Jumat, 10 Februari 2017

Salahkan Saja Diary Sialan Itu

Eng.....

Halo.

Hai.

Hmm.....

*tarik napas dalam-dalam*

*buang perlahan*

Halo. Apa kabar? Maafkan diriku yang masih canggung ini untuk bercengkerama denganmu. Maaf, beribu-ribu maaf akan aku lontarkan bila dapat membuat hati ini tenang ketika berjumpa denganmu. Tapi sepertinya masih belum berhasil. Maafkan.

Satu harapku kepadamu adalah kita dapat kembali menjadi teman biasa seperti dulu. Yang dapat berbagi tawa canda. Dan sepertinya kamu juga memahami itu. Karena kamu mulai mengajakku berbicara ketika kita berjumpa tahun lalu. Aku berpikir inilah saatnya untuk memulai lembaran baru. Aku berusaha beradaptasi dengan keadaan kita. Aku harus bisa, pikirku. Tapi ternyata aku salah. Tunggu, jangan salahkan aku. Salahkan diary sialan itu.

Selepas bertemu denganmu, aku pulang ke rumah dengan hati lega. Ya, akhirnya kita dapat berteman kembali. Tapi kelegaan itu sirna ketika aku memulai membereskan kamar dan menemukan diaryku. Diary lama yang tidak lagi ku sentuh untuk mengubur semua perasaanku. Aku terlalu penasaran untuk tidak membuka diary itu. Akhirnya ku buka lembaran demi lembaran dan ku baca setiap halaman.

Mungkin ini yang dinamakan jangan bermain-main dengan masa lalu. Terlalu banyak kisah mendetail tentang kamu yang sudah ku lupakan. Tapi dasar diary sialan! Dia berhasil menguarkan kembali memori-memori itu dan mulai menyusup ke dalam hati.

Sesungguhnya apa yang tertulis di dalam diaryku bukanlah hal besar yang pernah kamu lakukan untukku. Semuanya hal kecil yang aku rasa kamu tidak akan sadar pernah melakukannya. Mulai dari mencariku untuk mengerjakan tugas bersama, memohon padaku untuk mengirimkan foto catatanku di tengah malam, mengerjakan tugas bersama hingga fajar karena mengejar deadline, memayungiku dengan tanganmu ketika hujan tiba-tiba turun, menemaniku kembali ke tempat teman-teman belajar karena sudah lewat tengah malam, dan hal kecil lain seperti ketika kamu duduk di sebelahku saat masih ada tempat lain yang bisa kamu tempati karena kamu tahu aku sedang menjauh darimu.

Sadar tidak sadar sebenarnya itu semua hanya hal biasa. Tapi karena semua dilakukan bersama denganmu aku jadi terbiasa. Terbiasa bersamamu yang notabene kita hanya teman biasa. Dan hanya aku yang berharap sesuatu yang luar biasa membahagiakan dapat terjadi di antara kita di saat kamu tidak pernah memberikan harapan itu.

Baiklah aku mengaku, ini semua salahku. Dan aku melimpahkan kesalahan ini pada diary tua. Sungguh, aku tidak ingin mengakui ini. Tapi nyatanya adalah bahwa aku pernah sangat menyayangimu sepenuh hatiku. Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman. Aku juga tidak dapat memastikan perasaanku saat ini. Karena aku sendiri tidak ingin lagi memendam perasaan itu. Hanya akan membuatku merana. Karena kamu sudah menentukan pilihan.

Lalu apa tujuanku menuliskan surat ini padamu? Aku memerlukan bantuanmu. Ya, untuk mengentaskan segala perasaan ini. Itu kan yang kamu mau? Saat ini mungkin kita masih saling tidak nyaman satu sama lain. Tapi ku harap pertemuan selanjutnya kita dapat menata kembali hubungan kita (tentu saja sebagai teman, aku tidak akan berharap lebih). Sapalah aku seperti teman-teman yang lain. Jangan ragu untuk melepas senyum indahmu itu untukku. Aku juga akan membalasnya sebaik-baiknya. Sebagai teman. Ya, teman. 

Dan satu hal lagi, aku akan membakar diary sialan ini. Akan aku hapuskan semua jejak yang dapat mengingatkan aku tentang kamu di masa lalu. Tidak akan ku biarkan lagi kamu memenuhi relung hatiku. Karena tiada guna pula untukku. 

Kamu siap kan membantuku? Teman juga masih dapat saling membantu loh. Aku harap kamu bersedia. Entahlah bila harapanku yang ini pun akan sia-sia pula. Mungkin aku benar-benar harus menghilang dari lingkaran pertemanan kita.

Ya sudah. Jaga dirimu baik-baik. Semoga kamu selalu berbahagia dengan dirinya. Bye teman!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar