Jumat, 16 Oktober 2015

Mungkin Aku yang Terlalu Baik

aku tak sanggup melihatmu
terkulai lemas di atas dipan
tak mampu ke mana-mana
mencari makan pun tak bisa

satu hal kecil yang kulakukan
hanyalah membelikan makanan
dan sebotol minuman
berharap kamu baikan

mungkin aku yang terlalu baik

sekarang dirimu telah pulih
badan sehat juga terisi
aku bersyukur dalam hati
berdoa kamu tidak sakit kembali

tapi sekarang keadaan berbalik
berharap kamu berbaik hati
tapi hal itu hanya mimpi
mana pernah kamu peduli

mungkin aku yang terlalu baik

sering kali ini terjadi
aku selalu lupa diri
kalau kamu tak kan balas budi
apa daya aku begini

apa yang ku lakukan
bagai angin lalu
yang tidak pernah dianggap
namun hanya dirasakan

mungkin aku yang terlalu baik

Jumat, 02 Oktober 2015

Pilihan

"Bad boy itu cuma cocok dijadikan pacar. Ga cocok kalau jadi calon suami."

Kalimat itu terus berulang di dalam kepalaku setiap kali aku memikirkanmu. Kalimat yang sering diucapkan teman-temanku untuk menyadarkanku kalau kamu bukan orang yang tepat untukku. Tapi aku tidak bisa menampikmu begitu saja. Apa lagi setelah melihat senyummu hari ini. Tidak, tidak hanya hari ini. Ketika kamu mengirimkan emoticon senyum via pesan singkat pun aku langsung dapat membayangkan seperti kamu ada di depan mataku.

Hari ini aku bertemu denganmu. Ya, memang aku yang minta. Aku rindu. Rindu sekali padamu. Hubungan jarak jauh ini membuat kita sulit sekali berjumpa. Sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya antara Jakarta-Depok. Tapi kegiatan kita yang berbeda, aku masih kuliah dan kamu sudah kerja, membuat waktu kosong yang kita miliki tidak saling bertemu. Dan terkadang jika ada waktu kosong untuk bersama, pasti ada saja hal lain yang menginterupsi kebahagiaan kita yang tidak dapat kita hindari. Salah satunya orang tua.

Memiliki orang tua yang sangat disiplin terkadang membuat ruang gerak menjadi sempit. Itulah hidupku. Kamu pun telah memakluminya. Dan aku bersyukur kamu tidak mempermasalahkan hal ini. Walau kadang kamu sering menjadikan ini sebagai bahan bercandamu dengan mengatakan, "Aku maklum kok kalau orang tua kamu strict. Biar hubungan kita ada halangannya. Kan ga seru kalau hubungan kita mulus-mulus saja," kemudian kamu akan tertawa lalu mengusap kepalaku memastikan bahwa kamu baik-baik saja.

Ya, aku selalu cemas. Cemas dengan hubungan kita. Kamu tahu itu. Dan karena itu pula kamu selalu mencari cara untuk menenangkanku. Itu salah satu hal yang membuatku tertarik padamu. Kamu selalu bisa membuat situasi yang menurutku runyam seperti benang kusut menjadi lurus kembali, walaupun tidak terlalu lurus seperti sedia kala. Setidaknya aku menjadi lebih tenang jika kamu ada di sampingku.

Tapi sekarang aku mulai cemas lagi. Teringat kembali omongan teman-temanku itu. Mengapa? Akibat dari kejadian barusan.

"Mas, sudah mau azan asar. Sudah dulu yuk main basketnya. Biar kamu bisa mandi di rumah lalu nanti kita salat berjamaah di masjid," kataku sembari menghampirimu yang sedang berdiri di dekat ring basket setelah melakukan lay up.

Kamu menatapku dan memberi senyuman khasmu itu. Aku berharap ada perubahan dalam jawabanmu. Tapi rasanya harapanku tidak terpenuhi sekarang.

"Aku antar kamu pulang saja ya, Rin," jawaban yang sudah aku prediksi. Jawaban yang selalu kamu berikan di saat kita sedang bersama setiap kali aku mengajakmu untuk melakukan salah satu kewajiban dalam agama kita. 

"Tapi aku maunya bareng kamu Mas salatnya. Kamu ga perlu jadi imam aku juga gapapa. Kita jamaah bareng-bareng di masjid saja."

"Arina, kalau kamu mau nungguin aku mandi dulu dan lain-lain yang bakal aku lakukan, nanti kamu bakal telat salat di masjidnya. Aku ga mau jadi penghalang kamu untuk mengundur waktu salat."

"Tapi Mas..."

"Habis magrib kan aku jemput kamu. Kita makan malam bareng. Yuk Rin."

Akhirnya, seperti biasa, kamu mengantarkan aku pulang. Aku siap-siap ke masjid bersama Ardi dan Ardo, adik kembarku. Selepas salat di masjid, aku menunggu adik-adikku tepat di bawah pohon yang terletak di halaman masjid.

"Arina!"

Aku menengok ke belakang, mencari orang yang memanggilku. Ternyata ada Mas Arif, teman main aku dan kamu sedari kecil. Dia melambaikan tangannya untuk memberikan tanda bahwa dia yang memanggilku. Dia merangkul kedua adik kembarku.

"Arina, sudah pintar-pintar nih adik-adik kamu. Sekarang kalau salat di masjid ga main perang sarung lagi," canda Mas Arif sambil menepuk pundak adik-adikku.

"Iya dong Mas, masa badan sudah segede ini masih perang sarung juga. Cuma berdua lagi, kan ga seru," tanggap Ardo.

"Jadi kalau ada teman-teman yang lain bakal tetap perang sarung nih?" tanya Mas Arif kepada mereka.

"Iya dong!" si kembar kompak menjawab.

Kami berempat tertawa. Tidak terasa adikku sudah besar-besar. Dulu setiap tarawih selama bulan Ramadhan pasti selalu saja kamu dan Mas Arif digoda kedua adikku ini ketika salat. Tadinya berencana menjadi abang yang baik buat mereka berdua selama di masjid, malah jadi sasaran empuk perang sarung si kembar dan teman-teman. Setelah salat kalian berdua pasti mengadukan si kembar kepadaku sembari memukul pelan kepala mereka sambil bercanda. Ah, aku jadi kangen masa-masa itu. Pergi pulang dari masjid bersama kamu, Mas.

Kami berempat pun beranjak dari masjid untuk pulang ke rumah. Ardi dan Ardo jalan terlebih dahulu, meninggalkan aku dan Mas Arif beberapa langkah di belakang mereka.

"Alex mana Rin?" tanya Mas Arif menanyakan kamu untuk membuka obrolan.

"Ada di rumah kok, Mas."

"Oh.." hanya itu yang keluar dari mulut Mas Arif. Mungkin karena ia juga telah tahu akan jawaban pertanyaannya. Mungkin saja tadi kalian berpapasan di jalan saat kamu menuju rumah dan Mas Arif menuju masjid.

"Nanti malam katanya ada festival di sekitar jogging track Rin. Kayanya seru tuh. Kamu mau ke sana ga? Tadi aku sudah ajak si kembar juga katanya mereka mau ke sana,"

"Aku ga bisa Mas nanti malam."

"Kenapa? Oh sulit izin sama abi umi ya?"

"Bukan. Aku sudah ada janji mau makan malam sama Alex."

"Oh.." Oh kedua dari Mas Arif. "Kamu masih sama Alex?"

"Masih, Mas."

"Ya sudah, salam saja buat Alex. Bilang ke dia aku kangen hahaha. Aku pulang ya Rin," kalimat penutup dari Mas Arif karena sudah sampai di depan rumahku. Aku mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah.

Selepas magrib, aku bersiap-siap sambil menunggu kedatanganmu. Setelah memastikan kerudungku rapi, aku menuju ruang tengah. Dan kamu sudah berada di sana sedang berbincang bersama abi. Asal kamu tahu, aku selalu senang melihat kamu akrab dengan abi. Kalau ditanya mengapa, aku juga tidak tahu jawabannya. Rasanya senang saja.

Kamu menyadari kehadiranku. Dan senyum favoritku pun mulai mengembang di wajahmu. Lalu kamu berdiri kemudian meminta izin abi dan umi untuk mengajakku pergi.

"Jangan malam-malam ya Lex pulangnya," pesan abi.

"Siap Om!" Lalu kita berdua pun pamit.

Sesampainya di restoran pilihan kamu, kita pun memesan makanan. Kamu memesan hamburger steak favoritmu sedangkan aku memilih fish and chips. Tidak lupa kita memesan es teh manis. Apa pun makanannya, minumnya es teh manis. Itu jargon favorit kamu yang tidak akan aku lupa. Tidak lama kemudian makanan pesanan kita pun datang. Kita pun makan dalam diam, seperti yang diajarkan umi kalau makan tidak boleh sambil berbicara. Setelah selesai makan, kamu memanggil pramusaji untuk mengangkat piring-piring kotor dan memesan ice americano untukmu serta air mineral untukku sebagai teman mengobrol kita sembari santai sejenak setelah makan.

"Mas, kamu dapat salam dari Mas Arif. Katanya dia kangen sama kamu."

"Hahaha apa sih Arif. Padahal tadi ketemu setelah aku antar kamu ke rumah. Kamu ketemu di mana sama dia?" 

"Tadi pulang dari masjid bareng. Kamu ga pernah main sama Mas Arif lagi? Rumah kalian kan deketan."

"Kan sama-sama kerja. Susah ketemunya Rin. Kalau ada waktu kosong kan mending aku ketemu sama kamu," kamu pun mengusap kepalaku.

"Kenapa kita ga ketemu bertiga saja? Dulu juga kita sering pergi bertiga."

"Memangnya kamu mau pergi bertiga sama Arif juga?" aku merasa kamu bertanya penuh selidik.

"Kenapa engga mau? Mas Arif kan temen kita berdua."

"Aku kan maunya ketemu sama kamu tanpa diganggu yang lain." Aku tersipu.

"Sepulang dari masjid tadi aku jadi ingat dulu deh, Mas. Tiap Ramadhan kita selalu bertiga, dan kadang berlima sama si kembar, pergi pulang dari masjid. Aku jadi kangen. Ramadhan tahun ini mungkin ga ya bakal bisa kaya dulu lagi?" aku mulai berangan-angan, ditambah bulan Ramadhan akan datang sebentar lagi.

"Susah dong sayang. Kan aku pulang kerjanya sore. Ditambah macet. Sampai di rumah pas azan magrib saja sudah syukur banget."

Aku cukup kecewa mendengar jawaban kamu, Mas. Karena tahun lalu saja aku masih cukup sering berjumpa dengan Mas Arif di masjid. Padahal kalian sama-sama kerja di kawasan yang sama. Terkadang aku sedih kamu tidak menunjukkan upaya lebih untuk beribadah. Dan saat ini sepertinya kesedihanku sudah mencapai puncak. Tiba-tiba saja air mataku menetes di pipi.

"Loh Arina kamu kenapa?" kamu terlihat panik ketika aku mulai menangis.

"Maaf Mas, tapi aku sepertinya mulai tidak bisa mengerti kenapa kamu selalu menolak kalau aku ajak ke masjid. Jangankan ke masjid, setiap aku ingatkan kamu untuk salat kamu selalu mengubah topik pembicaraan. Kapan kamu mau berubah Mas?"

"Jadi ini yang bikin kamu sampai menangis? Arina kamu tahu aku kan? Dengan keadaan aku yang begini saja hidupku masih bisa aku kendalikan. Aku tidak merasakan adanya urgensi untuk melakukan itu. Santai sajalah," kamu menjelaskan alasanmu dengan gayamu yang begitu santai.

"Kamu keterlaluan Mas! Sampai kapan aku harus menunggu kamu berubah? Kamu kira aku cuma main-main berhubungan sama kamu?!" kesabaranku habis. Aku lontarkan semua yang ingin aku katakan sama kamu. Aku pergi meninggalkan meja menuju luar restoran. Kamu menyusulku dan menarik tanganku.

"Kamu boleh marah sama aku sekarang. Tapi aku yang akan tetap mengantar kamu ke rumah. Aku masih punya tanggung jawab untuk mengantarmu pulang," kamu melepas tanganku, menyerahkan helm dan kembali ke dalam restoran untuk membayar makanan dan minuman kita.

Tidak lama kamu keluar lagi. Aku tidak menatap wajahmu. Aku tidak tahu apakah kamu marah juga padaku atau menganggap santai apa yang telah aku katakan tadi. Kamu menghidupkan motor, menyuruhku naik, dan mulai berkendara menuju rumahku. Sampai di rumah, aku pun tak mengatakan apa-apa padamu, langsung masuk ke dalam rumah. Umi yang membukakan pintu menghampirimu dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengantarku. Tapi aku tetap tidak menengokmu sedikit pun hingga kamu pergi.

Esok harinya aku mengetahui kamu kesal tadi malam. Aku tahu setelah kamu mengantarku, kamu pergi ke bar untuk melampiaskan kekesalanmu dengan minum hingga mabuk seperti biasa yang kamu lakukan jika sedang kesal dengan seseorang. Kamu memang tidak pernah menunjukkan kekesalanmu dengan orang lain. Tapi kamu melampiaskannya dengan minuman keras, hal lain yang tidak aku suka dari diri kamu. Kamu tidak bisa meninggalkan alkohol, karena katamu hanya alkohol yang bisa menenangkan perasaan kamu. Tindakanmu hanya menambah kekecewaanku terhadapmu Mas.

Lagi-lagi aku mulai cemas dengan hubungan kita. Akan berakhir seperti apa hubungan kita kalau kamu tidak kunjung meninggalkan kebiasaan burukmu itu. Akankah kamu berubah menjadi lebih baik Mas? Kapan? Bisakah kamu meyakinkan aku?

Mungkin hanya aku yang mencemaskan hubungan kita ini. Karena setelah hari itu kamu tetap menghubungiku seperti biasa, memastikan aku baik-baik saja. Aku selalu menjawabmu seadanya, tapi kamu tidak merasa janggal, apa lagi berusaha untuk minta maaf. Aku pun bukan orang yang tegas pada diri sendiri. Aku belum yakin untuk meninggalkan kamu selamanya. Aku masih optimis kamu akan berubah di kemudian hari hingga mampu menjadi imamku kelak.

Waktu terus bergulir. Ramadhan datang. Kamu tetap tak kunjung terlihat di masjid. Yang ku temui selalu Mas Arif. Aku mulai gusar. Apa yang harus aku perbuat. Kamu masih berlaku baik untukku. Selalu menjadi orang pertama yang menawarkan diri untuk menolongku. Orang yang selalu menyemangati di saat terpurukku.

Lebaran hingga tahun berganti sudah terlewati. Aku pun telah wisuda. Sudah memasuki kehidupan prakerja. Aku menghadapi dilema saat ini. Abi mengatakan hal yang cukup serius kepadaku. Intinya adalah beliau tidak memaksaku untuk bekerja apa bila ada laki-laki yang telah sanggup untuk menyuntingku. Namun setelahnya abi menanyakan hal yang membuat hatiku tambah gusar. Abi menanyakan bagaimana hubunganku dengan Mas Arif. Setelahnya abi tidak menanyakanmu sama sekali. Abi hanya berkata beliau menginginkan aku mendapatkan lelaki terbaik agar beliau tidak berat hati untuk melepaskanku.

Lalu sekarang aku harus bagaimana, Mas?

Aku telah menceritakan hal ini padamu. Tapi kamu hanya menjawab dengan tunggu, tunggu, dan tunggu. Sampai kapan aku harus menunggu?

Entah apa yang abi rencanakan, Mas Arif sekarang menjadi sering ke rumah. Tidak hanya untuk bertemu denganku, tapi terkadang hanya untuk menemani abi main catur, atau membantu berkebun di halaman. Aku menceritakan semua ini padamu. Entah mengapa kamu bereaksi dengan menyerahkan semua keputusan kepadaku. Dengan percaya diri kamu mengatakan bahwa aku harus melihat perjuangan orang yang ingin meminangku. Dan aku harapkan kamu berjuang seperti yang aku harapkan.

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Akhirnya sampai juga hari di mana pertama kalinya aku harus bersikap tegas dengan perasaanku. Aku harus memutuskan keputusan yang penting dalam hidupku untuk memilih pendamping yang akan menemani di sisa hidupku. Semoga ini keputusan terbaik yang ditunjukkan Allah untukku.

Tanpa waktu lama, bertemulah kedua belah pihak keluarga untuk membicarakan hal yang sakral ini. Hingga sampai pada hari di mana penyebaran undangan dengan inisial dua huruf A di depannya. Akhirnya hari H pun tiba. Hari pernikahanku.

Ijab kabul telah disahkan oleh keluarga dan kerabat. Resepsi segera dimulai. Aku berdiri di pelaminan bersamamu. Berhadapan denganmu. Bukan berdampingan denganmu. Ya, aku memilih Mas Arif untuk menjadi suamiku.

Bukan tanpa alasan aku memilihnya. Bukan aku tidak melihat perjuanganmu selama ini untuk menaklukkan hatiku. Aku bahagia bersamamu, Mas. Tapi kebahagiaan di dunia aku rasa tidak cukup untuk membuatku tenang. Aku butuh seseorang yang juga mampu membahagiakan aku di akhirat.

Mas Arif lah yang aku rasa mampu memberikanku kebahagiaan baik di dunia mau pun di akhirat. Belakangan juga aku ketahui ternyata Mas Arif menaruh hati padaku. Aku tahu kamu mengetahui hal ini. Itu sebabnya kamu tidak ingin aku sering bertemu dengan Mas Arif, kan?

Di pelaminan kamu mengucapkan selamat untukku dan Mas Arif. Kamu memeluk Mas Arif dengan senyum favoritku dulu. Syukurlah kamu tidak marah pada Mas Arif. Dan aku sangat bersyukur kamu tidak marah padaku. Terima kasih kamu begitu lapang dada melepaskanku. Aku tahu itu sulit karena aku juga merasa demikian. Di pelaminan kamu sempat berbisik padaku.

"Selamat Arina, kamu lulus menjadi wanita yang tegas. Aku pantas mendapat ganjaran ini karena telah menyepelekan Tuhan. Aku tidak sadar hal urgensi yang diberikan Tuhan padaku, yaitu kamu. Kamu pantas mendapatkan Arif. Terima kasih Arina telah memberiku pelajaran. Sekali lagi selamat." Senyummu saat itu tidak akan aku lupakan. Kamu meninggalkan pelaminan tanpa menengok kembali ke belakang.

Terima kasih Mas Alex telah hadir dalam hidupku. Mungkin kita dipertemukan untuk saling memberi pelajaran, bukan untuk menyatu hingga akhir hayat. Semoga kamu mendapatkan wanita yang dapat mengayomi sepanjang hidupmu.