Minggu, 03 Mei 2020

Karena yang Pergi Dapat Kembali

"Ra..."

"Eh, hai Ren. Apa kabar?" hampir copot jantungku mendengar suara yang benar-benar aku rindukan. Rendy. Iya, ada Rendy di depan mataku. Dan ia yang lebih dulu memanggil namaku.

"Good. Lo?"

"Baik. Sama siapa ke sini?"

"Itu..." jari Rendy menunjuk ke arah sekerumun ibu-ibu yang sedang sibuk memilih buah jeruk untuk ditimbang. Ada seorang yang terlihat seumuran denganku. Perutnya terlihat tengah mengandung. Oh... kataku dalam hati. Belum pernah aku bertemu istrinya. Sepertinya Rendy juga tidak ada niat untuk mengenalkan aku padanya.

"Lo sendiri?" Rendy bertanya kembali padaku.

"Gitu deh," jawabku singkat diselingi tawa kecil, basa-basi. Sudah tak mampu lagi rasanya berbasa-basi dengan Rendy. Ingin segera menyudahi obrolan tak disengaja ini.

"Eh, gue duluan ya, Ra. Sudah dipanggil tuh sama nyonya. I'm so glad to meet you again, Ra," Rendy berlalu setelah melambaikan tangannya cepat. But i'm not, Ren. Luka lama terasa lagi perihnya. Aku kira lima tahun sudah cukup menuntaskan rasa ini. Nyatanya... nihil.

Tanpa ku sadari, ada yang memperhatikan kami berdua tadi. Setelah Rendy pergi, barulah ia menghampiriku. "Sudah?" tanyanya padaku.

"Iya, sudah. Yuk pulang," rasanya tidak ingin berlama-lama lagi di sana. Nanti sajalah jika masih ada belanjaan yang kurang, cari di pasar dekat rumah saja.

Tanpa banyak tanya, kami berdua menuju kasir, lalu menuju parkiran. Setelah menata barang belanjaan di bagasi, masuklah kami ke dalam mobil, bersiap untuk pulang. Tidak satu pun dari kami bersuara dari terakhir obrolan sebelum pulang di supermarket tadi.

"Siapa Ra?" Alex akhirnya memecah keheningan. Sambil dihidupkannya radio mobil agar suasana tak begitu canggung di antara kami.

"Mantan?" tanya Alex lagi.

"Iya, mantan."

"Mantan kamu yang mana? Sepertinya ada yang berbeda dengan yang ini," nada suara Alex yang datar selalu bisa membuat obrolan sensitif (bagiku) ini terdengar biasa saja. Alex sudah hapal dengan sikapku, jika bertemu mantan kekasih aku tidak akan sediam ini. Pasti biasa saja, seperti bertemu teman biasa.

"Mantan sahabat."

"Wanna tell me?"

"Long story short, dia sahabat aku pas kuliah. Sudah seperti sepaket kami berdua. Berujung aku terlanjur sayang sama dia. Tapi dia tidak pernah menganggapku lebih. Sampai akhirnya dia jadian dengan salah satu temanku. Entah kenapa saat itu rasanya hatiku tidak puas dengan kenyataan dan berusaha untuk mengatakan kepadanya tanpa maksud apa pun. Hanya menyatakan, agar hatiku lega. Tapi akhirnya malah dia yang menyudahi semuanya. Dia tak boleh lagi pergi bersamaku dalam konteks apa pun oleh pacarnya."

Masih teringat jelas kalimat yang Rendy kirimkan melalui chat pribadinya: terima kasih untuk segalanya. Kalimat umum yang diucapkan seseorang untuk putus dengan pacarnya. Sepotong kalimat itu saja membuat pikiranku ke mana-mana. Segalanya, katanya. Yang berarti ia juga merasakan hal yang sama. Jika tidak, buat apa ia sampaikan demikian, di samping memang disuruh pacarnya. Tapi hal yang paling menyebalkan bukan itu.

Setelah banyak malam ku lewati dengan tangis karena sudah tiada hari lagi bisa ku habiskan dengannya, dan sengaja ke kampus tidak berselisihan dengan Rendy, hari itu mau tidak mau aku tidak bisa menghindari Rendy. Posisinya makanan yang aku pesan di kantin baru datang ke meja yang bisa diduduki delapan orang, di mana di meja itu sudah terisi enam orang, aku dan teman-temanku yang lain, yang baru saja selesai kelas bersama. Sayangnya tempat yang kosong hanya ada di sebelahku, di mana aku duduk paling ujung, dan satu lagi di ujung satunya dari bangku depanku. Kalau orang biasa pasti akan memilih mengisi bagian ujung yang kosong karena lebih mudah untuk mendudukinya. Tapi ini Rendy. Di mana ia memilih tempat di sebelahku untuk diduduki.

Tanpa merasa aneh, ia sapa semua teman yang duduk di meja itu sambil bercanda bersama. Kecuali aku. Tapi apa yang ia lakukan? Duduknya sengaja menempel denganku. Hal yang biasa kami lakukan dulu, atau tepatnya dia, jika aku sedang marah dengannya. Dia akan menempeliku tanpa kata. Sampai aku terbiasa dengan kehadirannya dan akhirnya aku lupa jika sedang marah dengannya. Berujung kami akan kembali baik-baik saja dan melupakan masalah yang membuatku marah padanya.

Gelagatnya sungguh menyiksaku. Beberapa kali melirikku, berharap pertahananku runtuh agar bisa kembali mengobrol bersama. Sebisa mungkin aku bertahan. Ikut asyik mengobrol dengan yang lain tapi tetap tidak mengacuhkannya adalah hal tersulit untuk dilakukan. Namun aku merasa harus bisa melewati ini agar terbiasa untuk jauh darinya. Hasilnya, aku berhasil tidak mengobrol dengannya dan bergegas meninggalkan meja itu duluan ketika makananku sudah habis. 

Sikap Rendy tidak berhenti di situ. Dia terus mengulang hal yang sama jika ada kesempatan. Mengapa ia harus melakukan ini, pikirku.

Akhirnya sampai pada hari kelulusan. Wisuda dimulai dengan arak-arakan, ditutup dengan acara bersama di balairung. Aku dan teman-temanku saling memberikan ucapan selamat satu sama lain, tapi tidak ku hiraukan Rendy dan pacarnya. Selesai juga drama ini, kataku dalam hati. Namun ternyata di acara lain setelah kelulusanku, nikahan atau buka bersama, ia masih berusaha melakukan hal yang sama. Untuk apa? Tidakkah cukup ia sudah mematahkan hatiku? Mengapa berusaha untuk menjalin hubungan lagi denganku? Semua usahanya tidak ada yang ku sambut. Karena aku tahu rasa sayangku untuknya seperti apa. Aku tidak mau memberi harapan pada egoku sendiri, sebab tidak mungkin kita akan menyatu. Buktinya setelah putus dengan temanku, ia sudah menjalin hubungan dengan teman kantornya. Tiada itikad untuk berbaikan denganku di kala "kekosongannya".

"Jadi tadi kali pertama kalian mengobrol kembali?" tanya Alex menanggapi cerita singkatku.

"Lex, maaf..." entah mengapa kata itu yang keluar dari mulutku.

"Untuk apa? Karena kamu masih tidak bisa menyembunyikan rasa sayangmu? Lalu memangnya kamu sekarang bisa apa?" Alex berbicara tanpa menatapku. Nadanya tetap tenang sambil berkemudi.

Aku hanya diam. Menunduk. Menatapi tanganku. Merasa bersalah karena rasa ini masih ada.

"Aku tahu kamu, Ra. Dia sudah beristri. Bahkan sebentar lagi menjadi seorang ayah. Kamu bukan orang yang akan mengambil masalah. Kamu tahu diri dengan posisimu. Sekarang tugasnya di aku."

Tugas? Tugas apa untuk Alex? Aku memandangnya penuh tanda tanya.

Alex menengokkan kepalanya ke arahku sebentar, kemudian tersenyum, "Iya tugasku untuk membuat kamu lebih menyayangiku agar sayangmu padanya tertimbun dengan sayangmu padaku."

Tersadar dengan ucapan Alex, spontan aku tertawa. "Makasih ya, Lex. Makasih banget kamu selalu bisa ngertiin aku. Bahkan ga marah di saat seperti ini. Aku bakal memenuhi hati aku dengan kamu," ku balas gombalan Alex dengan hati yang lega.

Tidak terasa akhirnya perjalanan kami sampai ke rumahku. Obrolan berat di awal disulap Alex menjadi obrolan lain yang bisa membuatku lebih ceria, dan melupakan patah hatiku yang mestinya sudah kedaluwarsa itu.

Aku dan Alex turun dari mobil. Kemudian memindahkan barang belanjaan dari bagasi ke dapur mamaku. Alex ku suruh melepas lelah di ruang tamu sembari menunggu aku selesai membuatkannya es teh manis. Ku letakkan handphone yang ku ambil dari dashboard mobil Alex di atas pantri dapurku. Tak lama ada getaran dari handphone-ku dan muncul satu notifikasi:
Rendy Laksana started following you.

1 komentar: