Senin, 19 April 2021

Diskusi Tak Berujung

"Mengapa kita tidak bisa menyatu?" tanya seorang wanita yang sedang duduk di sofa dengan melipat kedua kakinya sambil matanya menuju ke kuku-kukunya yang sedang ia mainkan.

Kutatap ia sambil tersenyum samar, walaupun ia tak melihatnya, "Bukan tidak. Tapi belum?"

"Lalu, kapan?" kembali ia bertanya. Masih tidak menatapku. 

Aku hampiri ia. Berlutut di depan sofanya. Kutarik kedua tangannya ke dalam genggamanku, hingga akhirnya kami bertatapan. "Kamu mau kita menikah sekarang?"

"Emm... Belum sih."

"Kenapa?"

"Entahlah," ia menarik tangannya, mulai membuang pandangannya ke arah lain. Menarik diri.

"Aku juga masih ragu, Sha. Aku ga mau membawa kamu ke dalam keraguan ini lebih jauh. Aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama. Kita sedang berusaha meyakinkan dan memantaskan diri masing-masing. Seperti yang kamu lihat sekarang. Tempat ini salah satu usahaku untuk memahami kamu." Tanganku terentang, menandakan rumah kecil yang aku tempati belum sebulan ini.

Rumah kecil yang memiliki taman kecil di belakang untuk ruang jemur, dan garasi yang bisa memuat satu mobil. Biar tidak mengganggu tetangga kalau parkir, katamu kala itu, ketika kamu menceritakan bagaimana gambaran rumah yang kamu inginkan. "Pokoknya aku mau punya tempat tinggal sendiri. Lelah tinggal dengan orang lain, sibuk mengurusi orang yang sebenarnya kebutuhannya bisa dipenuhi oleh dirinya sendiri," ceritamu dengan menggebu-gebu beberapa bulan lalu. Tidak lama setelah kamu bercerita, ternyata ada omku ingin menjual rumahnya yang sudah lama tidak ditinggali. Tidak terlalu besar. Ada 2 kamar, 1 kamar mandi, ada ruang tengah menyatu dengan ruang tamu, dapur semi-outdoor yang menyatu dengan halaman kecil di belakang tempat untuk menjemur pakaian, dan garasi. Akhirnya tanpa banyak berpikir aku menawarkan diri untuk membelinya. Namun, rumahnya cukup jauh dari tempat tinggal kita sedari kecil. Apalagi tempat kamu kerja. Ini juga yang sedang menjadi pikiranku bagaimana bisa bertahan hidup bila kita kelak tinggal di sini. 

"Sabar ya, maaf rumahnya masih nyicil," tanganku mengacak-acak rambutnya pelan-pelan. 

"Kamu sayang sama aku?" tanyanya sambil menyenderkan kepalanya di bahuku. 

"Aku akan selalu ada di samping kamu kok."

"Kenapa kamu selalu ga pernah jawab kalau aku tanya kamu sayang atau ngga sama aku? Aku cuma butuh kamu menjawab iya atau tidak. Kamu ga mau kita terikat lebih dari ini?"

... 

Diam. Banyak narasi dalam kepalaku. Tak terucap. Tidak yakin harus menjawab apa. 

"Aku anggap sebagai ngga, ya."

"Sha-..."

"Aku harus sabar sampai kapan?"

Hening. Aku masih tidak berkata-kata. Aku juga tidak tahu jawabannya.

"Ini sudah tahun ke berapa? Kita juga sudah sama-sama dewasa. Aku tahu dalam pikiranmu aku bisa mengerti akan keadaan kita. Paham. Sangat mengerti. Tapi bukan cuma kamu yang mau dipahami. Aku juga. Dan satu hal yang harus kamu pahami untuk mencapai hubungan yang ada dalam kepala kita masing-masing kita membutuhkan komunikasi yang baik. Bukan sekadar ajakan bertemu yang tidak menentu kapan waktunya, dan tiap bertemu seperti tidak ada masalah. Ini masalah. Menganggap ini bukan sebuah masalah adalah masalah buatku. Kita bermasalah."

Aku bergeming. Dia tidak salah sama sekali. 

"Lalu kita harus bagaimana? Pacaran juga tidak menuntaskan masalah bagimu," tanyaku.

"Bagaimana bisa tuntas bila aku dipenuhi rasa khawatir setiap hari hanya karena menunggu kabar darimu. Kenapa kamu harus melakukan semua ini kalau kamu saja tidak paham dengan perasaan kamu sendiri!" Kamu berdiri.

"Mau ke mana?" tanyaku. 

Dia mulai diam. Mukanya merah. Matanya berkaca-kaca. Marah. Dia marah. 

"Pulang?"

Dia mengangguk. 

"Tunggu, aku ambil jaket dulu." Aku menuju kamarku, mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu, mengambil kunci motor, dan dua helm.

Dia sudah menunggu di depan garasi. Kuberikan helmnya, kubantu mengenakannya. Setelah mengunci pintu rumah dan garasi, aku hidupkan mesin motor. Dia duduk di belakangku, menaruh tasnya di antara kami. Tangannya tidak akan berpegangan di pinggangku bila sudah begini. Dia lipat tangannya di depan dada. Ya, dia marah.

Di perjalanan, aku lihat raut mukanya dari kaca spion. Masih sama kakunya. Masih marah.

"Sha?"

Tak ada jawaban.

Aku tahu ini salah sudah mengikutkan ia dalam keraguan jalan hidupku. Tapi aku belum bisa menjanjikan apapun. Aku takut ia terluka. Atau malah sudah. Entahlah aku tidak paham. Aku hanya ingin ia ada dalam perjalanan hidupku, dan aku akan selalu ada menemaninya jika ia membutuhkanku. Ingin mengajak ke dalam hubungan yang lebih serius, aku belum mampu. Aku tahu diri. Pekerjaanku hanya serabutan. Aku ambil rumah juga karena omku memperbolehkan aku membayarnya dengan dicicil semampuku. Aku ingin merasa stabil dahulu barulah aku berani menyatu denganmu. Namun, kembali lagi pasti kamu akan bertanya sampai kapan kamu harus menunggu. 

Lantas, mengapa kamu masih tetap berada di sampingku walau sudah bertahun-tahun seperti ini?