Kamis, 15 Februari 2018

Di Ruang Tunggu Pengadilan

Ini kali pertama aku ke sana. Ke pengadilan. Pengadilan Agama tepatnya. Hanya mengantarkan ibu sebagai saksi keluarga. Dimintai tolong oleh tanteku untuk mendapatkan surat keterangan hak waris, kalau tidak salah demikian.

Hal pertama yang aneh di sini adalah tidak adanya tempat parkir. Bagaimana bisa? Ini adalah kantor yang pasti didatangi oleh masyarakat yang ingin menyelesaikan perkaranya, tapi bagaimana mungkin tidak ada tempat parkir? Atau ini adalah hal biasa yang tidak aku ketahui? Namun, satu hal yang pasti ini menjadi salah satu faktor yang membuatku tidak nyaman berada di tempat ini.

Setelah menemukan tempat parkir di lahan kosong yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pengadilan agama, dan setelah diusir secara sopan dari sebuah kantor yang tidak memperbolehkan ada mobil lain parkir di sana apabila tidak memiliki urusan di dalam kantor tersebut, aku dan ibu menuju kantor pengadilan. Muncul lagi hal lain yang membuatku tidak nyaman berada di sana. Jika ingin masuk harus melalui pintu belakang. Mengapa banyak sekali hal aneh yang aku temukan di sini? Atau aku yang aneh karena tidak terbiasa dengan hal seperti ini? Entahlah, aku tidak tahu mana yang benar.

Sampailah kami di ruang tunggu pengadilan yang berada di lantai dua. Ruangan yang berukuran sekitar empat kali lima yang dipenuhi kursi untuk orang-orang menunggu dipanggil ke ruang pengadilan. Ruangan ini dilengkapi dengan televisi yang menunjukkan nomor antrian, sekotak P3K yang tergantung di dinding, beberapa stop kontak disediakan untuk pengunjung yang ingin mengisi kembali daya gawai yang mereka gunakan, dan area pojok bermain anak yang dilengkapi dengan perosotan kecil dan beberapa mainan. Ruangan ini juga memiliki lima pintu yang menghubungkan ke tiga ruang pengadilan, satu ruang mediasi, dan satu ruang menyusui.

Karena aku tidak memiliki banyak peran di sini, maka aku banyak menghabiskan waktu dengan menunggu dan memperhatikan para pengunjung. Orang-orang silih berganti masuk ke dalam ruangan pengadilan sesuai dengan nomor urut mereka. Tunggu, aku rasa ini terlalu cepat. Hanya dalam beberapa menit nomor antrian terus berganti. Semudah itukah memutuskan sesuatu? Dan mengapa raut muka orang-orang di sini begitu santai, seperti hanya menunggu antrian di bank. Karena dalam kepalaku orang-orang yang berada di sini banyak yang mengurus masalah perceraian, selain masalah ahli waris dan lainnya. Namun, mengapa mereka begitu santai menunggu dan menerima keputusan? Mereka sudah tidak ada hati atau pasrah dengan keadaan? Aku merasa asing di sini. Tidak terasa ada kehangatan di sekitarku.

Selama enam jam aku menunggu di sana, hanya satu keluarga (dua dengan keluargaku) yang menunjukkan emosi mereka. Ibu-ibu yang meluapkan emosinya, dan (mungkin) si anak yang berusaha menahan tangisnya di depan umum tetapi gagal melakukannya. Ah, mereka masih punya hati, pikirku. Seperti juga keluargaku, yang keluar dari ruang pengadilan sambil tertawa geli, membuatku penasaran apa yang terjadi di dalam sana. Selebihnya, aku tidak sedikit pun melihat ada perubahan dalam raut muka mereka. Seterbiasa itukah mereka dengan keadaan yang mereka hadapi? Atau lagi-lagi di sini hanya aku yang aneh, yang tidak terbiasa dengan hal seperti ini.

Ini hanya sedikit opiniku tentang apa yang ku perhatikan di ruang publik. Dan kebetulan saja aku dapat kesempatan datang ke pengadilan agama. Tidak ada maksud apa-apa di dalamnya. Tidak perlu setuju sepenuhnya dengan apa yang ku lontarkan. Karena ini hanya murni dari isi kepala yang dibuat terlalu lama menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar