Sabtu, 16 Juli 2016

Memori

Apa sebutan yang tepat untuk memanggilmu? Bolehkah aku memanggilmu "Sayang"?

Semua ini berawal dari puluhan tahun yang lalu. Di saat aku tak mengenal seorang pun di sekelilingku dan hanya kamu yang selalu ada di sampingku. Saat itu aku menampik perasaanku sendiri. Aku hanya merasa ini "cinta monyet". Karena aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa artinya cinta. Dan akhirnya aku merasa aku sudah cukup bahagia dengan kehadiranmu. Tanpa terpikir kamu akan pergi meninggalkanku.

Dan waktu pun tiba untuk kita saling meninggalkan satu sama lain. Tidak ada kata perpisahan. Yang ada hanya jarak. Kita tidak lagi bersekolah di tempat yang sama. Tidak ada pula surat-menyurat atau saling berkirim pesan elektronik satu sama lain. Aku mulai merasa kehilangan. Yang biasanya kamu selalu ada, sekarang bagaikan orang asing. Aku hanya mengetahui kabarmu dari teman-teman kita saja. Entah kamu mencari tahu kabarku atau tidak. Sampai suatu ketika aku merasa aku mulai menyerah dengan perasaanku. Aku menjalin hubungan dengan seorang temanku tanpa perasaan apa pun. Hampa. Demi mencoba menghilangkanmu dari ingatan.

Tapi takdir berkata lain. Hampir genap tiga tahun berlalu, kita dipertemukan kembali. Dan rasanya masih sama, aku masih merasakan kenyamanan yang sama saat bersamamu. Perasaan itu kembali. Atau rasanya tidak pernah hilang dari relung hati. Aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Akhirnya ku putuskan kekasihku demi bersama kamu. Sebagai teman.

Pertemuan kita memang tidak seperti dulu. Tidak setiap hari. Tidak selalu saling mendampingi. Tapi itu yang menyebabkan aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku untuk bertemu kamu. Mungkin masih ada kesempatan untukku mengisi ruang hatimu, pikirku. Tidak heran aku selalu berusaha ada setiap kali kamu membutuhkanku. Hati ingin menunjukkan bahwa aku selalu ada untukmu, tolong lihat aku sebagai wanita, bukan hanya sebagai teman. Namun jarak sekali lagi mempermainkan kita. Kita dipisahkan kembali. Tetapi tidak separah dulu, kita masih berhubungan baik.

Lagi-lagi aku merasa harus memupuskan rasa di hatiku ini. Karena rasanya tidak mungkin kamu melihatku lebih dari teman. Akhirnya lagi-lagi aku menjalin hubungan dengan beberapa teman lelakiku. Sampai akhirnya hari itu tiba. Hari di mana kamu, aku, dan pacarku ada di tempat yang sama. Sedikit dilema di dalam hatiku, ke mana hati ini ingin berlabuh. Tanpa berkata apa pun, pacarku merasakan ada yang aneh dengan diriku. Dia menanyakan siapa kamu kepadaku. Aku menjawab kamu temanku. Seperti tidak percaya, pacarku menanyakan kembali apa betul hanya teman. Aku hanya bisa mengangguk. Itu pertama kalinya pacarku merasa cemburu. Dan itu karena kamu.

Waktu terus bergulir. Di saat aku semakin jauh dengan pacarku, kamu kembali dekat denganku. Ya, tetap tidak sedekat dulu. Tapi aku masih merasakan kenyamanan yang sama. Aku sudah cukup bersyukur dengan kenyataan ini. Sepertinya Tuhan menguji hatiku, aku berpisah dengan pacarku, dan kita semakin sering bertemu. Mungkin ini takdir, pikirku lagi. Namun aku masih menahan perasaan ini di dalam hati saja. Karena aku tidak berani kehilangan kamu. Hati kecil ini tahu, atau sok tahu, yakin bahwa kamu tidak merasakan hal yang sama. Jadi, aku cukup mencintaimu dalam hati saja.

Seperti tahu aku sudah rela, kamu tiba-tiba memiliki kekasih. Mungkin ini pertama kalinya perasaanku sungguh tercabik-cabik. Belum lagi pasanganmu begitu baik. Dia menjalin hubungan baik denganku. Aku rasa aku benar-benar harus ikhlas dengan perasaanku kepadamu. Tapi perih selalu datang setiap kali melihat kalian bersanding berdua.

Satu hal yang membuat aku tidak bisa melupakan perasaanku terhadapmu adalah kamu selalu tahu membuatku tenang. Di saat kita bertemu kamu selalu mengusap lembut kepalaku bagaikan aku anak kecil. Kamu tahu apa imbas dari perbuatanmu itu? Ruang hatiku begitu hangat, seolah ada yang berbisik "Aku ada di sini, aku akan melindungimu". Aku tahu itu berlebihan. Tapi itu yang aku rasakan. Suatu ketika pun pernah aku merasakan gelagatmu ingin memelukku, tapi kamu urungkan niat itu dan lebih memilih mengusap kepalaku. Hanya bisa ku balas dengan senyum dan melingkarkan tanganku di belakang badanmu.

Mungkin aku sudah terlalu sayang. Mungkin ini yang namanya tulus. Aku juga tidak tahu. Aku harap kamu mengizinkan aku merasakan hal ini. Dan aku berharap kamu dapat membalasnya. Harapan yang sungguh tidak mungkin terkabul, aku tahu. Kamu sudah memiliki wanita yang kamu pilih. Dia wanita yang begitu baik. Aku harap hubungan kalian juga baik-baik saja.

Satu-satunya cara aku bahagia adalah dengan melihatmu bahagia. Maka dari itu bahagialah selalu. Maafkan aku yang tidak bisa menghapus perasaan ini. Semoga kamu tidak merasa keberatan.

Aku sayang kamu.