Selasa, 22 September 2020

Nothing is Real

"Yes... Nothing is real," sesenggukan mulai terdengar. Air mata mulai mengalir di pipi Arin. Genggaman tangannya semakin keras, meremas tanganku.

"Aku bodoh ya, Fan. Harusnya aku nonton konser ini sama dia. Dia sudah janji mau nonton konser Teddy Adhitya sama aku. Tapi lihat sekarang, di hari ulang tahunku ini dia bilang ga bisa nemenin karena perasaannya bersambut dengan Rima. Dia bahkan lupa dengan ulang tahunku. Dan aku ditinggalkan begitu saja," Arin menatapku. Wajahnya tersenyum, namun penuh air mata. Tangan kananku mencoba menghapusnya dengan ujung pergelangan jaket biru dongker yang aku kenakan. Berdiri di tengah ramainya penonton konser ini sepertinya bukan hal yang tepat untuk Arin. 

"Kita ke pinggir dulu yuk, Rin." Tanpa menunggu persetujuan Arin, aku membawanya menuju meja dan kursi dengan payung besar berwarna jingga, dengan Arin masih menggenggam tanganku. "Duduk dulu ya, aku beli hot choco dulu buat kamu."

Sementara menunggu pramusaji menyiapkan satu cokelat panas untuk Arin dan kapucino untukku, mataku tak lepas memperhatikan Arin. Ia hanya duduk menunduk, dengan tatapan kosong. Ardi sialan! Kenapa sih bisa-bisanya jadian pas Arin ulang tahun. Sengaja? Padahal Arin sudah mulai membuka hatinya loh. Hal yang sulit untuk Arin lakukan kepada para lelaki yang mendekatinya. Untung saja hari ini aku tidak ada janji dengan siapapun, jadi bisa menemani Arin. Tidak, bukan tidak ada janji. Setiap tahun pasti aku akan mengosongkan jadwal di tanggal ulang tahun Arin, dengan atau tanpa Arin ingin merayakan ulang tahunnya.

Tahun-tahun sebelumnya, pasti ada saja pesan singkat atau telepon dari Arin seperti, "Fan sini ke rumah, Bunda masak banyak banget nih!" atau "Fan temenin makan barbecue yuk, tenang saja aku yang traktir," dengan nada yang tidak bisa ditolak. Atau lebih tepatnya tidak akan pernah kutolak dengan nada bicara apapun. Seperti hari ini, "Fan jemput ya, temenin aku ke konser," dengan suara hampir menangis.

"Ini Mas pesanannya," aku berbalik menghadap pramusaji sambil mengucapkan terima kasih padanya sembari mengambil kedua gelas kertas berisi cokelat panas dan kapucino. Aku kembali menghampiri Arin yang masih tetap diam menunduk.

"Minum dulu. Pelan-pelan ya, masih panas." Kuletakkan gelas kertas berisi cokelat panas di depan Arin sambil aku duduk di sebelahnya.

"Makasih, Fan." Arin meraih gelasnya. Digenggam dengan kedua tangannya. Tidak kunjung diminum, hanya ditatap. 

"Makasih ya, Fan."

"Lagi? Sekali lagi kamu bilang makasih bisa dapat piring loh."

"Iya. Makasih banyak. Kamu selalu bisa nemenin aku."

"Kebetulan aja aku juga lagi senggang, siapa yang ga mau nonton konser gratis." Bohong sekali kamu wahai Ifan Pranata! 

"Yakin cuma lagi senggang? Kamu bukan sengaja mengosongkan hari kamu setiap aku ulang tahun?" kini Arin menatapku. Refleks, aku buang muka. Wajahku panas. Untung saja gelap, Arin tidak perlu melihat pipi merahku.

"Kamu selalu baik sama aku, Fan. Selama sepuluh tahun ini kamu hampir selalu ada di setiap ceritaku. Kenapa ya Fan aku masih cari laki-laki lain?"

Arin kenapa sih malam ini. Haruskah aku jawab sejujurnya setiap pertanyaannya? Atau ia hanya melantur asal karena banyak pikiran gara-gara Ardi? Argh! Aku harus ngomong apa...

"Ini," kusodorkan kotak berwarna merah. "Selamat ulang tahun, ya. Welcome to a quarter life of crisis. But, I wish you can pass the whole year with all your might. And you always know that I'll be there for you."

"You'll be there for me? For real? Forever?"

"Should I say yes?" haruskah sekarang kukatakan semuanya? 

"Terserah kamu. Ngapain sih kamu repot-repot ngasih aku kado. Ini?! Ya ampun Fan ini kan mahal," dibukanya kotak bludru merah yang kusodorkan. Di dalamnya terdapat kalung perak dengan liontin berbentuk hati bersemat satu berlian di tengahnya. Diambilnya dan dipandanginya kalung tersebut.

"Fan, kamu..."

"Apa?"

"Ngga kan?"

"Apa sih?"

"Fan, maaf..."

"Kamu kenapa sih, Rin?"

"Maaf, saat ini perasaanku berantakan. Masih terlalu sakit karena Ardi. Aku ga bisa nerima ini." Dikembalikannya kalung itu kepadaku.

"Rin, did I ask you something? Aku ga bilang apa-apa. Aku cuma mau ngasih kamu kado ulang tahun."

"Tapi ini..."

"Oke, aku pikir kita sudah cukup dewasa, ga perlu lagi pura-pura ga ngerti dengan topik ini. Kamu sudah menyadari hal ini, dan aku ga akan menghindar. Kalau kamu mengharapkan jawaban, aku cuma bisa bilang 'ya, benar'. Tapi aku ga menuntut apa-apa dari kamu. I will just be there for you. Forever."

"Tapi kenapa?"

"Tanpa alasan."

Tidak kusangka, yang terjadi selanjutnya di luar dugaanku. Arin menangis sesenggukan, menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Orang-orang sekitar mulai memandangi kami berdua. 

"Eh, Rin kok jadi nangis lagi. Sudah ya, kita dilihatin orang-orang nih," kupeluk Arin dalam dekapanku. Semakin deras tangisnya. Ternyata panik juga ya menangani seorang wanita yang sedang menangis.

"Kamu kenapa baik banget..." di tengah tangisnya Arin berusaha berbicara.

"Kenapa aku ga sadar..."

"Kenapa kamu mau nemenin aku terus..."

"Kenapa aku malah mikirin Ardi yang brengsek itu..."

Aku hanya bisa memeluknya semakin kuat. Mengusap-usap belakang kepalanya, dan terkadang menepuk belakang pundaknya perlahan atau mengelus punggungnya agar segera tenang. Semakin tidak bisa aku meninggalkan anak ini... 

Tidak terasa setengah jam berlalu. Akhirnya Arin sudah lebih tenang dan kusuruh minum cokelat panasnya yang sudah tidak lagi panas. 
Kami berdua diam beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing. Apalagi setelah ini? 

Minuman kami habis. Dan kami tetap masih diam satu sama lain. "Fan, pulang yuk," akhirnya Arin bersuara. Aku hanya mengangguk. 

"Kado aku tadi mana?"

"Hah?"

"Iya, pasangin," Arin membelakangiku sambil menyibakkan rambutnya ke depan, memperlihatkan belakang lehernya untuk memudahkan aku memasang kalungnya. 

"Fan, is this for real?" Arin bertanya ketika kupasangkan kalungnya.

"Yes, if you wanna hear the answer."

"Kamu ga menyesal?"

"For ten years and still counting? How about you?"

"I'm blessed to have you."

"So, don't ask me anything else, Rin."

"Hehehehe, baiklah. Yuk pulang saja. Kita streaming nonton film di rumah aku saja sambil makan popcorn buatan Bunda." Arin menggenggam tanganku kembali. Bukan genggaman kuat penuh emosi, tapi genggaman lembut penuh kasih.

"Rin..."

"Apa?"

"Nothing is real if you just fantasize it. It's getting real when we have strength to choose what we want to achieve. Like us, right now."

"Us? Pede kamu ya."

"Loh, bukannya..." aku menghentikan jalanku. Arin ikut berhenti.

"Hahahahahahahaha, mukamu lucu banget sih Fan!"

"Kok kamu malah ketawa sih... kan aku malu kalau aku sudah kepedean ternyata kamu biasa saja..."

"Hahahaha, iya iya iya. For ten years and still counting ya."

Rabu, 16 September 2020

Life is Like a Dream

 

Life is like a dream, ketika bangun tidur sangat pagi di hari libur dan lihat notifikasi ada chat seperti di atas, dibalas kemudian lanjut tidur lagi. Sesungguhnya chat tersebut sudah diduga akan muncul, tetapi tidak banyak berharap daripada hanya akan membuat percikan api yang menjadi ledakan emosi. Sedang mencari formula yang tepat untuk memperbaiki yang membuat tidak nyaman beberapa tahun terakhir. Semoga saja proses ini berujung baik. Ada 'aamiin'?

Jumat, 11 September 2020

Tertumben


Baru lima hari setelah pertemuan hari itu. Tertumben. Mau dipajang di sini sebagai pengingat.