Selasa, 09 Desember 2014

Mimpi dalam Mimpi

Hangat. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan seperti ini. Ada seseorang yang menggenggam tanganku dari belakang. Tidak, tidak mungkin dia.

“Hei! Nanti dimarahi loh sama seseorang,” ku tolehkan kepalaku ke kanan, ada Luki sahabatku sedang memergoki seseorang di sebelah kiriku.

Secara reflek aku mengikuti arah pandang Luki. Benar, ternyata dia. Seorang lelaki yang telah menghancurkan hatiku. Fariz. Jemarinya telah menggamit jemariku dengan erat. Senyumnya yang berhasil meracuni hatiku begitu terkembang di bibirnya. Sekarang, apa lagi? Pikirku. Menolak untuk merasa senang dengan aliran hangat yang mulai mengalir kembali ke hatiku, aku membuang muka, menatap jalanan di bawah kakiku.

“Tidak lagi hahaha. Lo curang Ki mau nguasain Lara sendirian. Emang nanti pacar lo ga marah?” tanpa sadar aku telah melingkarkan tanganku dengan tangan Luki. Luki yang menyadarinya bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan diriku hanya bisa mengusap tanganku dengan lembut, seperti mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Maksud lo udah ga lagi apa, Riz? Rahma udah tahu Lara kali.”

“Ra, apa kabar?” seperti tak mengacuhkan jawaban Luki, Fariz mengalihkan pandangannya kepadaku. Bimbang bagaimana harus menjawabnya dan dengan raut muka seperti apa, aku memilih menatap Luki. Luki yang mengerti maksudku hanya mengangguk, memberi tanda untuk membebaskanku menjawab pertanyaan Fariz.

Setelah berusaha mengumpulkan segenap tenaga, aku menengokkan kepalaku ke Fariz. Senyumnya masih ada di sana. “Kantin yuk,” mungkin Fariz tahu aku belum siap, sehingga dia lebih memilih mengajak aku dan Luki ke kantin.

Waktu sudah menunjukkan tengah hari, saatnya istirahat makan siang. Tadinya aku dan Luki sudah janjian dengan Rahma untuk makan siang bersama di salah satu restoran sushi yang berada di antara kantor Rahma dengan kentorku dan Luki. Tapi karena tiba-tiba menghadapi situasi seperti ini, Luki tidak mampu meninggalkanku sendirian. Akhirnya Luki memutuskan untuk menjemput Rahma dan mengajak Rahma makan di kantin kami, itu juga setelah mendapatkan persetujuan dariku untuk meninggalkan aku dan Fariz berdua saja.

“Ra, beneran gapapa gue tinggal? Rahma bisa kok gue suruh ke sini sendiri, dia pasti ngerti,” Luki yang khawatir berulang kali menanyakan hal ini padaku.

“Gapapa Ki, entah sekarang atau besok pasti gue harus mengalami hal ini. Kalau lo dan Rahma mau tetep makan sushi juga gapapa,” aku menjawab Luki dengan menambahkan senyum untuk meyakinkan Luki.

“Kalau ada apa-apa telepon gue atau Rahma ya Ra, jangan maksain diri,” Luki pergi setelah menepuk pundakku. Sepanjang perjalanan Luki keluar kantin, bolak-balik ia menatap ke belakang, memperhatikanku dengan penuh kekhawatiran. Aku memberinya senyum lagi dan pura-pura mengusirnya untuk menghibur kekhawatiran Luki.

Setelah Luki sudah tidak lagi terlihat, aku melemaskan badanku di bangku kantin. Menarik dan membuang napas panjang untuk menenangkan diri. Tak lama, Fariz kembali ke meja kami setelah memesan makanan.

“Luki mana?”

“Jemput Rahma di depan,” jawabku singkat.

“Oh…”

“Riz, gue pesan makanan dulu ya,” aku segera berdiri, mencari alasan untuk tidak bersama Fariz walau dalam waktu singkat.

“Ga usah Ra, udah gue pesenin. Sate ayam bumbu kecap dengan lontong dan es teh manis kan?” akhirnya aku duduk kembali, sedikit tercengang ternyata Fariz masih mengingat makanan favoritku di kantin ini.

Sepi tanpa obrolan menyelimuti kami berdua. Sibuk dengan handphone masing-masing. Luki mengirimkan pesan berulang kali ke handphone-ku hanya untuk memberitahukan posisinya sudah berada di mana. Tersenyum aku membacanya. Senang rasanya memiliki sahabat yang mengkhawatirkan keadaan sahabatnya.

“Ra,” akhirnya Fariz duluan yang memecah keheningan.

“Ada apa Riz?” aku rasa aku sudah cukup nyaman untuk menghadapi Fariz sekarang.

“Gue mau minta maaf atas kejadian waktu itu.”

Kenangan yang ditorehkan oleh Fariz sejenak menyeruak di dalam kepalaku. Keputusan sepihak Fariz untuk memutuskan tali persahabatanku dengannya setelah ia mengetahui ada perasaan lebih dari teman yang ku pendam terhadapnya. Hal tersulit yang harus ku terima. Padahal aku telah menjelaskan semuanya, aku tidak mengharapkan status apa pun darinya karena aku tahu Fariz sudah memiliki kekasih yang tidak lain adalah teman satu divisiku di kantor. Tapi komitmen Fariz cukup kuat untuk meninggalkan aku yang hanya sebagai temannya. Sejak hari itu Fariz tidak pernah muncul di depan mataku walaupun dia dan Luki masih sering bertemu.

“Untuk apa? itu semua keputusan lo. Jadi gue ga punya hak menerima maaf dari lo.”

“Iya, gue tahu. Maka dari itu gue mau minta maaf. Keputusan gue salah untuk meninggalkan lo.”

“Karena?”

“Gue kangen sama lo,” kedua tangan Fariz mulai meraba lembut kedua tanganku.

“Riz, lo ga bisa kaya gini ke gue,” aku mendorong tangannya.

“Kenapa Ra? Gue pengen kita temenan lagi. Gue ga peduli walau cewe gue ga memperbolehkan gue untuk temenan sama lo. Tapi gue merasa kehilangan temen terbaik gue. Dan cewe gue ga bisa menggantikan posisi lo.”

Rasanya air mataku mulai ingin menetes, “Ya, lo memang ga peduli. Lo ga peduli dengan apa yang lo perbuat. Dulu lo hanya menyetujui apa yang disuruh pacar lo untuk menjauh dari gue tanpa peduli perasaan gue bakal jadi kaya apa. Sekarang lo butuh gue dan lo ga peduli dengan perasaan cewe lo. Lo ga dewasa Riz!”

Segera aku berdiri dan meninggalkan Fariz. Air mataku yang sudah ku tahan akhirnya mulai bercucuran. Di pintu kantin aku menabrak Luki yang sempat menarik tanganku dan bertanya ada apa tapi aku memilih untuk pergi. Aku sempat mendengar gebrakan meja dari dalam kantin yang ku rasa Luki pelakunya, memarahi Fariz yang membuatku menangis kembali.

Hari ini aku hanya menangis tanpa suara di dalam toilet wanita hingga lelah. Dan akhirnya aku terbangun…

Mimpi? Ku lihat kanan kiriku. Aku berada di kamarku. Matahari sudah cukup tinggi, menyusup masuk dari balik tirai. Badanku penuh peluh. Lagi-lagi aku memimpikan Fariz. Sudah setahun putus kontak dengannya malah semakin sering aku memimpikan Fariz. Entah apa yang aku pikirkan hingga mimpi selalu memunculkan wajahnya.

Tok tok tok. Pintu kamarku diketuk.

“Nak, sudah bangun?”

Ternyata umi yang mengetok pintu, “Sudah, Mi.”

“Cepat mandi. Ada yang mencarimu.”

“Siapa Mi?”

“Mandi saja dulu. Dia sedang ditemani abi mengobrol.”

Siapa? Aku mengingat-ingat sepertinya tidak ada yang membuat janji denganku di Sabtu pagi. Aku mengecek handphone siapa tahu ada yang mendadak memberi kabar ingin ke rumah. Tapi tidak ada. Hanya ada pesan dari Rahma yang ingin memastikan nanti malam aku jadi pergi dengannya, karena saat ini Luki sedang dinas di luar kota.

Selesai mandi dan menyiapkan diri, aku ke ruang makan mendekati umi. Terdengar suara tawa renyah dua orang lelaki dari teras rumah. Yang satu suara abi sedangkan yang satu lagi suaranya cukup ku kenal. Tapi tak satu pun nama teringat olehku.

“Ada siapa Mi? Beneran nyari aku? Bukan nyari abi? Itu kayanya seru banget ngobrol sama abi.”

“Abi kan seneng kalau ada temen ngobrol, Nak. Kan di rumah ini ga ada temen yang nyambung diajak ngomongin bola.”

“Terus siapa Mi? kan Luki lagi dinas.”

“Kalau penasaran lihat saja sendiri. Umi saja kangen lihat dia di sini,” umi tersenyum dan mengangkat nampan dengan dua cangkir teh hangat di atasnya. Aku mengikuti umi dari belakang karena umi ingin mengantarkan sendiri minumannya.

“Silakan diminum, Nak Fariz. Ini Lara sudah bangun. Yuk Abi masuk gantian ngobrolnya sama Lara. Jangan sungkan ya Riz.”

Kaget, aku hanya bisa mematung di depan pintu. Kejutan apa lagi yang aku dapatkan setelah mimpi yang menguras tenaga tadi malam.

“Ra?”

Tersadar, aku segera duduk di kursi yang tadi ditempati abi. Mencoba santai aku mulai bertanya, “Ada apa Riz?”

“Apa kabar?” pertanyaan yang sama seperti di dalam mimpi. Setelah mimpi yang begitu menguras emosi, pertanyaan Fariz menjadi pertanyaan tersulit untuk ku jawab.

Melihat gelagatku yang sulit untuk menjawab, Fariz meneruskan kalimatnya, “Maaf gue ganggu ke rumah lo pagi-pagi di saat lo seharusnya menikmati Sabtu dengan santai.”

Fariz menatapku, dan menangkap bahwa aku tidak ingin menanggapi basa-basinya. Ia meneruskan kata-katanya, “Abi masih sama ya kaya dulu, masih sehat dan bugar. Tidak terlihat tua sama sekali.”

Aku bergeming. “Ada apa Riz?” tanyaku lagi.

“Baiklah, sepertinya lo masih marah sama gue. Gue ke sini mau minta maaf. Jujur saja setahun ini terasa berat buat gue untuk menjauh dari lo setelah dua belas tahun ke belakang kita selalu bareng. Maafin gue ga bisa mengubah keputusan gue tahun lalu walaupun itu keinginan sepihak dari pacar gue. Karena gue sudah janji untuk berkomitmen penuh dengannya. Salah gue tidak menyadari perasaan lo lebih dulu. Mungkin kalau gue sadar, kisah kita ga bakal berakhir kaya gini.”

Aku tersentak mendengar akhir kalimat yang diucapkan Fariz. Aku langsung menatapnya dan terlihat tidak ada kebohongan di dalam matanya. Lagi-lagi air mataku mulai menetes. Fariz menghampiriku, berlutut di depanku, lalu memelukku. Tangisku pecah seiring dengan kata maaf yang dibisikkan Fariz di telingaku.

“Maaf aku harus membuat kamu terluka lagi. Aku memang bukan lelaki yang baik buat kamu karena hanya bisa membuat kamu menangis. Aku harus menyerahkan ini sama kamu. Maafkan aku,” Fariz memberikan sebuah amplop berwarna merah marun berbentuk persegi dengan dua inisial huruf di depannya.

“Minggu depan aku menikah. Maafkan aku, Ra. Sampai akhir aku ngga bisa memilih kamu. Walau perasaan ini ga akan pernah berubah untuk kamu.”

Fariz memelukku sekali lagi, lebih erat dari sebelumnya. Andai waktu dapat berhenti, aku ingin waktu berhenti sekarang. Tidak ku lepas pelukan Fariz. Ia menghapus air mataku yang terus mengalir di pipi. Dan akhirnya ia melepas pelukkannya padaku.

“Maaf Ra aku harus pergi,” Fariz berdiri di hadapanku dan aku merangkulnya erat. Dengan enggan, Fariz melepas tanganku yang melingkari badannya. Dikecupnya keningku sebelum dia berbalik dan meninggalkanku.

Sakit. Ini terlalu sakit. Mengetahui seseorang memiliki perasaan yang sama tapi tidak ditakdirkan untuk bersama. Apa maksud Tuhan mempertemukan kita? Menguji kekuatan hatiku? Rasanya aku menangis sampai air mataku habis.

“Ra, bangun Ra,” seseorang memanggil namaku dan mengguncang badanku. Suaranya penuh kekhawatiran.

Ku buka mataku perlahan. Buram. Pandanganku tertutup air mata. Aku di mana?

Ku kerjapkan mataku berkali-kali untuk melihat lebih jelas. Fariz! Fariz ada di depan mataku saat ini? Apa ini? Mimpi lagi?

“Sayang kamu kenapa? Tiba-tiba kamu nangis pas tidur,” Fariz memelukku.

“Riz, ini di mana?”

“Ini di kamar kita sayang.”

“Kita?” aku mulai bingung.

“Ra kayanya kamu tadi di kantor kerjaan kamu terlalu berat sampai kamu linglung begini. Iya, ini di kamar kita, istriku,”

Istri? Loh, tunggu… Ini bukan mimpi kan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar