Jumat, 19 Februari 2021

Maaf.


Too much coincidence in my life, apalagi yang berhubungan denganmu. Seperti tulisan di atas. Draft dari dua bulan lalu yang tak kunjung kutemukan bagaimana menyelesaikannya. Sebenarnya tulisan ini urutan diunggah di media sosial Sabtu lalu. Namun, aku tak menemukan juga kalimat seperti apa yang tepat untuk menutupnya. Akhirnya, kulompati saja ke tulisan selanjutnya, yang mestinya baru diunggah akhir minggu ini. Lalu apa yang terjadi... Tulisan di atas menjadi suara hatiku malam ini. Maaf aku tidak sempat bersua terlebih dahulu. Feeling ibu itu memang kuat ya, di saat kami memutuskan untuk jalani masing-masing saja, katanya aku malah dicari. Sudah berjanji kok akan menengok ketika pulang, dan mungkin memang sudah takdirnya seperti ini. Sekarang Mamah lebih bisa mengawasi kita dari sana bersama Mama dan Papaku. Entah apa yang akan menjadi takdir untuk kita berdua di masa depan, tapi aku benar-benar minta maaf sepenuh hatiku. Seperti tulisan yang belum selesai tersebut, akan aku selesaikan dengan menyematkan tanda titik (.). Maaf.

Minggu, 14 Februari 2021

Surat Terakhir

Hari terakhir di rangkaian suratku. Berharap ini surat terakhir untukmu. Walaupun aku juga tak berharap banyak kamu membaca surat-surat sebelumnya atau tidak.

Semoga saja ini yang terakhir. Terakhir dari ungkapan hati yang tak dapat aku sampaikan langsung padamu.

Aku ingin mencoba berhenti memedulikanmu. Apakah kamu berharap aku akan berhasil? Kalau tidak berhasil, apa yang akan kamu lakukan? Memperjuangkanku atau memilih berlalu tanpa memedulikan perasaanku sama sekali? 

Entah apa yang akan terjadi, aku mencoba melepasmu. Mencoba. Sambil menebak-nebak apa yang akan terjadi, yang digariskan untukku. 

Kuharap tidak gagal. Demi luka hati yang ingin kusembuhkan. Tidak ingin kubiarkan menganga tanpa ada penyembuhan. Semoga aku berhasil. 

Maka dari itu, aku berusaha pamit ya. Bila memang kamu sudah berpikir dapat hidup tanpa aku, diamkan saja aku. Namun jika kamu sudah memikirkannya dengan matang dan ingin menyegerakan yang dahulu hanya menjadi harapan, aku harap kamu bersungguh-sungguh menghampiriku. 

Semoga kala itu terjadi, hatiku telah siap dipertemukan dengan rahasia besar Tuhan yang bahkan kita, manusia biasa, tidak dapat memastikannya. 

Tapi, sebelum mulai berharap lagi, aku akan pamit terlebih dahulu. Ini surat terakhir untukmu. Semoga kamu tidak merasa kecewa ketika membaca surat ini. 

Sabtu, 13 Februari 2021

Semoga Mama Lekas Pulih

Semakin jarang aku menulis untukmu, sebab semakin banyak yang aku pikirkan. Satu setengah bulan tidak berkomunikasi denganmu kupikir akan membuat aku terbiasa. Nyatanya tidak juga. 

Lagi-lagi kupikir memberikan ucapan selamat dan doa di hari ulang tahunmu adalah hal yang wajar, serta sebagai bentuk pernyataan bahwa aku baik-baik saja. Nyatanya, jauh sebaliknya. Aku menanti percakapan panjang, untuk sekadar tahu kabarmu seperti apa. 

Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan Hati paham betul bagaimana aku. Ia hanya menjadikan diriku apa adanya, diriku yang mudah khawatir dengan orang yang disayang. Sampai akhirnya setelah umurmu tepat bertambah satu tahun, kamu memposkan sesuatu di media sosialmu yang membuatku penuh pertanyaan. Siapa? Mengapa? Bagaimana bisa? Dan pertanyaan lainnya yang kuredam dalam hati dan hanya digantikan dengan sebuah kata, "Sakit?"

Terima kasih kamu masih bersedia menjawabnya daripada kelak kepalaku sakit memikirkan yang tidak-tidak. Jawabanmu saja sudah menjadi berkas baru untuk dipikirkan dalam otakku sampai detik ini.

Maaf ya aku masih belum terbiasa untuk tidak memikirkanmu. Malah aku merasa memori tentangmu adalah candu. Semakin kugali mengapa aku dapat memikirkanmu sampai seperti ini. Padahal kenangan bersama pun tak banyak. Tetapi percakapan intens yang sedikit itu sepertinya melekat dalam jiwa.

Rasanya yang dapat membuat aku berhenti melakukan ini hanya kamu. Iya, kamu. Kamu yang harus mengatakan sejujur-jujurnya di depan mataku bahwa kamu tidak membutuhkanku, bahwa kamu tidak mencintaiku, bahwa kamu tidak pernah ada rasa denganku. Barulah aku akan terbebas dari rasa penasaran dan benar-benar membuka mata, serta hati, untuk yang lain. 

Sekali lagi aku minta maaf atas ketidaknyamanan yang aku buat. Ini buah dari kekhawatiran tak berujung yang hanya berputar dalam kepala saja. Satu hal lagi, semoga Mama lekas pulih. Semoga kamu tidak perlu merasakan kelam yang pernah aku rasa. 

Jumat, 05 Februari 2021

Lagi-lagi

Membuka lembaran baru tak semudah harfiahnya. Padahal tak banyak yang pantas dikenang. Mungkin memang benar perkara cinta itu buta. Sampai sekarang pun sebagian otakku masih berpikir bahwa kamu bisa berubah. 

Tak muluk-muluk harapanku, tak berharap kamu berubah menjadi satria baja hitam, atau pangeran berkuda putih. Hanya berharap kamu peduli dengan adaku, serta menghargai waktu denganku.

Aku pikir dengan menghapus jejak digital yang ada merupakan salah satu cara terbaik. Salah. Salahnya adalah ketika aku ingin memulai dari nol pertemanan kita seperti dulu lagi. Bagaimanapun tidak akan bisa kembali nol. Sebab apa yang telah kita lalui seharusnya sudah lebih dari cukup untuk mengenal satu sama lain. Hanya saja ego kita terlalu tinggi saling mempertahankan kemauan masing-masing, yang memiliki mimpi dan harapan yang berbeda. 

Sekadar penasaran, apakah saat ini aku sudah tak ada dalam ingatanmu? Apakah kamu sudah berhasil menghapus kenangan dan harap yang pernah kita amini? Lagi-lagi aku titip pesan pada Tuhan agar tetap menjagamu dalam lindungan-Nya. Semoga kamu selalu baik-baik saja. 

Selasa, 02 Februari 2021

Selamat Ulang Tahun

Selamat ulang tahun!
Semoga baik-baik saja di mana pun berada.
Semoga selalu diberikan kesehatan.
Semoga Allah SWT melindungi setiap langkah yang diambil.
Semoga semakin bahagia di 2021.
Semoga menemukan apa yang patut ditemukan, dan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan.

Senin, 01 Februari 2021

Jikalau

Sudah Februari saja. Bukan semakin lupa, malah semakin kuat kenangan yang ingin dienyahkan. Bahkan di kala memori itu tanpa wujudmu, hanya yang berhubungan denganmu, juga masih teringat jelas dalam ingatan. Misalnya, seperti saat aku mendengarkan lagu Naif yang berjudul Jikalau.

Aku pernah menangis di jalanan perkara lagu ini. Hahahaha seperti orang bodoh ya. Ceritanya aku mau nonton konser. Ya, kamu yang paling tahu aku suka sekali nonton konser, bahkan kamu juga pernah menemani atau cuma jemput ketika konser selesai, masih ingatkah kamu? Kembali ke ceritaku yang memalukan tadi. Ketika aku sedang berjalan menuju gerbang masuk konser, ternyata Naif sudah mulai beraksi. "Jikalau telah datang waktu yang dinanti, kupasti bahagiakan dirimu seorang. Kuharap dikau sabar menunggu..."

Baru dua kalimat mengalun, tiba-tiba sudah ada yang menetes di pipi. Padahal kita tidak pernah menonton Naif bersama, hanya saling karaoke tidak jelas setiap ada lagu Naif diputar di saat kita sedang bersama atau sekadar di telepon saja. Tapi entah mengapa setiap lagu ini mengalun, di dalam kepalaku selalu ada adegan kamu menyanyikan lagu ini sambil menatap mataku dengan jelas, walau ujungnya kita menertawainya bersama. Ternyata sangat membekas di pikiranku yang sering lupa ini. 

Aku harus sabar menunggu sampai kapan? Tanyaku dalam hati setiap mendengar lagu ini. Apakah ada perbedaannya jika aku tetap sabar menunggu? Bagaimana jika aku tetap menunggu tetapi perasaanmu juga tidak berubah? Mau semakin lama dipertahankan juga tidak berguna. Malah yang terjadi aku semakin sulit melepasmu, dan kamu tetap tidak berubah. Sekarang saja sudah menjadi bukti jika menghapus ingatan tidak semudah membakar kertas yang akan berubah menjadi abu lalu terbang terbawa angin.

Maaf jika kamu terganggu dengan ini. Setidaknya kamu tahu aku menyayangimu walau setiap ditanya alasannya aku selalu menjawab tidak tahu. Yang pasti waktu banyak berperan di dalamnya hingga akhirnya rasa ini memupuk terlalu besar.

Tidak apakah bila aku menutup surat ini dengan mengatakan 'aku masih menyayangimu tanpa kamu perlu terbebani untuk membalasnya'? Semoga di bulan kasih sayang ini kamu semakin bahagia.