Minggu, 11 Agustus 2019

Nanti

tiada yang salah dengan pertemuan
hanya perasaan dan pikiran yang berlebihanlah
yang menjadi akar masalahnya
tiada pula yang berbeda dengan kita
dalam pertemuan yang terencana itu
ya, terencana
padahal sudah berencana untuk melupakan
malah membuat rencana baru
dengan membuka kenangan lama
terus saja siklusnya demikian
bakai lingkaran setan
tak berhenti
terus berputar
kapan berpindah?
nanti,
nanti di saat yang tak diketahui
olehku
entah apalagi yang ditunggu
padahal tak ada hasil

Selasa, 06 Agustus 2019

Hanya Kamu

bukan perkara mudah
merasa sendirian
di tengah kebisingan ibukota
terdampar di tengah lautan manusia
tanpa tahu arah dan tujuan
ku pejamkan mata
berharap mendapatkan jawab-Nya
lalu muncullah kamu
meraih tanganku
dan menuntun menuju cahaya
kemudian kamu melepaskan tanganku
mengapa? tanyaku
kamu persilakanku untuk pergi
kamu tidak ikut? tanyaku lagi
kamu menggeleng
'tidak sekarang
atau
mungkin bukan aku'
itu jawabmu
aku hanya mau kamu
kamu yang menunjukkan cahaya-Nya
kamu satu-satunya yang membimbingku
kamu selalu berhasil mengobati sepiku
dengan menuntun ke arah-Nya
hanya kamu
aku mohon
temani aku
selamanya
aku mencoba meraihmu
tapi hanya kata maaf yang terdengar
dan kamu pun lenyap
tersadar
aku membelalak
di tengah kegelapan
di dalam kamar
sendiri saja
berurai air mata

Senin, 05 Agustus 2019

Siapa yang Salah?

Gempa bumi mengguncang cukup dahsyat. Polusi udara sudah tidak dalam taraf wajar. Pemadaman listrik lebih dari enam jam. Semua terjadi di (mantan?) ibukota. Lalu masih banyak mengeluh dan memaki-maki orang lain? Masih menyalahkan orang lain dengan berbagai musibah yang terjadi? Kalian masih punya hati?

Begini ya, sebelumnya mohon maaf, ini hanya perspektif pribadi saya. Jikalau tak sejalan dengan kalian ya tak mengapa. Namun, jika dapat diambil positifnya ya alhamdulillah. Saya hanya sedikit gerah dengan orang-orang yang sibuk marah-marah di dunia nyata, apalagi media sosial. Seakan-akan semua kejadian ini terjadi adalah salah orang lain yang tidak memikirkan kehidupan orang banyak. Baik akan saya mulai beberkan satu per satu yang membuat saya gerah selain cuaca.

Gempa bumi kemarin tidak main-main guncangannya, sampai membuat kepala saya pusing. Alhamdulillah saya sudah di rumah, jadi mudah kabur keluar. Bayangkan yang tinggal di apartemen lantai berapa belas. Harus turun melewati tangga darurat. Dan melayang berita di media ada tangga darurat yang pintunya terkunci, sehingga penghuni tidak dapat mencapai lantai bawah. Untung saja semua masih selamat. Otomatis penghuni marah dong dengan pengelola. Ya, saya pun termasuk netizen yang marah padahal tak tahu situasi aktual. Usut punya usut, beberapa pintu tangga darurat dikunci karena sering digunakan sebagai tempat merokok beberapa penghuni. Jadi sekarang salah siapa? Salah penghuni? Salah pengelola? Introspeksi saja masing-masing. Semua hal terjadi tidak mungkin tanpa sebab. Jadi kalau ingin semua berjalan lancar, apa sulitnya mematuhi peraturan yang ada. Dan jangan lupa bersyukur, gempa ini masih berupa peringatan. Masih diingatkan perlu ada perbaikan dari masing-masing orang jika ingin selamat.

Polusi udara. Lagi hype banget nih yang pada berbagi kondisi udara di Jakarta karena memiliki tingkat polusi tertinggi di dunia. Terus apa saja yang telah dilakukan selain sharing tangkapan layar tentang info-info polusi? Dikerjakan tidak yang dibagikan itu? Sebal sih jikalau banyak komentar tapi masih naik ojek online, buang-buang listrik, dan berbagai kegiatan lain yang menyumbang polusi. Sebenarnya kan dari zaman dahulu kala juga Jakarta sudah termasuk yang berpolusi, lantas mengapa baru resah sekarang? Sibuk jadi duta ojek online? Hahaha bisa diamuk massa nih pernyataan saya. Sebenarnya ini hanya hal paling sederhana dengan naik kendaraan umum. Tapi akan banyak alasan di belakangnya yang membuat kita menolak menaik kendaraan umum. Iya, kita. Saya juga termasuk di dalamnya. Saya masih suka malas naik kendaraan umum dengan alasan lama, terutama ketika sedang terburu-buru. Mengapa bisa terburu-buru? Yang mana bisa ditanggulangi dengan berangkat jauh lebih awal. Lebih malas? Ya tanggung resikonya, si polusi tadi. Hidup itu penuh sebab akibat.

Mati listrik nih yang seru banget. Kegiatan hampir seluruhnya terganggu. Hidup zaman sekarang tidak bisa lepas dari listrik. Segala-galanya butuh listrik. Tapi pernah terpikirkan tidak oleh kalian bahwa masih ada desa yang belum terjamah listrik sepenuhnya? Atau beberapa kota yang sangat sering merasakan pemadaman listrik? But, they're still alive until now. Marah-marahnya jangan sampai seakan tidak bisa hidup dong. Dulu juga kita hidup tak seenak sekarang. Toh mati listrik juga banyak manfaatnya. Bisa lebih banyak berbicara dengan manusia (tidak lewat smartphone saja). Abang-abang angkot kembali berjaya karena banyak yang tidak bisa pesan ojek online. Dan yang terbaik adalah tingkat polutan di Jakarta masuk batas sedang. Tak usahlah buat hujan buatan, padamkan saja listrik di Jakarta, maka tingkat polusi pun menurun hahahahahahahahaha.

Sebenarnya nih ya akibat dari tiga musibah yang datang berurutan ini membuat saya takut. Takut kiamat. Serius. Ini Tuhan sudah baik sekali loh masih memberikan pertanda untuk kita kembali ke jalan yang benar. Bukan malah menjadi makin parah, dan tidak menerima apa yang sedang atau telah terjadi. Tidak sedikit orang yang bilang mengapa harus takut, kalau sudah waktunya semua orang pasti mati. Iya sih, tapi kan boleh ya berharap bisa meninggal dalam keadaan yang baik... Mungkin memang tinggal menunggu waktu siapa yang duluan "pulang", tidak memandang usia, tua muda kapan saja bisa tiada. Untuk itu, selagi ada waktu tidakkah kalian tergerak untuk beribadah dan berbuat baik saja? Yang sudah beribadah pun belum tentu sah juga ibadahnya, apalagi yang tidak. Mengapa orang-orang sibuk berkutat ingin semuanya berjalan seperti apa yang diinginkan, walaupun tidak sesuai aturan? Mengapa orang-orang tidak bisa hidup lebih tenteram? Atau hanya saya yang terlalu polos dan melihat sisi positifnya saja untuk menghibur diri agar tidak tertekan dengan masalah yang ada?