Hangat. Sudah lama aku tidak merasakan
kehangatan seperti ini. Ada seseorang yang menggenggam tanganku dari belakang. Tidak,
tidak mungkin dia.
“Hei! Nanti dimarahi loh sama seseorang,” ku
tolehkan kepalaku ke kanan, ada Luki sahabatku sedang memergoki seseorang di
sebelah kiriku.
Secara reflek aku mengikuti arah pandang Luki. Benar,
ternyata dia. Seorang lelaki yang telah menghancurkan hatiku. Fariz. Jemarinya telah
menggamit jemariku dengan erat. Senyumnya yang berhasil meracuni hatiku begitu
terkembang di bibirnya. Sekarang, apa lagi? Pikirku. Menolak untuk merasa
senang dengan aliran hangat yang mulai mengalir kembali ke hatiku, aku membuang
muka, menatap jalanan di bawah kakiku.
“Tidak lagi hahaha. Lo curang Ki mau nguasain
Lara sendirian. Emang nanti pacar lo ga marah?” tanpa sadar aku telah
melingkarkan tanganku dengan tangan Luki. Luki yang menyadarinya bahwa ada
sesuatu yang tidak beres dengan diriku hanya bisa mengusap tanganku dengan
lembut, seperti mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Maksud lo udah ga lagi apa, Riz? Rahma udah
tahu Lara kali.”
“Ra, apa kabar?” seperti tak mengacuhkan
jawaban Luki, Fariz mengalihkan pandangannya kepadaku. Bimbang bagaimana harus
menjawabnya dan dengan raut muka seperti apa, aku memilih menatap Luki. Luki yang
mengerti maksudku hanya mengangguk, memberi tanda untuk membebaskanku menjawab
pertanyaan Fariz.
Setelah berusaha mengumpulkan segenap tenaga,
aku menengokkan kepalaku ke Fariz. Senyumnya masih ada di sana. “Kantin yuk,”
mungkin Fariz tahu aku belum siap, sehingga dia lebih memilih mengajak aku dan
Luki ke kantin.
Waktu sudah menunjukkan tengah hari, saatnya
istirahat makan siang. Tadinya aku dan Luki sudah janjian dengan Rahma untuk
makan siang bersama di salah satu restoran sushi yang berada di antara kantor
Rahma dengan kentorku dan Luki. Tapi karena tiba-tiba menghadapi situasi
seperti ini, Luki tidak mampu meninggalkanku sendirian. Akhirnya Luki
memutuskan untuk menjemput Rahma dan mengajak Rahma makan di kantin kami, itu
juga setelah mendapatkan persetujuan dariku untuk meninggalkan aku dan Fariz
berdua saja.
“Ra, beneran gapapa gue tinggal? Rahma bisa kok
gue suruh ke sini sendiri, dia pasti ngerti,” Luki yang khawatir berulang kali
menanyakan hal ini padaku.
“Gapapa Ki, entah sekarang atau besok pasti gue
harus mengalami hal ini. Kalau lo dan Rahma mau tetep makan sushi juga gapapa,”
aku menjawab Luki dengan menambahkan senyum untuk meyakinkan Luki.
“Kalau ada apa-apa telepon gue atau Rahma ya
Ra, jangan maksain diri,” Luki pergi setelah menepuk pundakku. Sepanjang perjalanan
Luki keluar kantin, bolak-balik ia menatap ke belakang, memperhatikanku dengan
penuh kekhawatiran. Aku memberinya senyum lagi dan pura-pura mengusirnya untuk
menghibur kekhawatiran Luki.
Setelah Luki sudah tidak lagi terlihat, aku melemaskan badanku di bangku kantin. Menarik dan membuang napas panjang untuk menenangkan diri. Tak lama, Fariz kembali ke meja kami setelah memesan makanan.
“Luki mana?”
“Jemput Rahma di depan,” jawabku singkat.
“Oh…”
“Riz, gue pesan makanan dulu ya,” aku segera
berdiri, mencari alasan untuk tidak bersama Fariz walau dalam waktu singkat.
“Ga usah Ra, udah gue pesenin. Sate ayam bumbu
kecap dengan lontong dan es teh manis kan?” akhirnya aku duduk kembali, sedikit
tercengang ternyata Fariz masih mengingat makanan favoritku di kantin ini.
Sepi tanpa obrolan menyelimuti kami berdua. Sibuk
dengan handphone masing-masing. Luki mengirimkan
pesan berulang kali ke handphone-ku hanya
untuk memberitahukan posisinya sudah berada di mana. Tersenyum aku membacanya. Senang
rasanya memiliki sahabat yang mengkhawatirkan keadaan sahabatnya.
“Ra,” akhirnya Fariz duluan yang memecah
keheningan.
“Ada apa Riz?” aku rasa aku sudah cukup nyaman
untuk menghadapi Fariz sekarang.
“Gue mau minta maaf atas kejadian waktu itu.”
Kenangan yang ditorehkan oleh Fariz sejenak
menyeruak di dalam kepalaku. Keputusan sepihak Fariz untuk memutuskan tali
persahabatanku dengannya setelah ia mengetahui ada perasaan lebih dari teman
yang ku pendam terhadapnya. Hal tersulit yang harus ku terima. Padahal aku
telah menjelaskan semuanya, aku tidak mengharapkan status apa pun darinya
karena aku tahu Fariz sudah memiliki kekasih yang tidak lain adalah teman satu
divisiku di kantor. Tapi komitmen Fariz cukup kuat untuk meninggalkan aku yang
hanya sebagai temannya. Sejak hari itu Fariz tidak pernah muncul di depan
mataku walaupun dia dan Luki masih sering bertemu.
“Untuk apa? itu semua keputusan lo. Jadi gue ga
punya hak menerima maaf dari lo.”
“Iya, gue tahu. Maka dari itu gue mau minta
maaf. Keputusan gue salah untuk meninggalkan lo.”
“Karena?”
“Gue kangen sama lo,” kedua tangan Fariz mulai
meraba lembut kedua tanganku.
“Riz, lo ga bisa kaya gini ke gue,” aku
mendorong tangannya.
“Kenapa Ra? Gue pengen kita temenan lagi. Gue ga
peduli walau cewe gue ga memperbolehkan gue untuk temenan sama lo. Tapi gue
merasa kehilangan temen terbaik gue. Dan cewe gue ga bisa menggantikan posisi
lo.”
Rasanya air mataku mulai ingin menetes, “Ya, lo
memang ga peduli. Lo ga peduli dengan apa yang lo perbuat. Dulu lo hanya
menyetujui apa yang disuruh pacar lo untuk menjauh dari gue tanpa peduli
perasaan gue bakal jadi kaya apa. Sekarang lo butuh gue dan lo ga peduli dengan
perasaan cewe lo. Lo ga dewasa Riz!”
Segera aku berdiri dan meninggalkan Fariz. Air mataku
yang sudah ku tahan akhirnya mulai bercucuran. Di pintu kantin aku menabrak
Luki yang sempat menarik tanganku dan bertanya ada apa tapi aku memilih untuk
pergi. Aku sempat mendengar gebrakan meja dari dalam kantin yang ku rasa Luki
pelakunya, memarahi Fariz yang membuatku menangis kembali.
Hari ini aku hanya menangis tanpa suara di
dalam toilet wanita hingga lelah. Dan akhirnya aku terbangun…
Mimpi? Ku lihat kanan kiriku. Aku berada di
kamarku. Matahari sudah cukup tinggi, menyusup masuk dari balik tirai. Badanku penuh
peluh. Lagi-lagi aku memimpikan Fariz. Sudah setahun putus kontak dengannya
malah semakin sering aku memimpikan Fariz. Entah apa yang aku pikirkan hingga
mimpi selalu memunculkan wajahnya.
Tok tok tok. Pintu kamarku diketuk.
“Nak, sudah bangun?”
Ternyata umi yang mengetok pintu, “Sudah, Mi.”
“Cepat mandi. Ada yang mencarimu.”
“Siapa Mi?”
“Mandi saja dulu. Dia sedang ditemani abi
mengobrol.”
Siapa? Aku mengingat-ingat sepertinya tidak ada
yang membuat janji denganku di Sabtu pagi. Aku mengecek handphone siapa tahu ada yang mendadak memberi kabar ingin ke
rumah. Tapi tidak ada. Hanya ada pesan dari Rahma yang ingin memastikan nanti
malam aku jadi pergi dengannya, karena saat ini Luki sedang dinas di luar kota.
Selesai mandi dan menyiapkan diri, aku ke ruang
makan mendekati umi. Terdengar suara tawa renyah dua orang lelaki dari teras
rumah. Yang satu suara abi sedangkan yang satu lagi suaranya cukup ku kenal. Tapi
tak satu pun nama teringat olehku.
“Ada siapa Mi? Beneran nyari aku? Bukan nyari
abi? Itu kayanya seru banget ngobrol sama abi.”
“Abi kan seneng kalau ada temen ngobrol, Nak. Kan
di rumah ini ga ada temen yang nyambung diajak ngomongin bola.”
“Terus siapa Mi? kan Luki lagi dinas.”
“Kalau penasaran lihat saja sendiri. Umi saja
kangen lihat dia di sini,” umi tersenyum dan mengangkat nampan dengan dua
cangkir teh hangat di atasnya. Aku mengikuti umi dari belakang karena umi ingin
mengantarkan sendiri minumannya.
“Silakan diminum, Nak Fariz. Ini Lara sudah
bangun. Yuk Abi masuk gantian ngobrolnya sama Lara. Jangan sungkan ya Riz.”
Kaget, aku hanya bisa mematung di depan pintu. Kejutan
apa lagi yang aku dapatkan setelah mimpi yang menguras tenaga tadi malam.
“Ra?”
Tersadar, aku segera duduk di kursi yang tadi
ditempati abi. Mencoba santai aku mulai bertanya, “Ada apa Riz?”
“Apa kabar?” pertanyaan yang sama seperti di
dalam mimpi. Setelah mimpi yang begitu menguras emosi, pertanyaan Fariz menjadi
pertanyaan tersulit untuk ku jawab.
Melihat gelagatku yang sulit untuk menjawab,
Fariz meneruskan kalimatnya, “Maaf gue ganggu ke rumah lo pagi-pagi di saat lo
seharusnya menikmati Sabtu dengan santai.”
Fariz menatapku, dan menangkap bahwa aku tidak
ingin menanggapi basa-basinya. Ia meneruskan kata-katanya, “Abi masih sama ya
kaya dulu, masih sehat dan bugar. Tidak terlihat tua sama sekali.”
Aku bergeming. “Ada apa Riz?” tanyaku lagi.
“Baiklah, sepertinya lo masih marah sama gue. Gue
ke sini mau minta maaf. Jujur saja setahun ini terasa berat buat gue untuk
menjauh dari lo setelah dua belas tahun ke belakang kita selalu bareng. Maafin gue
ga bisa mengubah keputusan gue tahun lalu walaupun itu keinginan sepihak dari
pacar gue. Karena gue sudah janji untuk berkomitmen penuh dengannya. Salah gue tidak
menyadari perasaan lo lebih dulu. Mungkin kalau gue sadar, kisah kita ga bakal
berakhir kaya gini.”
Aku tersentak mendengar akhir kalimat yang
diucapkan Fariz. Aku langsung menatapnya dan terlihat tidak ada kebohongan di
dalam matanya. Lagi-lagi air mataku mulai menetes. Fariz menghampiriku,
berlutut di depanku, lalu memelukku. Tangisku pecah seiring dengan kata maaf
yang dibisikkan Fariz di telingaku.
“Maaf aku harus membuat kamu terluka lagi. Aku memang
bukan lelaki yang baik buat kamu karena hanya bisa membuat kamu menangis. Aku harus
menyerahkan ini sama kamu. Maafkan aku,” Fariz memberikan sebuah amplop
berwarna merah marun berbentuk persegi dengan dua inisial huruf di depannya.
“Minggu depan aku menikah. Maafkan aku, Ra. Sampai
akhir aku ngga bisa memilih kamu. Walau perasaan ini ga akan pernah berubah
untuk kamu.”
Fariz memelukku sekali lagi, lebih erat dari
sebelumnya. Andai waktu dapat berhenti, aku ingin waktu berhenti sekarang. Tidak
ku lepas pelukan Fariz. Ia menghapus air mataku yang terus mengalir di pipi. Dan
akhirnya ia melepas pelukkannya padaku.
“Maaf Ra aku harus pergi,” Fariz berdiri di
hadapanku dan aku merangkulnya erat. Dengan enggan, Fariz melepas tanganku yang
melingkari badannya. Dikecupnya keningku sebelum dia berbalik dan meninggalkanku.
Sakit. Ini terlalu sakit. Mengetahui seseorang
memiliki perasaan yang sama tapi tidak ditakdirkan untuk bersama. Apa maksud
Tuhan mempertemukan kita? Menguji kekuatan hatiku? Rasanya aku menangis sampai
air mataku habis.
“Ra, bangun Ra,” seseorang memanggil namaku dan
mengguncang badanku. Suaranya penuh kekhawatiran.
Ku buka mataku perlahan. Buram. Pandanganku tertutup
air mata. Aku di mana?
Ku kerjapkan mataku berkali-kali untuk melihat
lebih jelas. Fariz! Fariz ada di depan mataku saat ini? Apa ini? Mimpi lagi?
“Sayang kamu kenapa? Tiba-tiba kamu nangis pas
tidur,” Fariz memelukku.
“Riz, ini di mana?”
“Ini di kamar kita sayang.”
“Kita?” aku mulai bingung.
“Ra kayanya kamu tadi di kantor kerjaan kamu
terlalu berat sampai kamu linglung begini. Iya, ini di kamar kita, istriku,”
Istri? Loh, tunggu… Ini bukan mimpi kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar