Jumat, 19 Desember 2014

Ketika Suatu Lagu Mampu Menggugah Hati

Bagaimana bisa arti lirik suatu lagu berbahasa asing membuat emosi seseorang bergejolak?

Itulah mengapa saya menyukai rangkaian kata yang ada di dunia ini. Begitu beragam. Dan apabila disusun dengan baik akan menghasilkan kalimat indah yang bisa menggugah hati seseorang. Hal ini makin saya cintai semenjak kebiasaan baru saya beberapa hari ini.

Jadi, beberapa hari terakhir ini saya mengagumi seorang penyanyi asing yang juga membintangi variety show di salah satu negara di Asia. Awalnya bukan karena tahu dia seorang penyanyi atau memiliki wajah yang tampan, tapi karena sifatnya di dalam acara tersebut yang cukup menarik hati saya. Yaa kurang lebih sama ketika saya menyukai seseorang dari sifatnya (ga nyambung sih, biarin aja deh). Baru setelah itu saya tertarik untuk mencari lagu-lagu yang dipopulerkan oleh grup duonya. Kabarnya lagu-lagu yang dia ciptakan banyak yang bernuansa kelam tidak seperti kesehariannya di acara tersebut.

Akhirnya saya mencari lagu-lagunya di Youtube dan mencari yang mencantumkan lirik Bahasa Inggris. Ini kali pertama saya berusaha mendengarkan lagu berdasarkan arti liriknya. Dan ternyata benar. Liriknya berhasil menyayat hati hingga mengeluarkan air mata saya.

Baiklah saya sebut saja nama grup duonya, yaitu Leessang. Grup duo ini berasal dari Korea. Saya tidak ingin mengatakan terang-terangan di awal karena seperti senjata makan tuan, saya sebenarnya termasuk orang yang tidak suka yang berbau Korea. Tapi setelah saya menonton beberapa variety show Korea saya menyimpulkan bahwa saya cukup menyukai acara seperti ini. Mungkin karena acaranya lucu dan saya suka tertawa. Tapi sepertinya karena saya bukan orang yang hobi menonton jadi drama atau film Korea saya tetap tidak suka.

Oke, kembali ke Leessang. Lagu pertama yang saya perhatikan liriknya dengan seksama adalah lagunya yang berjudul The Girl Who Can't Break Up and The Boy Who Can't Leave. Panjang ya judulnya. Sekali dengar dan menonton musik videonya saya langsung suka! Ditambah dengan arti liriknya yang begitu dalam dan membuat saya berpikir akan kehidupan saya nanti. Mungkinkah saya bisa bertahan di waktu yang lama bersama seorang laki-laki yang sama sepanjang waktu hingga akhir hayat? Lagu ini bisa-bisanya membuat saya berpikir demikian. Pasti banyak yang tidak percaya. Coba saja tonton dan buat testimoni kalian sendiri karena ini hanya pendapat pribadi saya.

Dan tadi malam saya mulai mencari lagi. Sesampai di kosan saya langsung membuka laptop untuk mencoba mencari lagu-lagu lain. Dan saya menemukan yang berjudul Someday. Kalian tahu apa reaksi saya mengenai lagu ini? Saya menangis. Hebat ya. Arti liriknya benar-benar seperti yang sedang saya rasakan dan saya juga sedang memikirkan orang yang tepat dengan lagu tersebut.

Tiada lagi kata yang bisa menggambarkan kekaguman terhadap lagu-lagu yang diciptakan selain hebat. Bisa membuat seseorang merasakan begitu dalam hingga terhanyut.

Tadinya pos ini dibuat untuk berkeluh kesah tentang kegalauan hati setelah mendengarkan Someday. Tapi sepertinya akan lebih baik ini dijadikan pos motivasi semoga suatu hari nanti saya pun dapat merangkai kata-kata menjadi sebuah cerita yang dapat dengan mudah diterima oleh orang banyak dan tepat di hati para pembaca. Semoga. Aamiin.

(Untuk pos galaunya ditunda dulu ya, mungkin akan lebih baik jika berupa cerpen nantinya :p Salam)

Sabtu, 13 Desember 2014

Semoga Tidak Gila dan Nekat

Saya benar-benar tidak sanggup lagi setiap hari harus mendengar suara-suara keras dan dengan nada tinggi yang keluar dari mulut orang-orang yang sama. Entah mengapa mereka harus berselisih setiap harinya.

Sesungguhnya saya senang mendengar suara keras. Maksud saya lagu-lagu yang keras. Seperti lagu rock dan lagu-lagu yang sering diputar di klub. Sering saya mendengarkan lagu-lagu dengan headphone dan memasang volume maksimal. Tujuan saya melakukannya hanya untuk menutupi suara keras yang bersumber langsung dari manusia-manusia yang tinggal bersama dengan saya. Setidaknya saya bisa pura-pura tidak dengar atau ikut berteriak sambil menyanyikan lagu yang berkumandang di telinga saya untuk menutupi kekesalan saya oleh ulah mereka.

Kekesalan saya mulai muncul ketika terdengar suara manusia yang mulai meninggi. Bukan karena mereka sedang menyanyi dan sedang berusaha melakukan falseto. Tapi karena mereka marah-marah. Marah-marah karena sebab yang kecil. Beberapa penyebabnya antara lain karena tidak ingin merasa bersalah, merasa teraniaya atau tidak ada orang yang sependapat dengannya, salah paham, dan lain-lain.

Saya juga mulai membenci, bukan hanya tidak suka, suara-suara keras yang dihasilkan oleh benda-benda di sekitar saya akibat dari ulah manusia-manusia yang tinggal bersama saya, misalnya suara bantingan pintu, atau suara klakson yang menderu. Bisa dengan mudahnya emosi saya naik.

Dan ada lagi yang membuat saya muak akhir-akhir ini. Sikap manusia yang hanya ingin diperhatikan namun tidak berusaha untuk memperhatikan orang lain. Ingin didengarkan tapi tidak ingin mendengar orang lain. Oleh karenanya, apa pun yang saya lakukan akan selalu salah di matanya. Maksud hati ingin memberikan waktu istirahat agar tidak terlalu lelah karena setiap hari berpergian malah dianggap tidak sayang lagi dan tidak ingin menemani.

Hal memuakkan lainnya adalah diberi tahu hal yang sama berulang-ulang untuk melakukan sesuatu. Saya muak. Seperti tidak dipercaya dan dianggap tidak punya otak untuk melakukan hal itu. Padahal sebaliknya, saya sudah melakukannya sebelum hal itu diberitahukan. Entahlah, mungkin dipengaruhi nada suara yang tidak enak ketika pesan itu disampaikan membuat saya merasa direndahkan.

Hal-hal tersebut yang akhir-akhir ini membuat saya sakit kepala. Benar-benar sakit kepala yang menyakitkan. Berharap ini bukan menjadi awal suatu penyakit keras yang tidak ada penyembuhnya.

Saya juga berharap saya tidak gila. Karena harus terkurung dalam keadaan yang sama dalam waktu yang tak bisa ditentukan sampai kapan. Mungkin seumur hidup. Tak tahu juga. Atau mungkin saya sudah gila dari sebelum saya menuliskan hal ini.

Entah apa tujuan saya di sini. Mungkin hanya untuk membagi beban di otak. Orang bilang kalau menceritakan masalah ke orang lain maka beban yang terasa akan semakin ringan. Semoga saja setelah ini sakit kepala saya semakin berkurang. Jangan sampai membuat saya kehilangan akal sehat dan akhirnya saya memutuskan untuk....

Selasa, 09 Desember 2014

Mimpi dalam Mimpi

Hangat. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan seperti ini. Ada seseorang yang menggenggam tanganku dari belakang. Tidak, tidak mungkin dia.

“Hei! Nanti dimarahi loh sama seseorang,” ku tolehkan kepalaku ke kanan, ada Luki sahabatku sedang memergoki seseorang di sebelah kiriku.

Secara reflek aku mengikuti arah pandang Luki. Benar, ternyata dia. Seorang lelaki yang telah menghancurkan hatiku. Fariz. Jemarinya telah menggamit jemariku dengan erat. Senyumnya yang berhasil meracuni hatiku begitu terkembang di bibirnya. Sekarang, apa lagi? Pikirku. Menolak untuk merasa senang dengan aliran hangat yang mulai mengalir kembali ke hatiku, aku membuang muka, menatap jalanan di bawah kakiku.

