Sabtu, 27 Agustus 2022

Semesta Sebercanda Itu

hai, tuhan.
maaf jika aku terkesan lancang. karena sepertinya aku sudah mulai putus asa dengan apa yang semesta lakukan padaku. dan hal ini tidak hanya terjadi sekali. tapi hari ini yang sangat sukar dipercaya dapat terjadi.

engkau tau bagaimana sulitnya aku untuk tidak mencari tau kabarnya. sampai akhirnya aku berjanji padamu, dengan segala rayuanku, demi mendapatkan yang jauh lebih baik darinya. jempolku akhirnya urung mencari akunnya di media sosial. karena aku sudah berikrar padamu.

tanpa banyak berpikir, kujalani saja hari ini. menyingkirkan rasa rindu yang kurasa tak perlu dirasa lagi. agar tak banyak melamun, kupilih moda transportasi yang membuatku cepat sampai tujuan, walau harus menguras kocekku.

tau apa yang terjadi? di perjalanan itu, aku mendengar suaranya. nyata. bukan rekaman. asli keluar dari mulutnya. memanggil namaku. kencang. dan lantang. dua suku kata namaku disebut, tapi yang terdengar seolah-olah "aku ada di sini baik-baik saja loh, tidak perlu kau cari".

kau tau apa yang kulakukan, tuhan? bahkan alisku tidak berkedut sedikitpun. mataku berkedip selayaknya interval biasanya. aku benar-benar biasa saja. tapi dalam hatiku muncul pertanyaan besar, "apa sebenarnya yang harus aku rasakan terhadap kejadian tadi, tuhan? kenapa aku tidak tau harus berperasaan seperti apa?"

harusnya aku senang bisa melihatnya secara nyata. tapi hati kecilku berkata, jika ia bisa memanggil selantang itu, mengapa tidak mengajak berjumpa saja? mestinya ada sedikit rasa kaget. tapi tidak juga, karena kejadian yang secepat cahaya itu hingga aku tidak bisa membantu proses dalam otakku lebih cepat. telanjur berpikir "apa itu tadi? aku harus bereaksi seperti apa?". mestinya marah, karena bisa-bisanya ia memanggil namaku selantang itu sebelum ia minta maaf di depan mataku. tapi apa yang kuharapkan dari pertemuan sekedipan mata itu? bahkan tidak memungkinkan untuk membalas sapaannya. ataukah harus merasa sedih karena pertemuan sekejap saja? tapi mestinya bisa diatur kapanpun pertemuan itu bila ia sudah merasa siap.

sebingung itu diriku hanya untuk memilih apa yang harus kurasakan terhadap kejadian sepersekian detik itu. dan pertanyaan ini kutujukan padamu, tuhan, bukan padanya. apa sebenarnya yang kau rencanakan di balik ini, wahai tuhan? sampai berapa lama lagi aku harus membatasi rasa ini? atau sampai kapan aku harus membiasakan diri menjadi diriku sendiri tanpa pedulikan siapapun.

kumohon tuhan, berikanlah aku jawaban. kamu paling tau apa yang aku inginkan. jika memang ingin bermain-main dengan semesta, kumohon dengan sangat jangan dibuat lebih lama. segera tunjukkan jawaban terbaik dari segala pertanyaan. sebab aku belum tentu sanggup bila semesta tiba-tiba bisa sebercanda itu.

Selasa, 09 Agustus 2022

Royal Enfield

Dulu, setiap aku lihat Royal Enfield,
"Kapan ya aku bisa dibonceng orang naik itu?" dengan mata berbinar penuh harap.


Sekarang, setiap aku lihat Royal Enfield, yang kuingat percakapan kita;

aku: Kamu mau ga punya itu? (tanganku menunjuk Royal Enfield yang mendahului kita)

kamu: Ngga. Ngapain. Banyak yang punya. Lagian sayang, mending uangnya buat beli mobil second, sama beli motor 2, yang kaya gini (merujuk ke motor tuamu), dan yang buat dipakai sehari-hari. 'Kan keren ga ada yang nyamain kalau naik motor kaya gini.


Aku hanya bisa tersenyum mendengar jawaban kamu, kala itu.


Sekarang, aku tersenyum mengingat kenangan itu. Dan masih penuh tanya apakah ada kesempatan bagi kita kembali berbincang, tidak hanya untuk merajut kenangan, tetapi menjalin kembali apa yang pernah usai.