Sepertinya hidup di zaman sekarang kalau ketinggalan menggunakan media sosial terbaru rasanya seperti orang paling ga gaul bagi para pengguna smartphone kalangan menengah ke atas. Dulu, punya Friendster rasanya udah paling hits dengan banyak tulisan warna-warni sana-sini, widgets everywhere, dan berjubel lagu terpajang di dinding profil. Sekarang? Waduh, tinggal pilih mau unduh dan menggunakan media sosial yang mana, semuanya juga boleh asal sudah menyiapkan pikiran yang dingin dan tidak mudah sakit hati. Mengapa demikian?
Saya pernah membahas hal ini dengan salah satu teman karib saya dengan contoh kasus media sosial yang bernama Path. Path menurut saya tidak berbeda jauh dengan Twitter, kita bisa menyebarkan apa pun yang ingin dikatakan sesuka hati, lebih dari 140 karakter. Tidak hanya itu, apa pun yang kita lakukan dan di mana kita melakukannya bisa juga disebarkan dengan media ini, ditambahkan dengan foto dan video jika mau. Lalu apa masalahnya dengan hal ini?
Awalnya memang Path merupakan salah satu media sosial yang menjadi favorit saya karena hanya dapat memiliki teman sebanyak 150 orang, sehingga hanya kerabat dekat saja yang dapat menjadi teman saya. Namun, setelah ada perbaruan, Path menambah kapasitas teman menjadi 500. Jadi sekarang sudah tidak ada alasan "Maaf sudah 150 orang jadi ga bisa nambah lagi" ke orang yang mengundang kita menjadi temannya padahal bersosialisasi di dunia nyata saja sudah tidak pernah. Mungkin kalau saya orangnya tegaan mau berapa pun batas jumlah temannya tidak akan saya setujui menjadi teman, tapi sayangnya saya tidak demikian. Bisa membayangkan tiba-tiba orang yang tidak dekat dengan kita bisa kita ketahui kegiatannya apa saja dan menyebarkan foto wajahnya di media sosial kita? Kalau saya sih merasa cukup sebal melihat yang seperti itu. Kalau saya sudah cukup muak dengan tega saya langsung memutuskan hubungan, hanya di Path saja.
Kalau hal di atas sih sebenarnya bisa tidak menjadi masalah jika kita menjadi orang seperti yang saya sudah bilang juga sebelumnya, TEGA. Idealismenya tinggi sehingga selalu punya pikiran "Untuk apa berteman dengan dia toh di dunia nyata saja ketemu juga ngga." Tapi sebenarnya juga ada tega jenis lain menurut saya dan ini jika dialami dengan orang yang cukup dekat dengan kita.
Pasti pernah dong dalam suatu komunitas tidak semua orang di dalam komunitas itu bisa dekat satu sama lain? Nah terkadang kelompok-kelompok kecil di dalam komunitas itu yang suka tega. Biar gampang dicerna saya berikan langsung contoh kasusnya. Misal, dalam suatu komunitas ada kelompok-kelompok kecil yang lebih dekat satu sama lain, dan misal ada tiga kelompok kecil yaitu A, B, dan C. Si kelompok A ini terdiri dari sepuluh orang (misal lagi) dan jalan bareng ke suatu tempat. Sepuluh orang tersebut menyebarkan mereka ada di mana secara bersamaan. Nambah dong ya di Path si B dan C sepuluh baris baru yang menunjukkan tempat yang sama dan dengan isi orang-orang yang sama. Itu kalau cuma sekadar tempat, kalau ditambah foto yang sama setiap orangnya pernah berpikir tidak apa yang dirasakan si B dan C? Nyebelin. Pasti.
Ya kalau gitu tinggal hapus aja dari list teman. Hei, tidak semuanya semudah itu! Menghapus sepuluh teman karena cukup mengganggu di lini Path pasti akan menjadi buah bibir orang-orang, betul tidak? Betul saja biar cepat.
Tidak semua orang mengerti penggunaan sosial media karena memang tidak pernah diumumkan secara terang-terangan apa saja yang diperbolehkan ada di sosial media tersebut. Jadi, sebenarnya si A juga tidak salah dong kalau menyebarkan hal yang menurut mereka tidak mengganggu kehidupan mereka?
Lalu, siapa yang salah?
Di era media sosial yang semakin menggila ini akan lebih baik menurut saya setiap penggunanya untuk wawas diri. Mengapa? Karena tidak semua orang merasakan hal yang sama. Maksudnya, mungkin menurut kalian kalimat atau pun foto yang kalian sebarkan tidak bermaksud menyakiti siapa pun. Tetapi ada beberapa pihak yang hatinya rapuh menganggap hal tersebut terlalu berlebihan sehingga membuat mereka sakit hati.
Ayolah coba dipkirkan perasaan orang lain sebelum menyebarluaskannya. Sudah pernah sakit hati kan karena ditinggal gebetan? Kurang lebih rasanya sama #eh
Introspeksi terlebih dahulu, apakah hal tersebut baik untuk orang lain? Apakah hal tersebut pantas dibaca orang lain? Jika memang sudah, terserah kalian ingin menyebarkan atau tidak. Karena tidak semua hal harus disebarkan, toh? Sebagian hal juga ada baiknya disimpan sendiri.
Tidak untuk menghujat, hanya sekadar berbagi :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar