Kamis, 16 April 2020

Alasan Jatuh Cinta

Pernahkah kalian menyukai seseorang karena pemikirannya? Sungguh aku bingung, sebab aku pernah mengalaminya. Atau bisa dibilang sedang mengalaminya. Biarkan aku bercerita, silakan kalian tetap tinggal atau pergi begitu saja tak usah tinggalkan jejak.

Selama ini, lebih tepatnya sekitar dua tahun terakhir, aku merasa menjadi orang yang selalu memikirkan segalanya menjadi positif. Bukannya aku sombong karena memuji diri sendiri (jika ini juga dapat disebut pujian), melainkan karena sesungguhnya aku terlalu sensitif dengan omongan orang. Maka aku membutuhkan afirmasi positif untuk mengenyahkan segala kenegatifan isi kepalaku.

Sampai pada akhirnya ada kala aku merasa tak sanggup lagi dengan pikiran negatifku, hingga aku butuh pelarian. Aku butuh wadah untuk menumpahkan ini semua. Lalu, ku pilihlah dia.

Alasan aku memilihnya hanya satu, dia pernah menjadi penawar racun di masa kelamku. Dia yang menemaniku keluar dari ruang gelap yang tak mampu diraih siapapun. Hingga akhirnya sekarang aku bisa berada di sini, di antara para manusia yang dahulu tak ingin aku temui satupun.

Awalnya sempat ragu, karena beberapa sebab yang membuatku enggan menghubunginya. Namun, entah hati ini begitu kuat memanggil namanya. Seperti memaksa otak untuk memerintahkan kedua jempol mengetikkan sapaan di kolom chat-nya. Dan akhirnya terkirimlah dua kalimat, "Lagi sibuk? Mau ngobrol."

Tidak seperti biasanya, ia langsung membalas. Wahai semesta, ingin rasanya aku mengumpat. Mengapa di setiap momen ini ia siap sedia. Mungkin harapan juga telah terselip dalam hati, hingga rasanya aku kesal setengah mati. Ya sudahlah, toh bagus ia jawab. Sebab aku pun butuh "wadah".

Setelah menanyakan aku di mana, ia langsung meneleponku. Dasar, tidak ada basa-basinya. Selalu membuat si introvert yang cinta menulis ini harus mengerahkan seluruh tenaga untuk mengungkapkan segalanya dengan lisan. Untung saja kegelisahanku ini terlampau besar, hingga menjadi tenaga yang bisa ku keluarkan membabi buta. Akhirnya tumpahlah semua kegusaranku.

Sungguhlah, aku mulai kesal dengan semesta. Di saat aku sudah melontarkan segalanya, ternyata ia juga di posisi yang sama denganku. Sedang mengalami kegelisahan yang sama. Iya, sedang. Bukan past tense atau future tense. Dialami saat ini juga. YA TUHAN! MENGAPA SEMESTA BERSEKONGKOL DI HIDUPKU DAN HIDUPNYA...

Kembali lagi ke pernyataanku di awal, bahwa aku dapat memikirkan segalanya menjadi positif. Tapi tidak saat itu. Dialah yang menjadi aku. Mengolah segala keluhanku menjadi terlihat lebih indah. Sisi kelam ini juga ada indahnya loh. Kira-kira seperti itu. Mungkin aku tidak dapat menjabarkannya secara detail di sini, hanya penggambarannya kira-kira seperti tiba-tiba aku melihat cahaya masuk ke tempat aku terkurung yang adalah dia sedang berusaha membuat lubang untuk mengeluarkanku dari sana. Diajaknya aku melihat dunia dari perspektif lainnya agar aku dapat mengembangkan masalahku menjadi hal yang patut aku syukuri.

Aku hanya bisa terdiam. Tidak pernah rasanya aku memikirkan kalimat-kalimat yang ia katakan akan keluar langsung dari bibirnya. Apa yang dilakukan waktu hingga membuat ia dapat berpikir demikian? Mengapa sekejap aku dibuat takjub dengan pemikirannya? Sejak kapan ia menjadi dewasa seperti itu?

Hmm... Gawat. Jangan bilang aku mulai jatuh... Hati. Dengan pemikirannya yang sudah cukup dewasa. Membuatku berpikir ia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Apakah ini sudah cukup menjadi alasanku untuk jatuh cinta dengannya?

Kalau kalian, kapan kalian merasa "ini" adalah alasan kalian jatuh cinta? Dan bagaimana prosesnya? Atau jika kalian tak berkenan untuk berbagi beri tahu saja tanggapanmu tentang alasanku ini, apakah aku terlampau bodoh dengan begitu mudahnya terpesona hanya dengan pemikirannya saja atau ikuti saja kata hatiku agar dapat tertambat di hatinya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar