjawab sabar tidak ada batasnya. Kalau Kau sudah membuatku berpikir demikian aku hanya bisa diam dan pasrah.

RencanaMu selalu penuh misteri, Tuhan. Aku selalu menganggap Kau sangat hebat. Kau memang Maha Kuasa. Aku sebagai manusia saja selalu mengeluh padaMu setiap ada suatu hal yang tidak berkenan di hati. Sedangkan Kau selalu menemani kami semua kapan pun dan dimana pun. 

Terima kasih Tuhan Kau masih mau menemani aku, menerima segala curahan hatiku, dan memberikanku rezeki mau pun ujian yang menandakan Kau masih menyayangiku. Maafkan aku yang masih sering khilaf kepadaMu. Aku benar-benar sayang padaMu. Semoga nanti kita bertemu di surga firdausMu yang sangat indah menurut Al-Qur'an.

Aku merindukanMu :)

Kamis, 17 Juli 2014

Cinta Dalam Diam

Kala itu, ia membuka jendelanya, jendela besar yang menghubungkan balkon dengan kamarnya. Dia berdiri di pinggir pagar balkon. Melamun. Matanya sembab. Ku rasa dia menghabiskan malam dengan tangis. Pertengkaran yang terdengar sampai ke kamarku semalam mungkin penyebabnya. Apa yang dipikirkan lelaki brengsek itu sampai tega membuat seorang bidadari menangis hingga matanya bengkak seperti bekas sengatan tawon? Entahlah, tapi sepertinya aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Aku turut membuka jendela kamarku yang tepat berada di sebelahnya. "Pagi," sapaku sambil memegang secangkir kopi dengan asap yang mengepul. Dia menoleh dengan lembut dan membalas sapaku dengan senyumnya. Terlihat lemah dan berusaha menunjukkan bahwa ia tidak apa-apa.

"Mau kopi?" basa-basi kembali aku keluarkan. Kau menggeleng dengan senyummu yang masih menempel di bibir. "Atau cokelat?" tidak habis usahaku untuk terus dapat bercengkerama denganmu. Kau kembali menggeleng, "Tidak perlu repot, Riza." Sekarang giliran aku yang menggeleng, "Tidak repot, toh hanya menuangkan air hangat dan satu bungkus cokelat kemasan ke dalam cangkir. Saya buatkan ya," tanpa menunggu jawabanmu, aku masuk kembali ke kamar menyiapkan cokelat panas untukmu.

Tidak lama, aku kembali keluar menuju balkon. Kau masih tetap berdiri menatap jauh ke depan. Tersadar akan langkah kakiku, kau pun kembali menoleh. "Terima kasih, Riza," jawabanmu ketika aku memberikan secangkir cokelat panas yang aku balas dengan senyum.

"Riza," kau kembali memanggilku. "Maaf ya." Kau menyadari raut wajahku yang menunjukkan tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan dengan kembali melanjutkan omonganmu, "Semalam pasti kamu merasa terganggu."

Akhirnya ceritamu pun mengalir. Aku mendengarkan dalam diam. Ternyata penyebab dari keributan tadi malam adalah kekasihmu, yang brengsek itu, melihat dirimu bersama lelaki lain. Bersantap malam hanya berdua. Dan kau terlihat sangat senang. Pantas saja bila lelakimu marah besar. Apa lagi katamu ini bukan pertama kalinya kau terlihat berdua dengan temanmu itu. Mungkin kalau aku menjadi kekasihmu juga akan berbuat demikian. Tapi tidak akan sampai marah besar seperti dia. Aku tidak akan mungkin sanggup melihat wajahmu bersedih. Mungkin jika aku kekasihmu, aku akan memperingatimu dengan caraku sendiri.

"Saya salah ya, Za?" kamu menengok ke arahku meminta jawaban. Aku mengangguk perlahan. "Haha sudah jelas sekali saya yang salah. Bodoh sekali Dinda ini," tawamu terdengar miris. Mungkin tanda bahwa kau menyesalinya. "Pantas sekali wanita bodoh seperti saya diputuskan oleh lelaki sehebat dia," kau mulai menerawang jauh memikirkan lelaki yang ternyata sudah menjadi mantanmu. "Dan dengan bodohnya saya menceritakan ini padamu, Za. Maaf dan terima kasih sudah mau mendengarkan keluh kesah saya. Kini saya sudah merasa jauh lebih baik," senyummu lebih mengembang dari sebelumnya, tanda kau memang sudah jauh lebih baik. Aku pun tersenyum melihatnya. "Terima kasih juga cokelatnya. Nanti saya kembalikan cangkir kamu setelah saya cuci."

Tok tok tok. Terdengar suara ketukan di pintu. Pintu kamarmu. Kau pun meminta izin untuk menerima tamu dan akhirnya kau masuk kembali ke dalam kamarmu lalu menutup jendelamu. Berakhir sudah bincang pagi ini dengan permata hatiku. Setidaknya aku berhasil membuat Dinda kembali tersenyum. Sudah merupakan suatu kebahagiaan untukku. Baiklah, saatnya menonton televisi.

***

Tok tok tok. Terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Aku terkesiap. Jam berapa ini? Sudah pukul 4 sore. Ternyata aku tertidur akibat bosan menonton berita politik yang isinya menurutku sudah tidak bisa dipercaya lagi mana yang benar dan mana yang salah. Beranjak aku dari kasur menuju wastafel untuk mencuci muka sebelum membuka pintu. Setelah menyeka muka dengan handuk, aku melihat terlebih dahulu siapa yang datang melalui lubang pada pintu. Oh, Adindaku yang cantik. Hmm? Tidak sendiri ternyata.

"Hai Riza, saya ganggu kamu ya?" tentu saja aku menjawab tidak. Tidak mungkin Dinda mengganggu waktuku. Waktuku selalu ada untukmu, Dinda. "Ini, saya ingin mengembalikan cangkir kamu. Terima kasih ya. Cokelatnya enak, saya suka," tentu saja Dinda, cokelat seduh di kamarku hanya aku sajikan untukmu karena aku tahu kau suka cokelat sedangkan aku tidak suka sama sekali. "Oh iya, kenalkan. Ini teman saya," kau mengenalkan aku dengan lelaki bermuka baik di sampingmu. "Saya pergi dulu ya, Za," kau pun melambaikan tangan sebelum akhirnya pergi dari depan pintu kamarku. Setelah beberapa langkah kau pergi, "Riza," kau menengok, "Tunggu sebentar." Kau kembali ke hadapanku, dan lelaki yang bersamamu hanya menunggu dari tempatmu tadi memanggilku.

Kau mendekatkan wajahmu kepadaku. Dan kau berbisik di telingaku, "Terima kasih tadi pagi sudah menjadi pendengar cerita saya. Hingga akhirnya saya sadar bahwa yang saya butuhkan bukanlah lelaki hebat tetapi lelaki yang bisa membuat saya tersenyum. Yang bisa membuat saya bahagia. Terima kasih Riza."

Setelah itu kau melangkah pergi, menghampiri lelaki baik yang menurutmu bisa membuatmu bahagia, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Aku melihat senyummu terkembang dengan lebarnya menatap lelaki itu. Ya, mungkin kau akan bahagia dengannya.

Aku kembali masuk ke dalam kamarku. Meletakkan cangkir yang kau kembalikan ke atas meja kemudian mengisinya dengan bubuk kopi serta air panas. Pahit. Entah rasa kopi yang baru aku buat atau perasaanku yang melihatmu bergandengan tangan dengan lelaki lain. Aku memandang cangkir ini dan membayangkan wajahmu tadi pagi. Manis. Semanis cokelat panas yang ada dalam genggamanmu tadi pagi. Dan aku bisa menimbulkan senyum terbaikmu yang memperlihatkan wajahmu yang semakin manis.

Mungkin aku memang bisu, Dinda. Aku tidak bisa mengatakan dengan lantang bahwa aku mencintaimu dan akan membuatmu bahagia. Siapa pula yang ingin memiliki kekasih bisu. Tapi tak mengapa, Dinda. Aku akan selalu menjadi pendengar setia setiap cerita kegundahanmu hingga akhirnya kau tersenyum kembali. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan walaupun kau tidak menyadari keberadaanku yang bisa membuatmu tersenyum. Yang bisa membuatmu bahagia.

Rabu, 09 Juli 2014

Media Sosial Semakin Menggila

Sepertinya hidup di zaman sekarang kalau ketinggalan menggunakan media sosial terbaru rasanya seperti orang paling ga gaul bagi para pengguna smartphone kalangan menengah ke atas. Dulu, punya Friendster rasanya udah paling hits dengan banyak tulisan warna-warni sana-sini, widgets everywhere, dan berjubel lagu terpajang di dinding profil. Sekarang? Waduh, tinggal pilih mau unduh dan menggunakan media sosial yang mana, semuanya juga boleh asal sudah menyiapkan pikiran yang dingin dan tidak mudah sakit hati. Mengapa demikian?

Saya pernah membahas hal ini dengan salah satu teman karib saya dengan contoh kasus media sosial yang bernama Path. Path menurut saya tidak berbeda jauh dengan Twitter, kita bisa menyebarkan apa pun yang ingin dikatakan sesuka hati, lebih dari 140 karakter. Tidak hanya itu, apa pun yang kita lakukan dan di mana kita melakukannya bisa juga disebarkan dengan media ini, ditambahkan dengan foto dan video jika mau. Lalu apa masalahnya dengan hal ini?

Awalnya memang Path merupakan salah satu media sosial yang menjadi favorit saya karena hanya dapat memiliki teman sebanyak 150 orang, sehingga hanya kerabat dekat saja yang dapat menjadi teman saya. Namun, setelah ada perbaruan, Path menambah kapasitas teman menjadi 500. Jadi sekarang sudah tidak ada alasan "Maaf sudah 150 orang jadi ga bisa nambah lagi" ke orang yang mengundang kita menjadi temannya padahal bersosialisasi di dunia nyata saja sudah tidak pernah. Mungkin kalau saya orangnya tegaan mau berapa pun batas jumlah temannya tidak akan saya setujui menjadi teman, tapi sayangnya saya tidak demikian. Bisa membayangkan tiba-tiba orang yang tidak dekat dengan kita bisa kita ketahui kegiatannya apa saja dan menyebarkan foto wajahnya di media sosial kita? Kalau saya sih merasa cukup sebal melihat yang seperti itu. Kalau saya sudah cukup muak dengan tega saya langsung memutuskan hubungan, hanya di Path saja.

Kalau hal di atas sih sebenarnya bisa tidak menjadi masalah jika kita menjadi orang seperti yang saya sudah bilang juga sebelumnya, TEGA. Idealismenya tinggi sehingga selalu punya pikiran "Untuk apa berteman dengan dia toh di dunia nyata saja ketemu juga ngga." Tapi sebenarnya juga ada tega jenis lain menurut saya dan ini jika dialami dengan orang yang cukup dekat dengan kita.

Pasti pernah dong dalam suatu komunitas tidak semua orang di dalam komunitas itu bisa dekat satu sama lain? Nah terkadang kelompok-kelompok kecil di dalam komunitas itu yang suka tega. Biar gampang dicerna saya berikan langsung contoh kasusnya. Misal, dalam suatu komunitas ada kelompok-kelompok kecil yang lebih dekat satu sama lain, dan misal ada tiga kelompok kecil yaitu A, B, dan C. Si kelompok A ini terdiri dari sepuluh orang (misal lagi) dan jalan bareng ke suatu tempat. Sepuluh orang tersebut menyebarkan mereka ada di mana secara bersamaan. Nambah dong ya di Path si B dan C sepuluh baris baru yang menunjukkan tempat yang sama dan dengan isi orang-orang yang sama. Itu kalau cuma sekadar tempat, kalau ditambah foto yang sama setiap orangnya pernah berpikir tidak apa yang dirasakan si B dan C? Nyebelin. Pasti.

Ya kalau gitu tinggal hapus aja dari list teman. Hei, tidak semuanya semudah itu! Menghapus sepuluh teman karena cukup mengganggu di lini Path pasti akan menjadi buah bibir orang-orang, betul tidak? Betul saja biar cepat.

Tidak semua orang mengerti penggunaan sosial media karena memang tidak pernah diumumkan secara terang-terangan apa saja yang diperbolehkan ada di sosial media tersebut. Jadi, sebenarnya si A juga tidak salah dong kalau menyebarkan hal yang menurut mereka tidak mengganggu kehidupan mereka?

Lalu, siapa yang salah?

Di era media sosial yang semakin menggila ini akan lebih baik menurut saya setiap penggunanya untuk wawas diri. Mengapa? Karena tidak semua orang merasakan hal yang sama. Maksudnya, mungkin menurut kalian kalimat atau pun foto yang kalian sebarkan tidak bermaksud menyakiti siapa pun. Tetapi ada beberapa pihak yang hatinya rapuh menganggap hal tersebut terlalu berlebihan sehingga membuat mereka sakit hati.

Ayolah coba dipkirkan perasaan orang lain sebelum menyebarluaskannya. Sudah pernah sakit hati kan karena ditinggal gebetan? Kurang lebih rasanya sama #eh

Introspeksi terlebih dahulu, apakah hal tersebut baik untuk orang lain? Apakah hal tersebut pantas dibaca orang lain? Jika memang sudah, terserah kalian ingin menyebarkan atau tidak. Karena tidak semua hal harus disebarkan, toh? Sebagian hal juga ada baiknya disimpan sendiri.

Tidak untuk menghujat, hanya sekadar berbagi :)

Kamis, 03 Juli 2014

Surat Cinta di Bulan Juli

Juli. Ini bulanmu kan? Aku ingat, tentu saja. Bagaimana bisa lupa apa pun tentangmu.

Maaf, seharusnya aku sudah harus memulai untuk menghapuskan rasa ini. Tapi setiap kali aku ingin memulai untuk melupakan entah mengapa rasanya semesta bersekongkol untuk membuat aku sakit lebih lama dengan terus menyimpan rasa yang tak akan pernah kau balas karena kau pun sudah berhasil mendapatkan incaran hatimu.

Aku hanya ingin berterima kasih kepadamu atas apa yang telah kau berikan untukku. Mungkin kau berkata aku berlebihan, tapi ini memang apa yang aku rasakan, tidakkah kau merasa aku sedikit bergantung padamu?

Terlalu banyak yang sesungguhnya ingin aku katakan padamu. Namun bibirku tak mampu berucap, jemariku pun tak mampu menari di atas tuts lebih lama karena aku rasa hanya akan memberikan jarak antara aku dan kamu.

Terkadang aku masih berharap pada Tuhan, ini hanya sekadar ujian untukku apakah aku siap menunggumu dan memperbaiki diri sehingga kau sudah cukup pantas bersanding denganku. Tapi di lain sisi aku merasa aku hina, tetap bermain api di dalam hubungan orang lain. Dan aku pun tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, apakah pilihanku untuk menanti akan berbuah manis? Jika hanya sakit yang ku dapatkan, buat apa aku membuang waktu.

Dilema. Hanya itu kata yang tepat untuk mewakili perasaanku, walaupun aku tahu kamu juga tak peduli apa yang ku rasa. Sesungguhnya aku hanya ingin tahu apa pendapatmu tentangku. Itu saja cukup. Mungkin setelah aku mendapatkan jawabannya aku akan menyerah dengan perasaan ini dan pergi meninggalkan kisah yang menorehkan kita. Kita? Bahkan aku sudah kelewatan menganggap aku dan kamu sudah menjadi kita.

Terlalu banyak mungkin di dalam kisah ini. Secepatnya aku harus meninggalkan kisah ini dengan hanya menjadi aku atau kita. Sehingga tiada lagi kemungkinan yang mengusik pikiran dan menyebabkan sakit berkepanjangan.

Kau tahu, tidak semua wanita sekuat aku. Maka dari itu, jangan sampai kau membuat aku-aku yang lain yang tidak sekuat aku dan akan menghancurkan kisahmu dengannya. Hanya itu pesanku.

Sabtu, 07 Juni 2014

Juni

Juni datang. Tidak pernah dijemput, namun selalu datang sesuai jadwal. Juni tahun ini rasanya ingin saya hindari karena merupakan Juni mematikan bagi saya. Mengapa? Karena pasti di bulan Juni ini akan muncul begitu banyak kata semangat dan selamat untuk orang lain yang malah membuat beban di otak saya.

Seperti kemarin siang, saya cukup sedih dengan tragedi yang terjadi. Di saat yang lain tengah mengerjakan "tugas mematikan" mereka atau ingin bimbingan mengenai tugas mereka tersebut, saya malah keluyuran bersama dengan adik tingkat untuk menyelesaikan ujian yang mata kuliahnya terlambat saya ambil akibat dari nilai saya yang di bawah standar tahun lalu.

Mungkin pada kenyataannya saya tidak menunjukkan hal tersebut. Saya ikut menyemangati dan menyelamati. Tapi hati siapa yang tahu. Bahwa sebenarnya saya menghindarinya, karena hanya menambah beban.

Bukan, bukannya saya tidak senang kalian (istilah kasarnya) meninggalkan saya. Namanya juga ditinggal, pasti sedih. Tapi sesungguhnya saya lebih tidak dapat menahan prosesi kalian menuju selebrasi ketimbang selebrasinya itu sendiri. Dari pada saya hanya membuat kalian berpikiran negatif karena apa yang akan saya lakukan (yang saya sendiri tidak tahu) apabila ada di tengah-tengah proses kalian, lebih baik saya menyingkir dan bersiap untuk mengarungi proses yang sama dengan kalian.

Jadi maafkan saya jika Juni membuat saya hilang dari peradaban. Karena jujur saja saya lebih tidak sanggup menghadapi Juni ketimbang Agustus.

Keterlambatan Berujung Harapan Tanpa Ujung

Sering kali manusia terlambat menyadari akan sesuatu. Terlambat berpikir, melakukan sesuatu, atau pun merasakan sesuatu. Sama halnya dengan aku.

Ketiga hal itu pernah ku lewati ketika aku telah menyesal. Menyesal mengapa aku tak kunjung sadar bahwa sebenarnya aku menyukaimu, dan tidak berusaha untuk menampakkan hal itu agar kamu juga dapat membalas perasaanku. 

Sungguh, sebenarnya telah aku sadari bahwa rasa yang berbeda itu ada ketika aku menghabiskan waktu bersamamu. Namun, aku menampik rasa itu karena aku tahu kita, aku dan kamu, sudah terbiasa menjadi sepasang teman. Dan aku takut, kalau memang aku menyukaimu, kamu tidaklah menyukaiku. Pengecut. Memang, aku pengecut. Hatiku sudah keburu ciut oleh takut kehilanganmu.

Curang memang hanya menginginkan kamu ada di sisiku tanpa embel-embel apa pun. Jujur, aku ingin kita, ya lagi-lagi aku dan kamu, lebih dari teman. Tapi, lagi-lagi, aku tidak berani. Karena rasanya kamu tidak merasakan demikian.

Hari-hari telah terlewati. Sampai suatu ketika hari di mana kamu pertama kalinya menggapai kepalaku, dan mengelusnya dengan sayang. Mungkin ini pertanda, batinku. Dan akhirnya aku mulai merobohkan pertahanan hatiku dengan memulai menyukaimu.

Namun, apa yang diharapkan memang tidak selalu sesuai apa yang diinginkan. Kita memang semakin dekat, tetapi hati kita tidak, karena kamu mendekatkan hatimu dengan yang lain. Wanita mana pun pasti akan menerimamu, wahai lelaki berparas tampan dan berakhlak baik. Sempat pupus harapanku.

Lalu ku dengarkan sebuah lagu, liriknya kurang lebih seperti ini:
"Haruskah ku pendam rasa ini saja, atau kah ku teruskan saja hingga kau meninggalkannya, dan kita bersama"

Persis sama dengan apa yang ku rasa. Lalu, aku pun bimbang. Sebaiknya mana yang harus aku jalani? Menurutmu yang mana? Hahaha, gila rasanya jika aku berani menanyakan hal ini padamu secara langsung.

Lambat laun akhirnya aku memutuskan, bahwa aku menyesal. Menyesal telah terlambat menyadari. Menyesal sudah menutup diri. Menyesal tidak segera beraksi. Jikalau memang ini permainan waktu, sungguh seharusnya aku memenangkannya dibandingkan dengan dirinya. Tapi jika ini berkaitan dengan hati maka hanya kamu lah yang tahu jawabannya.

Tapi, jika aku masih ingin berusaha mempertahankan hatiku, adakah celah di hatimu yang siap untuk aku sisipi dan tebari dengan kasih sayangku? 

Harapanku hanya satu, kamu dapat menjawabnya tanpa perlu aku tanyakan padamu.

Dan ini akan hanya tetap menjadi suatu harapan yang tak berujung.

Kamis, 29 Mei 2014

Pahitnya Pertemanan

Mungkin yang dibahas kali ini akan membuat hati pembaca merasa (sedikit?) kesal. Tapi bukan tak peduli dengan perasaan orang (karena perasaan saya saja terkadang tidak dipedulikan oleh orang lain), saya hanya ingin mengumpulkan emosi yang saya rasakan ke dalam suatu tulisan sehingga tidak perlu melimpahkannya kepada orang lain secara terang-terangan.

Sebenarnya ini hanya masalah sepele, tapi berhubung dipadukan rasa rindu tak terkira dan sedang dalam masa menstruasi semuanya terlihat menjadi menyebalkan dan seperti tidak pernah memikirkan perasaan saya.

Pernahkah kalian berada di tengah suatu pertemanan yang tiba-tiba menemui konflik di antara individunya? Dan kalian merupakan jembatan di antara keduanya? Saya mengalaminya. Dan rasanya sangat sangat sangat sulit. Setiap sedang membicarakan satu sama lain saya hanya bisa diam, karena saya mengetahui sifat masing-masing individu yang berseteru. 

Dan puncaknya adalah ketika ingin berkumpul. Pastinya ada yang tidak ingin saling bertemu akibat perselisihan yang pernah terjadi. Lalu, bagaimana dengan saya? Apa yang seharusnya saya lakukan? Saya juga sangat rindu ingin bertemu dan berkumpul membicarakan berbagai macam hal. Tapi saya juga tidak egois, saya menjaga perasaan teman saya yang tidak diinginkan ada di dalam pertemuan tersebut. Sehingga mau tak mau saya berkorban untuk menemani yang minoritas dari pada saya juga berselisih dengan individu tersebut. Saat itu, saya ikhlas, toh juga tak semuanya berkumpul.

Namun nyatanya tiba-tiba semuanya ditemui, hanya saya dan seorang lagi yang tidak ditemui. Bagaimana saya tidak sebal. Hingga rasanya saya sampai berpikir bagaimana jika saya menarik diri untuk menjadi orang biasa saja, tidak memiliki keterikatan dalam suatu kelompok. Karena sampai kapan pun apabila masih tersisa rasa sakit hati di salah satu individu yang saling berselisih tersebut, saya tidak akan bisa bertemu dengan yang lain demi menjaga hati individu yang lain.

Lalu, pertanyaannya apakah yang lain menjaga perasaan saya sampai bisa pamer kebersamaan mereka?

Bukan, saya bukan minta pamrih. Tapi kalian bisa seperti itu karena saya berkorban. Kalian sama-sama enak. Biarlah saya yang sakit.

Ya, saya yang sakit.

Tidak terpikirkan ya? 

Memang, karena tidak ada yang memikirkan saya.

Sabtu, 17 Mei 2014

Bersyukur akan Ujian atau Kebahagiaan

Hari ini aku bersyukur kepada Tuhan yang memberikan aku kesempatan dapat bertemu denganmu. Dapat menjadi salah satu teman terdekat yang masih selalu ada di kala aku membutuhkan. Mungkin menurutmu aku berlebihan, tapi jujur saja kalau kamu tidak menemaniku saat itu mungkin aku akan sangat tertekan menghadapi suatu masalah yang ada.

Bersyukur kembali terhadap takdir yang Tuhan berikan terhadapku dengan berbagai macam kebetulan yang begitu membahagiakan hatiku. Ya, adanya kamu di sela-sela kehidupanku, yang tak ku pungkiri, ini terlalu kebetulan. Seperti Tuhan telah menggariskannya untukku dan membisikkan aku bahwa kamu yang akan menemaniku di sepanjang hari, jadi aku tidak patut bersedih karena ada kamu yang menemaniku, selain Tuhan.

Memang benar aku bahagia. Bagaimana tidak bahagia ketika seseorang yang sangat disayangi selalu menemani di setiap kegiatan. Namun, bahagia ini tidak murni. Karena aku tidak bisa memilikimu. Saat ini. Entah nanti. Entah lusa. Entah esok.

Sakit. Benar-benar sakit jika aku sadar kamu memang hanya bisa ku jadikan seorang teman. Untuk memberikanmu predikat sahabat saja aku tak mampu. Karena aku takut ingin memilikimu seutuhnya. Dan kenyataannya saja di dalam matamu tidak pernah ada aku, tapi dia.

Sering kali aku bertanya pada Tuhan, apakah ini ujian untukku? Terlalu menyayangi seseorang yang telah memiliki orang yang ia sayangi. Pertanyaan kedua yang muncul, lalu aku harus apa? Selanjutnya pun aku memiliki pertanyaan apakah yang ku perbuat ini benar? Hingga akhirnya aku bertanya apa jawaban di balik ini semua? Dan tentu saja jawaban untuk seluruh pertanyaan ku hanya akan terjawab oleh waktu.

Oleh karena itu, karena Tuhan telah memberikan waktu yang cukup sering untuk ku habiskan denganmu, tidak ada salahnya apabila aku memanfaatkan waktu itu, bukan? Kamu tidak keberatan, kan? Tapi, sepenuhnya aku masih berharap bahwa bayangan di dalam matamu adalah aku, bukan dia, atau siapa pun.

Maaf.

Rabu, 30 April 2014

Tetap Bertahan

Tekanan akan selalu datang.
Selalu ada cara untuk bertahan.
Harus selalu kuat.
Dan terus berusaha

Kamis, 24 April 2014

Alasan Suka "Bad Boy"

Sudah lama tidak pos sesuatu di blog dan tiba-tiba muncul sebuah tulisan dengan judul seperti di atas. Tercengang? Kalau tidak bikin sensasi di zaman sekarang rasanya kurang seru, bukan begitu? Maka dari itu, saya ingin membahas hal ini.

Sering kali para pria menanyakan kenapa sih kebanyakan wanita lebih suka tipe laki-laki yang bad boy? Memangnya tidak ingin punya pasangan yang baik-baik? Kalau saya ditanyakan hal seperti itu, pasti dengan mudahnya saya akan menjawab "karena pria baik akan lebih sulit diprediksi apakah juga menyukai kita di masa pendekatan." Mengapa? Karena dia sudah terbiasa baik ke semua orang. Betul kan? Pasti para wanita di luar sana yang membaca ini akan rebutan bersorak "IYAAA! BENER BANGET!!!"

Sebagai contoh misalnya ada seorang wanita dengan inisial A menyukai seorang pria baik berinisial B. Suatu hari, mereka jalan bersama hingga larut malam. Karena hari sudah malam, si B menawarkan untuk mengantarkan A sampai di rumah. Tentu saja A senang sekali, karena ketika bertemu tadi mereka berangkat sendiri-sendiri, dan tidak terpikirkan bahwa nanti akan diantar si B. Keesokkan harinya, si A cerita ke teman-temannya kalau diantarkan si B. Dan tanggapan teman-temannya adalah: "Terus kenapa? Dia emang suka nganterin cewe pulang kok kalo udah malem. Dia kan emang baik banget." Tetoooot! Patahlah hati wanita itu saat itu juga. Pasti!

Berbeda jika si B termasuk bad boy. Pasti teman-teman akan berpendapat berbeda. "Kok bisa sih? Bahkan lo bisa jalan bareng sama dia. Pulang dianterin pula. Dia kan bandel gitu anaknya. Ternyata bisa baik juga sama cewe. Wah jangan-jangan dia suka sama lo lagi," dan mereka akan dengan antusias menanyakan hal itu beserta perkembangannya dengan si A.

Jadi, tidak jarang pria baik dikatakan pemberi harapan palsu alias PHP. Dan bad boy akan lebih terlihat perasaannya dengan cara dia memperlakukan kita sebagai wanita. So? Para pria baik jika ingin mendapatkan wanita yang disukainya dan tidak mendapatkan sebutan PHP lebih baik menunjukkan perasaannya dengan lebih terang-terangan saja, karena tidak semua wanita sadar dengan segala bentuk pendekatan yang dilakukan.

Dan satu lagi, pesan untuk para wanita. Jangan cepat senang jika mendapatkan perlakuan baik dari para pria di atas jam 12 malam. Mengapa? Karena menurut saya pukul jam 12 ke atas kesadaran manusia tidak mencapai masa optimalnya. Mungkin dia akan berbuat baik pada saat itu, tapi dalam hitungan jam, di siang harinya di hari yang sama mereka akan berbeda 180 derajat mungkin saja terjadi. Jadi untuk para wanita jangan cepat senang kalau ada pria yang masih betah mengajak ngobrol hingga lewat tengah malam. Dan kalau memang benar dia ada maksud mendekati kalian dan akhirnya kalian menjadi pasangan, jangan kaget kalau dia jarang atau tidak pernah mengajak kalian ngobrol lagi lewat tengah malam. Soalnya itu hanya salah satu caranya untuk mendapatkan hati kalian, wanita paling suka diberi perhatian, kan? Yang namanya cinta katanya menerima pasangan apa adanya, jadi kalau pasangannya tidak kuat menemani begadang juga jangan marah dong ;)

Sekian celoteh saya kali ini. Siapa tahu bermanfaat :)

Kamis, 27 Februari 2014

Being Alone

Semakin bertambahnya waktu, semakin terasa begitu banyak yang harus dipikirkan. Belum wisuda saja saya mulai memikirkan ingin kerja di mana dan seperti apa. Lalu nanti kalau sudah kerja mau ngapain lagi. Hal-hal yang seperti itu mulai sedikit demi sedikit muncul di dalam kepala, meminta untuk dipikirkan. Padahal yang sedang dihadapi sekarang saja belum rampung diselesaikan.

Belum lagi saat ini saya lebih sering sendiri. Seharusnya sih waktunya digunakan untuk mengerjakan skripsi, tapi nyatanya malah lebih sering menengok ke blog ini. Entahlah, rasanya kesendirian ini terlalu mengusik pikiran (ketimbang skripsi).

Pada dasarnya pikiran ini (lebih sering sendiri) mulai muncul dari semester lalu, dimulai dari sulitnya mencari teman berkumpul, yang ujung-ujungnya saya memilih bermain bersama teman-teman lelaki walaupun itu tidak dalam waktu yang lama. Ujung-ujungnya juga nyari teman-teman di luar kampus pada di mana, kalau bisa ketemu itu akan lebih menyenangkan ketimbang harus muter-muter ke seisi kampus yang belum tentu menemukan teman yang klop.

Kemudian di awal semester baru ini, di mana kuliah baru dimulai kembali, pemikiran itu semakin parah. Sialnya jadi mahasiswa biasa saja (atau agak sedikit di bawah biasa saja), di semester akhir ini masih harus mengambil kuliah yang belum diambil semester lalu dan mengulang suatu mata kuliah sambil mengerjakan tugas akhir. Alhasil, setiap ke kampus bawaannya males. Senang juga ngga. Tugas akhir keteteran. Teman juga ga ada. Die aja lo, Yu! (Eh, jangan dong kan masih penasaran siapa nanti yang bakal jadi suami gue.)

Sendirian itu benar-benar tidak asyik sama sekali. Kecuali memang lagi menikmati angin semilir di taman sembari membaca novel romantis. Ya pokoknya yang semacam itu. Mungkin pemikiran ini masih sangat kekanakan, tapi memang saya tidak terlalu suka sendirian.

Berada di tempat umum dan sendirian itu rasanya aneh banget. Kalau menuju suatu tempat sendirian sih udah biasa (secara ga punya pacar, jadi ga ada yang nganterin #loh #kemudiancurhat #dengerinmusik #kemudiangalau). Tapi kalau udah sampai di suatu tempat umum dan sendirian itu rasanya pengen nangis pake banget. Sebenarnya ga benar-benar sendiri, tapi di sekeliling bukan bersama orang yang bisa diajak seru-seruan kayanya basi banget hidupnya. Ya walaupun emang terkadang butuh me time, tapi di luar itu benar-benar menyiksa deh kalo sendiri.

Dan teman-teman yang paling setia menemani di saat sendirian kaya gini ada beberapa, yaitu: laptop, hp, dan novel. Well, mereka adalah teman terdekatku yang paling ga bisa aku tinggal ke mana-mana. Tiap pergi pasti di dalam tas ada paling ngga ada satu di antara mereka yang menemani. Pathetic? Not really. Selama tidak mulai ngomong sendiri dilanjutkan tertawa sendiri.

Kesimpulannya di sini, selama masih ada teman di sekitar kalian yang peduli dengan kalian, dan bahkan meluangkan waktu untuk bersama kalian lebih baik disyukuri. Karena waktu adalah satu-satunya hal yang tak bisa diminta atau dikembalikan. Manfaatkanlah waktu bersama orang-orang tersayang sebelum akhirnya kalian benar-benar sendirian hingga kegelapan menjemput.

Senin, 24 Februari 2014

Who is Your Best Friend?

Jikalau ada evaluasi akhir tahun di institusi ini untuk mengetahui apa saja yang didapat selama nyaris empat tahun yang telah dijalani, mungkin jika (lagi-lagi jika) ada pertanyaan yang begitu beragam saya kira yang paling sulit dijawab adalah pertanyaan berikut:

Who is your best friend in this college?
Siapa teman terbaik Anda di kampus ini?

Saya kira membutuhkan waktu lebih dari dua jam untuk memberikan jawaban pada pertanyaan tersebut. Bahkan saya rasa sehari tidaklah cukup.

Kehidupan kampus memang sangat mengajarkan saya bagaimana cara bertahan untuk hidup. Karena jujur saja, walaupun di kampus memang diajarkan para senior untuk membentuk relasi dengan saling berkenalan antar angkatan, tetap saja rasanya di kampus saya sendirian. Istilah mudahnya tiada teman bergantung. Semua punya kesibukan sendiri.

Individualis dan idealis sangat dirasakan ketika saya sudah cukup lama beradaptasi di kampus. Untuk saya sendiri sangat sulit untuk mencari teman yang "klop". Cukup bersyukur masih ada teman yang menganggap saya satu "geng" dengan mereka. Tapi bagi saya, saya masih berada di lingkaran yang berbeda dengan mereka, belum masuk pada lingkaran yang sama. Maaf jika ada yang terluka, tapi memang seperti itulah yang saya rasakan.

Lalu, ke mana saya bercerita, minta tolong, bersuka-duka? Tidak salah lagi, saya mencari sahabat-sahabat lama saya. Sahabat SD, SMP, maupun SMA. Saya masih sangat merasakan mereka ada buat saya.

Beberapa contoh kecil seperti meminjam obeng, saya lebih memilih meminjam teman SMA saya yang jarang bertemu ketimbang dengan teman kampus saya. Ketika ada teman yang sedang mengalami duka, tidak segan saya langsung mengunjungi mereka atau menjenguk mereka di rumah sakit. Dan ketika ada teman saya yang mengadakan selebrasi, semuanya pun berkumpul saling membagi suka cita walau selama ini kami jarang sekali bertemu. Mungkin ini disebabkan karena kami pernah susah senang sama-sama dan rasa saling mengenal itu ada, sehingga timbul kehangatan seperti keluarga.

Namun untuk melaksanakan hal yang sama di area kampus, entah mengapa sangat sulit. Kehangatan yang terjadi di antara saya dan teman-teman saya dahulu selalu jadi perbandingan dengan kondisi saat ini. Sehingga sulit mendapatkan kecocokan dengan teman-teman di sini.

Mungkin jika dilihat saya memang orang yang "supel" mudah masuk di dalam kelompok mana pun. Ya, benar. Hal ini dikarenakan kecocokan tadi. Namun, karena hal tersebutlah sering kali saya sendirian. Ada masa di mana pembagian kelompok selalu kuhadapi dengan hembusan nafas panjang. Entah harus masuk kelompok yang mana jika saya tidak bersuara. Pasti ketika saya bertanya kelompok mereka sudah penuh atau belum ada saja yang menjawab, "Oh belum ada kelompok? Kirain udah sekelompok sama si anu." Dan si anu yang disebutkan selalu bervariasi, akibat dari yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Maka dari itu, jika pertanyaan di awal dilontarkan, maaf beribu maaf, saya memang sangat sulit untuk menjawabnya. Harap maklum.

Kamis, 20 Februari 2014

Mengapa Harus Ada Cinta?

Halo, akhirnya jumpa lagi dengan blog yang sudah melapuk ini. Sudah lama sekali tidak menumpahkan segalanya di sini. Mungkin sekarang saatnya.

Semester telah berganti, resolusi mulai dibuat kembali. Memusnahkan perasaan menyukai seseorang sepertinya tidak dapat dijadikan resolusi apabila orang yang bersangkutan masih berada di sekitar kita. Dan akhirnya hanya menjadi resolusi yang berat untuk dicapai.

Sudah mulai tidak bergantung dengannya adalah awal yang tepat, namun ternyata takdir berkata lain. Sepertinya Tuhan sedang memberi sedikit ujian dengan memberikan jadwal kegiatan yang mengharuskan aku bertemu dengannya. Rasanya ingin bertanya langsung kepada Tuhan, "Apa yang Engkau rencanakan? Membuat hatiku kembali merasakan sakit? Atau ada hadiah terindah apabila aku berhasil melewati ujianmu ini?" Tapi Tuhan tidak akan menjawab langsung pertanyaanku ini.

Hal paling sulit yang harus aku hadapi adalah menemukan dirinya bersama sang pujaan hati. Sering kali nafasku sesak karenanya.  Rasa-rasanya ingin segera pergi dan menghirup udara segar saja. Masih sulit untuk menerima kenyataan adalah sesuatu hal yang wajar, kan?

Dan semalam, seperti merasa tertampar mendengar salah satu lagu Kahitna. Ya, benar. Lagunya berjudul Cinta Sendiri.

"Pedih aku rasakan
kenyataannya
cinta tak harus
selalu miliki"

Tak harus selalu miliki. Lalu, mengapa harus ada cinta? Toh ujungnya tak harus saling memiliki. Hanya meninggalkan rasa sakit. Apa gunanya rasa sakit ini?