“Tidak lagi hahaha. Lo curang Ki mau nguasain Lara sendirian. Emang nanti pacar lo ga marah?” tanpa sadar aku telah melingkarkan tanganku dengan tangan Luki. Luki yang menyadarinya bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan diriku hanya bisa mengusap tanganku dengan lembut, seperti mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Maksud lo udah ga lagi apa, Riz? Rahma udah tahu Lara kali.”

“Ra, apa kabar?” seperti tak mengacuhkan jawaban Luki, Fariz mengalihkan pandangannya kepadaku. Bimbang bagaimana harus menjawabnya dan dengan raut muka seperti apa, aku memilih menatap Luki. Luki yang mengerti maksudku hanya mengangguk, memberi tanda untuk membebaskanku menjawab pertanyaan Fariz.

Setelah berusaha mengumpulkan segenap tenaga, aku menengokkan kepalaku ke Fariz. Senyumnya masih ada di sana. “Kantin yuk,” mungkin Fariz tahu aku belum siap, sehingga dia lebih memilih mengajak aku dan Luki ke kantin.

Waktu sudah menunjukkan tengah hari, saatnya istirahat makan siang. Tadinya aku dan Luki sudah janjian dengan Rahma untuk makan siang bersama di salah satu restoran sushi yang berada di antara kantor Rahma dengan kentorku dan Luki. Tapi karena tiba-tiba menghadapi situasi seperti ini, Luki tidak mampu meninggalkanku sendirian. Akhirnya Luki memutuskan untuk menjemput Rahma dan mengajak Rahma makan di kantin kami, itu juga setelah mendapatkan persetujuan dariku untuk meninggalkan aku dan Fariz berdua saja.

“Ra, beneran gapapa gue tinggal? Rahma bisa kok gue suruh ke sini sendiri, dia pasti ngerti,” Luki yang khawatir berulang kali menanyakan hal ini padaku.

“Gapapa Ki, entah sekarang atau besok pasti gue harus mengalami hal ini. Kalau lo dan Rahma mau tetep makan sushi juga gapapa,” aku menjawab Luki dengan menambahkan senyum untuk meyakinkan Luki.

“Kalau ada apa-apa telepon gue atau Rahma ya Ra, jangan maksain diri,” Luki pergi setelah menepuk pundakku. Sepanjang perjalanan Luki keluar kantin, bolak-balik ia menatap ke belakang, memperhatikanku dengan penuh kekhawatiran. Aku memberinya senyum lagi dan pura-pura mengusirnya untuk menghibur kekhawatiran Luki.

Setelah Luki sudah tidak lagi terlihat, aku melemaskan badanku di bangku kantin. Menarik dan membuang napas panjang untuk menenangkan diri. Tak lama, Fariz kembali ke meja kami setelah memesan makanan.

“Luki mana?”

“Jemput Rahma di depan,” jawabku singkat.

“Oh…”

“Riz, gue pesan makanan dulu ya,” aku segera berdiri, mencari alasan untuk tidak bersama Fariz walau dalam waktu singkat.

“Ga usah Ra, udah gue pesenin. Sate ayam bumbu kecap dengan lontong dan es teh manis kan?” akhirnya aku duduk kembali, sedikit tercengang ternyata Fariz masih mengingat makanan favoritku di kantin ini.

Sepi tanpa obrolan menyelimuti kami berdua. Sibuk dengan handphone masing-masing. Luki mengirimkan pesan berulang kali ke handphone-ku hanya untuk memberitahukan posisinya sudah berada di mana. Tersenyum aku membacanya. Senang rasanya memiliki sahabat yang mengkhawatirkan keadaan sahabatnya.

“Ra,” akhirnya Fariz duluan yang memecah keheningan.

“Ada apa Riz?” aku rasa aku sudah cukup nyaman untuk menghadapi Fariz sekarang.

“Gue mau minta maaf atas kejadian waktu itu.”

Kenangan yang ditorehkan oleh Fariz sejenak menyeruak di dalam kepalaku. Keputusan sepihak Fariz untuk memutuskan tali persahabatanku dengannya setelah ia mengetahui ada perasaan lebih dari teman yang ku pendam terhadapnya. Hal tersulit yang harus ku terima. Padahal aku telah menjelaskan semuanya, aku tidak mengharapkan status apa pun darinya karena aku tahu Fariz sudah memiliki kekasih yang tidak lain adalah teman satu divisiku di kantor. Tapi komitmen Fariz cukup kuat untuk meninggalkan aku yang hanya sebagai temannya. Sejak hari itu Fariz tidak pernah muncul di depan mataku walaupun dia dan Luki masih sering bertemu.

“Untuk apa? itu semua keputusan lo. Jadi gue ga punya hak menerima maaf dari lo.”

“Iya, gue tahu. Maka dari itu gue mau minta maaf. Keputusan gue salah untuk meninggalkan lo.”

“Karena?”

“Gue kangen sama lo,” kedua tangan Fariz mulai meraba lembut kedua tanganku.

“Riz, lo ga bisa kaya gini ke gue,” aku mendorong tangannya.

“Kenapa Ra? Gue pengen kita temenan lagi. Gue ga peduli walau cewe gue ga memperbolehkan gue untuk temenan sama lo. Tapi gue merasa kehilangan temen terbaik gue. Dan cewe gue ga bisa menggantikan posisi lo.”

Rasanya air mataku mulai ingin menetes, “Ya, lo memang ga peduli. Lo ga peduli dengan apa yang lo perbuat. Dulu lo hanya menyetujui apa yang disuruh pacar lo untuk menjauh dari gue tanpa peduli perasaan gue bakal jadi kaya apa. Sekarang lo butuh gue dan lo ga peduli dengan perasaan cewe lo. Lo ga dewasa Riz!”

Segera aku berdiri dan meninggalkan Fariz. Air mataku yang sudah ku tahan akhirnya mulai bercucuran. Di pintu kantin aku menabrak Luki yang sempat menarik tanganku dan bertanya ada apa tapi aku memilih untuk pergi. Aku sempat mendengar gebrakan meja dari dalam kantin yang ku rasa Luki pelakunya, memarahi Fariz yang membuatku menangis kembali.

Hari ini aku hanya menangis tanpa suara di dalam toilet wanita hingga lelah. Dan akhirnya aku terbangun…

Mimpi? Ku lihat kanan kiriku. Aku berada di kamarku. Matahari sudah cukup tinggi, menyusup masuk dari balik tirai. Badanku penuh peluh. Lagi-lagi aku memimpikan Fariz. Sudah setahun putus kontak dengannya malah semakin sering aku memimpikan Fariz. Entah apa yang aku pikirkan hingga mimpi selalu memunculkan wajahnya.

Tok tok tok. Pintu kamarku diketuk.

“Nak, sudah bangun?”

Ternyata umi yang mengetok pintu, “Sudah, Mi.”

“Cepat mandi. Ada yang mencarimu.”

“Siapa Mi?”

“Mandi saja dulu. Dia sedang ditemani abi mengobrol.”

Siapa? Aku mengingat-ingat sepertinya tidak ada yang membuat janji denganku di Sabtu pagi. Aku mengecek handphone siapa tahu ada yang mendadak memberi kabar ingin ke rumah. Tapi tidak ada. Hanya ada pesan dari Rahma yang ingin memastikan nanti malam aku jadi pergi dengannya, karena saat ini Luki sedang dinas di luar kota.

Selesai mandi dan menyiapkan diri, aku ke ruang makan mendekati umi. Terdengar suara tawa renyah dua orang lelaki dari teras rumah. Yang satu suara abi sedangkan yang satu lagi suaranya cukup ku kenal. Tapi tak satu pun nama teringat olehku.

“Ada siapa Mi? Beneran nyari aku? Bukan nyari abi? Itu kayanya seru banget ngobrol sama abi.”

“Abi kan seneng kalau ada temen ngobrol, Nak. Kan di rumah ini ga ada temen yang nyambung diajak ngomongin bola.”

“Terus siapa Mi? kan Luki lagi dinas.”

“Kalau penasaran lihat saja sendiri. Umi saja kangen lihat dia di sini,” umi tersenyum dan mengangkat nampan dengan dua cangkir teh hangat di atasnya. Aku mengikuti umi dari belakang karena umi ingin mengantarkan sendiri minumannya.

“Silakan diminum, Nak Fariz. Ini Lara sudah bangun. Yuk Abi masuk gantian ngobrolnya sama Lara. Jangan sungkan ya Riz.”

Kaget, aku hanya bisa mematung di depan pintu. Kejutan apa lagi yang aku dapatkan setelah mimpi yang menguras tenaga tadi malam.

“Ra?”

Tersadar, aku segera duduk di kursi yang tadi ditempati abi. Mencoba santai aku mulai bertanya, “Ada apa Riz?”

“Apa kabar?” pertanyaan yang sama seperti di dalam mimpi. Setelah mimpi yang begitu menguras emosi, pertanyaan Fariz menjadi pertanyaan tersulit untuk ku jawab.

Melihat gelagatku yang sulit untuk menjawab, Fariz meneruskan kalimatnya, “Maaf gue ganggu ke rumah lo pagi-pagi di saat lo seharusnya menikmati Sabtu dengan santai.”

Fariz menatapku, dan menangkap bahwa aku tidak ingin menanggapi basa-basinya. Ia meneruskan kata-katanya, “Abi masih sama ya kaya dulu, masih sehat dan bugar. Tidak terlihat tua sama sekali.”

Aku bergeming. “Ada apa Riz?” tanyaku lagi.

“Baiklah, sepertinya lo masih marah sama gue. Gue ke sini mau minta maaf. Jujur saja setahun ini terasa berat buat gue untuk menjauh dari lo setelah dua belas tahun ke belakang kita selalu bareng. Maafin gue ga bisa mengubah keputusan gue tahun lalu walaupun itu keinginan sepihak dari pacar gue. Karena gue sudah janji untuk berkomitmen penuh dengannya. Salah gue tidak menyadari perasaan lo lebih dulu. Mungkin kalau gue sadar, kisah kita ga bakal berakhir kaya gini.”

Aku tersentak mendengar akhir kalimat yang diucapkan Fariz. Aku langsung menatapnya dan terlihat tidak ada kebohongan di dalam matanya. Lagi-lagi air mataku mulai menetes. Fariz menghampiriku, berlutut di depanku, lalu memelukku. Tangisku pecah seiring dengan kata maaf yang dibisikkan Fariz di telingaku.

“Maaf aku harus membuat kamu terluka lagi. Aku memang bukan lelaki yang baik buat kamu karena hanya bisa membuat kamu menangis. Aku harus menyerahkan ini sama kamu. Maafkan aku,” Fariz memberikan sebuah amplop berwarna merah marun berbentuk persegi dengan dua inisial huruf di depannya.

“Minggu depan aku menikah. Maafkan aku, Ra. Sampai akhir aku ngga bisa memilih kamu. Walau perasaan ini ga akan pernah berubah untuk kamu.”

Fariz memelukku sekali lagi, lebih erat dari sebelumnya. Andai waktu dapat berhenti, aku ingin waktu berhenti sekarang. Tidak ku lepas pelukan Fariz. Ia menghapus air mataku yang terus mengalir di pipi. Dan akhirnya ia melepas pelukkannya padaku.

“Maaf Ra aku harus pergi,” Fariz berdiri di hadapanku dan aku merangkulnya erat. Dengan enggan, Fariz melepas tanganku yang melingkari badannya. Dikecupnya keningku sebelum dia berbalik dan meninggalkanku.

Sakit. Ini terlalu sakit. Mengetahui seseorang memiliki perasaan yang sama tapi tidak ditakdirkan untuk bersama. Apa maksud Tuhan mempertemukan kita? Menguji kekuatan hatiku? Rasanya aku menangis sampai air mataku habis.

“Ra, bangun Ra,” seseorang memanggil namaku dan mengguncang badanku. Suaranya penuh kekhawatiran.

Ku buka mataku perlahan. Buram. Pandanganku tertutup air mata. Aku di mana?

Ku kerjapkan mataku berkali-kali untuk melihat lebih jelas. Fariz! Fariz ada di depan mataku saat ini? Apa ini? Mimpi lagi?

“Sayang kamu kenapa? Tiba-tiba kamu nangis pas tidur,” Fariz memelukku.

“Riz, ini di mana?”

“Ini di kamar kita sayang.”

“Kita?” aku mulai bingung.

“Ra kayanya kamu tadi di kantor kerjaan kamu terlalu berat sampai kamu linglung begini. Iya, ini di kamar kita, istriku,”

Istri? Loh, tunggu… Ini bukan mimpi kan?