Rabu, 20 April 2011

Bacot!

Bacot. Kata-kata yang sering sekali aku ucapkan akhir-akhir ini. Aku bacot? Tentu saja. Tidak dipungkiri olehku bahwa aku juga bacot. Namun aku tak akan bacot jika orang-orang itu tak bacot. Aku benci orang bacot. Ya, aku juga benci diriku. Benci pada diriku sendiri yang tidak dapat menjauhi orang-orang bacot. Atau mungkin tepatnya orang-orang bacot itu mengelilingiku. Bahkan sekeras mungkin aku berusaha, aku tak dapat mengendalikan orang-orang bacot. Bacotan itu selalu keluar, setiap aku berbuat salah maupun benar. Lalu apa sih yang harus kuperbuat wahai orang-orang bacot? Baru kali ini hidupku begitu terkekang dan dikelilingi orang-orang bacot seperti kalian. Mohon mengerti.

Luapan Hati

Seharusnya tak perlu aku berkata seperti ini. Tapi entah mengapa hati ini berteriak keras untuk mengeluarkan rasa ini.

Mengapa terlalu banyak yang mengekang kehidupanku?

Padahal kita, manusia, memiliki drama masing-masing. Manusia sebagai sutradara serta aktor utama dalam drama kehidupan. Mengapa yang hanya menjadi figuran ikut andil banyak dalam dramaku! Kau tak berhak seperti itu! Ini jalanku! Dramaku! Apa hakmu mengaturku sang sutradara?! Oh, kau ingin suaramu dihargai, peranmu dihargai? Hargai dulu aku! Apa? Kau bilang aku egois? Lihat sana di cermin! Terdapat tulisan egois di dahimu! Dan mulai menyebar ke seluruh tubuhmu yang lama kelamaan akan meresap ke jiwamu. Tidak akan aku melirikmu, jika ketika kau benar-benar kuperhatikan kau malah mendelik. Tidak profesional! Aku sulit untuk menyukaimu. Entah mengapa figuran terdahulu begitu mudahnya aku angkat menjadi aktor dan aktris penyokong. Sekarang aku merindukan hal terdahulu, hal yang membuatku selalu riang walaupun ku sempat bersedih. Disini aku hanya memiliki sedikit pemain tapi terlalu banyak figuran yang cuap-cuap saja namun tak berotak.

Sekian.