Senin, 09 Februari 2015

Tulus (1)

"Aku tahu kamu tulus sayang sama aku. Semuanya terlihat dari mata kamu. Tapi maaf aku ga bisa meneruskan hubungan kita."

Kalimat itu yang sering terngiang di dalam pikiran Ari. Kejadian empat tahun yang lalu masih terlalu membekas di ingatannya. Rani memutuskan hubungannya tiba-tiba tanpa menjelaskan apa pun.

Hubungan Ari dan Rani awalnya tidak lebih dari teman satu kampus yang menggeluti klub yang sama. Klub kesenian, klub yang memiliki tempat berkumpul di salah satu ruangan terbesar di kampus mereka karena selalu memiliki anggota terbanyak dengan beberapa cabang kesenian yang dapat diikuti mahasiswanya, di antaranya musik dan lukis. Ari bergabung di cabang musik, sedangkan Rani di cabang lukis.

Keduanya memang tidak saling kenal satu sama lain. Tapi, suatu hari jadwal klub mereka bentrok antara musik dan lukis. Ruangan klub mereka tidak mampu menampung keduanya, bukan karena kapasitas ruangan yang tidak mencukupi tetapi karena akan saling mengganggu konsentrasi satu sama lain. Namun pada akhirnya kedua cabang tidak memakai ruangan klub, anak lukis mendapat tugas untuk melukis bebas kegiatan di sekitar kampus, dan anak musik terbagi menjadi beberapa kelompok untuk berlatih mementaskan aksi mereka di free jamming acara kampus mereka.

Rani memilih untuk melukis di sekitar danau kampus, di mana banyak orang memancing untuk mendapatkan ikan. Tidak jauh dari tempat Rani duduk, Ari sedang memetik gitarnya, mencoba mencari aransemen yang tepat untuk pertunjukkannya nanti. Merasa bosan karena belum mendapatkan aransemen yang pas, Ari meninggalkan teman-temannya untuk mencari inspirasi. Maksud Ari mencari inspirasi adalah dengan merokok. Karena tidak ingin mengganggu kegiatan kampus, Ari selalu merokok di bawah pohon di dekat danau.

Sesampai di tepi danau, pohon yang biasa menjadi tempat Ari untuk berteduh sambil membakar rokoknya sudah ditempati seorang perempuan yang sedang melukis. Oh, anak lukis toh, ucap Ari dalam hati. Cukup kecewa karena pohon tempat favorit Ari sudah ditempati, Ari tetap memutuskan untuk duduk di tepi danau tidak jauh dari pohon itu. Ari mulai mengisap rokoknya dan sesekali memainkan gitarnya.

"Maaf," Ari menoleh dan mendapati Rani tengah menatapnya.

"Ya?" jawab Ari bingung. Ari tidak merasa kenal dengan perempuan yang duduk tak jauh di sebelahnya ini.

"Rokoknya bisa dimatikan? Saya tidak bisa menghirup asap rokok, asma saya bisa kambuh."

"Oh, ini," Ari salah tingkah, "Maaf ya, gue ga tau."

"Tidak apa-apa," Rani tersenyum.

"Tapi kalau gue main gitar di sini boleh?"

"Boleh. Lumayan ada hiburan yang menemani saya di sini."

Setelah itu, Rani tetap melanjutkan lukisannya. Sedangkan Ari bingung dan masih salah tingkah karena tidak diperbolehkan untuk merokok padahal itu salah satu caranya mendapatkan inspirasi. Tapi karena ia sudah terlanjur duduk di sini dan sudah mendapat izin untuk bermain gitar, Ari mulai memainkan gitarnya. Bosan, Ari menengok ke sebelahnya.

"Hei," Ari memanggil Rani.

Rani menoleh.

"Lo anak klub lukis ya?"

Rani mengangguk.

"Tingkat berapa?"

"Tingkat dua," jawab Rani, "Kamu?"

"Gue tingkat tiga."

"Oh! Maaf Kak saya ga tahu," wajah Rani menyiratkan rasa bersalah karena sudah meminta seniornya untuk mematikan rokoknya.

"Tenang aja. Kan ga lagi ospek. Ga bakal gue marahin lah." Dua-duanya tergelak.

"Nama lo siapa? Gue Ari."

"Rani Kak."

"Panggil aja Ari, ga usah pake kak, berasa tua."

Lagi, Rani tertawa. Kemudian tersenyum. Manis, pikir Ari. Dalam hitungan detik Ari tersadar dari apa yang dipikirkannya. Dan mulai mengaburkan rencana di lamunannya.

"Kenapa Kak? Eh, Ri maksudnya," tanya Rani, merasa Ari ingin mengatakan sesuatu.

"Ga papa, ngga ada apa-apa kok," Ari salah tingkah lagi.

Diam kembali, akhirnya Rani meneruskan untuk melukis. Ari masih menatap Rani, tapi mulai bergeser melihat lukisan Rani.

"Suka ngelukis ya?" tanya Ari tanpa sadar menggeser tempatnya duduk menjadi lebih dekat dengan Rani.

Rani mengangguk. "Dari kecil kata ibu aku sudah hobi coret-coret tembok hahaha," Rani menjawab sambil masih mengerjakan lukisannya.

Manis sekali anak ini, pikir Ari. Ari tanpa sadar mengacak-acak rambutnya. Maksudnya untuk menghilangkan pikirannya tentang Rani malah dikira Rani Ari sedang sakit.

"Ri, lagi pusing ya?" Rani bertanya sambil memandang Ari

"Ngga kok. Emang kenapa?"

"Dari tadi kamu kaya lagi pusing mikirin sesuatu."

"Oh itu, lagi pusing aja mikirin free jamming," Ari mengarang alasan dari pada dianggap aneh oleh Rani karena alasan Ari salah tingkah karena dia.

"Kapan free jamming-nya? Minggu depan ya?"

Ari mengangguk. Masih belum sanggup berkata-kata.

"Kamu ga latihan?"

"Masih bingung sama aransemennya. Ngerasa belum pas aja. Makanya gue ke sini mau cari udara segar, siapa tahu dapat inspirasi."

"Nyari udara segar kok malah ngerokok," canda Rani.

"Hahaha, sori ya. Gue terbiasa nyari inspirasi sambil ngerokok."

"Jadi aku bikin kamu ga bisa mikir dong sekarang?"

"Ngga juga sih. Biasanya juga suka muncul ide setelah lihat-lihat pemandangan yang ga banyak orangnya. Kaya di sini."

Mereka melanjutkan obrolan dengan lebih santai. Sesekali Ari memainkan gitarnya, untuk menghibur Rani atau pun mulai membuat aransemennya. Hingga hari pun sudah sore. Tidak terasa mereka menghabiskan waktu berjam-jam bersama.

"Ri, aku mau pulang sekarang," Rani mulai membereskan barang-barangnya.

"Loh, kan lukisannya belum selesai."

"Besok aku ke sini lagi. Diterusin lagi di sini."

"Besok gue juga boleh latihan gitar di sini?"

"Boleh. Asal ga ngerokok ya," Rani tersenyum.

"Hahaha oke deh. Soalnya ini juga tempat favorit gue buat menyendiri."

"Yaudah, sampai ketemu besok Ri."

Ari melambaikan tangannya. Ari menatap Rani hingga Rani hilang dari pandangan. Ari tersenyum sendiri dan mulai beranjak dari tempatnya duduk. Semenjak itu Ari berhenti merokok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar