Kamis, 17 Juli 2014

Cinta Dalam Diam

Kala itu, ia membuka jendelanya, jendela besar yang menghubungkan balkon dengan kamarnya. Dia berdiri di pinggir pagar balkon. Melamun. Matanya sembab. Ku rasa dia menghabiskan malam dengan tangis. Pertengkaran yang terdengar sampai ke kamarku semalam mungkin penyebabnya. Apa yang dipikirkan lelaki brengsek itu sampai tega membuat seorang bidadari menangis hingga matanya bengkak seperti bekas sengatan tawon? Entahlah, tapi sepertinya aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Aku turut membuka jendela kamarku yang tepat berada di sebelahnya. "Pagi," sapaku sambil memegang secangkir kopi dengan asap yang mengepul. Dia menoleh dengan lembut dan membalas sapaku dengan senyumnya. Terlihat lemah dan berusaha menunjukkan bahwa ia tidak apa-apa.

"Mau kopi?" basa-basi kembali aku keluarkan. Kau menggeleng dengan senyummu yang masih menempel di bibir. "Atau cokelat?" tidak habis usahaku untuk terus dapat bercengkerama denganmu. Kau kembali menggeleng, "Tidak perlu repot, Riza." Sekarang giliran aku yang menggeleng, "Tidak repot, toh hanya menuangkan air hangat dan satu bungkus cokelat kemasan ke dalam cangkir. Saya buatkan ya," tanpa menunggu jawabanmu, aku masuk kembali ke kamar menyiapkan cokelat panas untukmu.

Tidak lama, aku kembali keluar menuju balkon. Kau masih tetap berdiri menatap jauh ke depan. Tersadar akan langkah kakiku, kau pun kembali menoleh. "Terima kasih, Riza," jawabanmu ketika aku memberikan secangkir cokelat panas yang aku balas dengan senyum.

"Riza," kau kembali memanggilku. "Maaf ya." Kau menyadari raut wajahku yang menunjukkan tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan dengan kembali melanjutkan omonganmu, "Semalam pasti kamu merasa terganggu."

Akhirnya ceritamu pun mengalir. Aku mendengarkan dalam diam. Ternyata penyebab dari keributan tadi malam adalah kekasihmu, yang brengsek itu, melihat dirimu bersama lelaki lain. Bersantap malam hanya berdua. Dan kau terlihat sangat senang. Pantas saja bila lelakimu marah besar. Apa lagi katamu ini bukan pertama kalinya kau terlihat berdua dengan temanmu itu. Mungkin kalau aku menjadi kekasihmu juga akan berbuat demikian. Tapi tidak akan sampai marah besar seperti dia. Aku tidak akan mungkin sanggup melihat wajahmu bersedih. Mungkin jika aku kekasihmu, aku akan memperingatimu dengan caraku sendiri.

"Saya salah ya, Za?" kamu menengok ke arahku meminta jawaban. Aku mengangguk perlahan. "Haha sudah jelas sekali saya yang salah. Bodoh sekali Dinda ini," tawamu terdengar miris. Mungkin tanda bahwa kau menyesalinya. "Pantas sekali wanita bodoh seperti saya diputuskan oleh lelaki sehebat dia," kau mulai menerawang jauh memikirkan lelaki yang ternyata sudah menjadi mantanmu. "Dan dengan bodohnya saya menceritakan ini padamu, Za. Maaf dan terima kasih sudah mau mendengarkan keluh kesah saya. Kini saya sudah merasa jauh lebih baik," senyummu lebih mengembang dari sebelumnya, tanda kau memang sudah jauh lebih baik. Aku pun tersenyum melihatnya. "Terima kasih juga cokelatnya. Nanti saya kembalikan cangkir kamu setelah saya cuci."

Tok tok tok. Terdengar suara ketukan di pintu. Pintu kamarmu. Kau pun meminta izin untuk menerima tamu dan akhirnya kau masuk kembali ke dalam kamarmu lalu menutup jendelamu. Berakhir sudah bincang pagi ini dengan permata hatiku. Setidaknya aku berhasil membuat Dinda kembali tersenyum. Sudah merupakan suatu kebahagiaan untukku. Baiklah, saatnya menonton televisi.

***

Tok tok tok. Terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Aku terkesiap. Jam berapa ini? Sudah pukul 4 sore. Ternyata aku tertidur akibat bosan menonton berita politik yang isinya menurutku sudah tidak bisa dipercaya lagi mana yang benar dan mana yang salah. Beranjak aku dari kasur menuju wastafel untuk mencuci muka sebelum membuka pintu. Setelah menyeka muka dengan handuk, aku melihat terlebih dahulu siapa yang datang melalui lubang pada pintu. Oh, Adindaku yang cantik. Hmm? Tidak sendiri ternyata.

"Hai Riza, saya ganggu kamu ya?" tentu saja aku menjawab tidak. Tidak mungkin Dinda mengganggu waktuku. Waktuku selalu ada untukmu, Dinda. "Ini, saya ingin mengembalikan cangkir kamu. Terima kasih ya. Cokelatnya enak, saya suka," tentu saja Dinda, cokelat seduh di kamarku hanya aku sajikan untukmu karena aku tahu kau suka cokelat sedangkan aku tidak suka sama sekali. "Oh iya, kenalkan. Ini teman saya," kau mengenalkan aku dengan lelaki bermuka baik di sampingmu. "Saya pergi dulu ya, Za," kau pun melambaikan tangan sebelum akhirnya pergi dari depan pintu kamarku. Setelah beberapa langkah kau pergi, "Riza," kau menengok, "Tunggu sebentar." Kau kembali ke hadapanku, dan lelaki yang bersamamu hanya menunggu dari tempatmu tadi memanggilku.

Kau mendekatkan wajahmu kepadaku. Dan kau berbisik di telingaku, "Terima kasih tadi pagi sudah menjadi pendengar cerita saya. Hingga akhirnya saya sadar bahwa yang saya butuhkan bukanlah lelaki hebat tetapi lelaki yang bisa membuat saya tersenyum. Yang bisa membuat saya bahagia. Terima kasih Riza."

Setelah itu kau melangkah pergi, menghampiri lelaki baik yang menurutmu bisa membuatmu bahagia, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Aku melihat senyummu terkembang dengan lebarnya menatap lelaki itu. Ya, mungkin kau akan bahagia dengannya.

Aku kembali masuk ke dalam kamarku. Meletakkan cangkir yang kau kembalikan ke atas meja kemudian mengisinya dengan bubuk kopi serta air panas. Pahit. Entah rasa kopi yang baru aku buat atau perasaanku yang melihatmu bergandengan tangan dengan lelaki lain. Aku memandang cangkir ini dan membayangkan wajahmu tadi pagi. Manis. Semanis cokelat panas yang ada dalam genggamanmu tadi pagi. Dan aku bisa menimbulkan senyum terbaikmu yang memperlihatkan wajahmu yang semakin manis.

Mungkin aku memang bisu, Dinda. Aku tidak bisa mengatakan dengan lantang bahwa aku mencintaimu dan akan membuatmu bahagia. Siapa pula yang ingin memiliki kekasih bisu. Tapi tak mengapa, Dinda. Aku akan selalu menjadi pendengar setia setiap cerita kegundahanmu hingga akhirnya kau tersenyum kembali. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan walaupun kau tidak menyadari keberadaanku yang bisa membuatmu tersenyum. Yang bisa membuatmu bahagia.

Rabu, 09 Juli 2014

Media Sosial Semakin Menggila

Sepertinya hidup di zaman sekarang kalau ketinggalan menggunakan media sosial terbaru rasanya seperti orang paling ga gaul bagi para pengguna smartphone kalangan menengah ke atas. Dulu, punya Friendster rasanya udah paling hits dengan banyak tulisan warna-warni sana-sini, widgets everywhere, dan berjubel lagu terpajang di dinding profil. Sekarang? Waduh, tinggal pilih mau unduh dan menggunakan media sosial yang mana, semuanya juga boleh asal sudah menyiapkan pikiran yang dingin dan tidak mudah sakit hati. Mengapa demikian?

Saya pernah membahas hal ini dengan salah satu teman karib saya dengan contoh kasus media sosial yang bernama Path. Path menurut saya tidak berbeda jauh dengan Twitter, kita bisa menyebarkan apa pun yang ingin dikatakan sesuka hati, lebih dari 140 karakter. Tidak hanya itu, apa pun yang kita lakukan dan di mana kita melakukannya bisa juga disebarkan dengan media ini, ditambahkan dengan foto dan video jika mau. Lalu apa masalahnya dengan hal ini?

Awalnya memang Path merupakan salah satu media sosial yang menjadi favorit saya karena hanya dapat memiliki teman sebanyak 150 orang, sehingga hanya kerabat dekat saja yang dapat menjadi teman saya. Namun, setelah ada perbaruan, Path menambah kapasitas teman menjadi 500. Jadi sekarang sudah tidak ada alasan "Maaf sudah 150 orang jadi ga bisa nambah lagi" ke orang yang mengundang kita menjadi temannya padahal bersosialisasi di dunia nyata saja sudah tidak pernah. Mungkin kalau saya orangnya tegaan mau berapa pun batas jumlah temannya tidak akan saya setujui menjadi teman, tapi sayangnya saya tidak demikian. Bisa membayangkan tiba-tiba orang yang tidak dekat dengan kita bisa kita ketahui kegiatannya apa saja dan menyebarkan foto wajahnya di media sosial kita? Kalau saya sih merasa cukup sebal melihat yang seperti itu. Kalau saya sudah cukup muak dengan tega saya langsung memutuskan hubungan, hanya di Path saja.

Kalau hal di atas sih sebenarnya bisa tidak menjadi masalah jika kita menjadi orang seperti yang saya sudah bilang juga sebelumnya, TEGA. Idealismenya tinggi sehingga selalu punya pikiran "Untuk apa berteman dengan dia toh di dunia nyata saja ketemu juga ngga." Tapi sebenarnya juga ada tega jenis lain menurut saya dan ini jika dialami dengan orang yang cukup dekat dengan kita.

Pasti pernah dong dalam suatu komunitas tidak semua orang di dalam komunitas itu bisa dekat satu sama lain? Nah terkadang kelompok-kelompok kecil di dalam komunitas itu yang suka tega. Biar gampang dicerna saya berikan langsung contoh kasusnya. Misal, dalam suatu komunitas ada kelompok-kelompok kecil yang lebih dekat satu sama lain, dan misal ada tiga kelompok kecil yaitu A, B, dan C. Si kelompok A ini terdiri dari sepuluh orang (misal lagi) dan jalan bareng ke suatu tempat. Sepuluh orang tersebut menyebarkan mereka ada di mana secara bersamaan. Nambah dong ya di Path si B dan C sepuluh baris baru yang menunjukkan tempat yang sama dan dengan isi orang-orang yang sama. Itu kalau cuma sekadar tempat, kalau ditambah foto yang sama setiap orangnya pernah berpikir tidak apa yang dirasakan si B dan C? Nyebelin. Pasti.

Ya kalau gitu tinggal hapus aja dari list teman. Hei, tidak semuanya semudah itu! Menghapus sepuluh teman karena cukup mengganggu di lini Path pasti akan menjadi buah bibir orang-orang, betul tidak? Betul saja biar cepat.

Tidak semua orang mengerti penggunaan sosial media karena memang tidak pernah diumumkan secara terang-terangan apa saja yang diperbolehkan ada di sosial media tersebut. Jadi, sebenarnya si A juga tidak salah dong kalau menyebarkan hal yang menurut mereka tidak mengganggu kehidupan mereka?

Lalu, siapa yang salah?

Di era media sosial yang semakin menggila ini akan lebih baik menurut saya setiap penggunanya untuk wawas diri. Mengapa? Karena tidak semua orang merasakan hal yang sama. Maksudnya, mungkin menurut kalian kalimat atau pun foto yang kalian sebarkan tidak bermaksud menyakiti siapa pun. Tetapi ada beberapa pihak yang hatinya rapuh menganggap hal tersebut terlalu berlebihan sehingga membuat mereka sakit hati.

Ayolah coba dipkirkan perasaan orang lain sebelum menyebarluaskannya. Sudah pernah sakit hati kan karena ditinggal gebetan? Kurang lebih rasanya sama #eh

Introspeksi terlebih dahulu, apakah hal tersebut baik untuk orang lain? Apakah hal tersebut pantas dibaca orang lain? Jika memang sudah, terserah kalian ingin menyebarkan atau tidak. Karena tidak semua hal harus disebarkan, toh? Sebagian hal juga ada baiknya disimpan sendiri.

Tidak untuk menghujat, hanya sekadar berbagi :)

Kamis, 03 Juli 2014

Surat Cinta di Bulan Juli

Juli. Ini bulanmu kan? Aku ingat, tentu saja. Bagaimana bisa lupa apa pun tentangmu.

Maaf, seharusnya aku sudah harus memulai untuk menghapuskan rasa ini. Tapi setiap kali aku ingin memulai untuk melupakan entah mengapa rasanya semesta bersekongkol untuk membuat aku sakit lebih lama dengan terus menyimpan rasa yang tak akan pernah kau balas karena kau pun sudah berhasil mendapatkan incaran hatimu.

Aku hanya ingin berterima kasih kepadamu atas apa yang telah kau berikan untukku. Mungkin kau berkata aku berlebihan, tapi ini memang apa yang aku rasakan, tidakkah kau merasa aku sedikit bergantung padamu?

Terlalu banyak yang sesungguhnya ingin aku katakan padamu. Namun bibirku tak mampu berucap, jemariku pun tak mampu menari di atas tuts lebih lama karena aku rasa hanya akan memberikan jarak antara aku dan kamu.

Terkadang aku masih berharap pada Tuhan, ini hanya sekadar ujian untukku apakah aku siap menunggumu dan memperbaiki diri sehingga kau sudah cukup pantas bersanding denganku. Tapi di lain sisi aku merasa aku hina, tetap bermain api di dalam hubungan orang lain. Dan aku pun tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, apakah pilihanku untuk menanti akan berbuah manis? Jika hanya sakit yang ku dapatkan, buat apa aku membuang waktu.

Dilema. Hanya itu kata yang tepat untuk mewakili perasaanku, walaupun aku tahu kamu juga tak peduli apa yang ku rasa. Sesungguhnya aku hanya ingin tahu apa pendapatmu tentangku. Itu saja cukup. Mungkin setelah aku mendapatkan jawabannya aku akan menyerah dengan perasaan ini dan pergi meninggalkan kisah yang menorehkan kita. Kita? Bahkan aku sudah kelewatan menganggap aku dan kamu sudah menjadi kita.

Terlalu banyak mungkin di dalam kisah ini. Secepatnya aku harus meninggalkan kisah ini dengan hanya menjadi aku atau kita. Sehingga tiada lagi kemungkinan yang mengusik pikiran dan menyebabkan sakit berkepanjangan.

Kau tahu, tidak semua wanita sekuat aku. Maka dari itu, jangan sampai kau membuat aku-aku yang lain yang tidak sekuat aku dan akan menghancurkan kisahmu dengannya. Hanya itu pesanku.