Kamis, 27 Februari 2014

Being Alone

Semakin bertambahnya waktu, semakin terasa begitu banyak yang harus dipikirkan. Belum wisuda saja saya mulai memikirkan ingin kerja di mana dan seperti apa. Lalu nanti kalau sudah kerja mau ngapain lagi. Hal-hal yang seperti itu mulai sedikit demi sedikit muncul di dalam kepala, meminta untuk dipikirkan. Padahal yang sedang dihadapi sekarang saja belum rampung diselesaikan.

Belum lagi saat ini saya lebih sering sendiri. Seharusnya sih waktunya digunakan untuk mengerjakan skripsi, tapi nyatanya malah lebih sering menengok ke blog ini. Entahlah, rasanya kesendirian ini terlalu mengusik pikiran (ketimbang skripsi).

Pada dasarnya pikiran ini (lebih sering sendiri) mulai muncul dari semester lalu, dimulai dari sulitnya mencari teman berkumpul, yang ujung-ujungnya saya memilih bermain bersama teman-teman lelaki walaupun itu tidak dalam waktu yang lama. Ujung-ujungnya juga nyari teman-teman di luar kampus pada di mana, kalau bisa ketemu itu akan lebih menyenangkan ketimbang harus muter-muter ke seisi kampus yang belum tentu menemukan teman yang klop.

Kemudian di awal semester baru ini, di mana kuliah baru dimulai kembali, pemikiran itu semakin parah. Sialnya jadi mahasiswa biasa saja (atau agak sedikit di bawah biasa saja), di semester akhir ini masih harus mengambil kuliah yang belum diambil semester lalu dan mengulang suatu mata kuliah sambil mengerjakan tugas akhir. Alhasil, setiap ke kampus bawaannya males. Senang juga ngga. Tugas akhir keteteran. Teman juga ga ada. Die aja lo, Yu! (Eh, jangan dong kan masih penasaran siapa nanti yang bakal jadi suami gue.)

Sendirian itu benar-benar tidak asyik sama sekali. Kecuali memang lagi menikmati angin semilir di taman sembari membaca novel romantis. Ya pokoknya yang semacam itu. Mungkin pemikiran ini masih sangat kekanakan, tapi memang saya tidak terlalu suka sendirian.

Berada di tempat umum dan sendirian itu rasanya aneh banget. Kalau menuju suatu tempat sendirian sih udah biasa (secara ga punya pacar, jadi ga ada yang nganterin #loh #kemudiancurhat #dengerinmusik #kemudiangalau). Tapi kalau udah sampai di suatu tempat umum dan sendirian itu rasanya pengen nangis pake banget. Sebenarnya ga benar-benar sendiri, tapi di sekeliling bukan bersama orang yang bisa diajak seru-seruan kayanya basi banget hidupnya. Ya walaupun emang terkadang butuh me time, tapi di luar itu benar-benar menyiksa deh kalo sendiri.

Dan teman-teman yang paling setia menemani di saat sendirian kaya gini ada beberapa, yaitu: laptop, hp, dan novel. Well, mereka adalah teman terdekatku yang paling ga bisa aku tinggal ke mana-mana. Tiap pergi pasti di dalam tas ada paling ngga ada satu di antara mereka yang menemani. Pathetic? Not really. Selama tidak mulai ngomong sendiri dilanjutkan tertawa sendiri.

Kesimpulannya di sini, selama masih ada teman di sekitar kalian yang peduli dengan kalian, dan bahkan meluangkan waktu untuk bersama kalian lebih baik disyukuri. Karena waktu adalah satu-satunya hal yang tak bisa diminta atau dikembalikan. Manfaatkanlah waktu bersama orang-orang tersayang sebelum akhirnya kalian benar-benar sendirian hingga kegelapan menjemput.

Senin, 24 Februari 2014

Who is Your Best Friend?

Jikalau ada evaluasi akhir tahun di institusi ini untuk mengetahui apa saja yang didapat selama nyaris empat tahun yang telah dijalani, mungkin jika (lagi-lagi jika) ada pertanyaan yang begitu beragam saya kira yang paling sulit dijawab adalah pertanyaan berikut:

Who is your best friend in this college?
Siapa teman terbaik Anda di kampus ini?

Saya kira membutuhkan waktu lebih dari dua jam untuk memberikan jawaban pada pertanyaan tersebut. Bahkan saya rasa sehari tidaklah cukup.

Kehidupan kampus memang sangat mengajarkan saya bagaimana cara bertahan untuk hidup. Karena jujur saja, walaupun di kampus memang diajarkan para senior untuk membentuk relasi dengan saling berkenalan antar angkatan, tetap saja rasanya di kampus saya sendirian. Istilah mudahnya tiada teman bergantung. Semua punya kesibukan sendiri.

Individualis dan idealis sangat dirasakan ketika saya sudah cukup lama beradaptasi di kampus. Untuk saya sendiri sangat sulit untuk mencari teman yang "klop". Cukup bersyukur masih ada teman yang menganggap saya satu "geng" dengan mereka. Tapi bagi saya, saya masih berada di lingkaran yang berbeda dengan mereka, belum masuk pada lingkaran yang sama. Maaf jika ada yang terluka, tapi memang seperti itulah yang saya rasakan.

Lalu, ke mana saya bercerita, minta tolong, bersuka-duka? Tidak salah lagi, saya mencari sahabat-sahabat lama saya. Sahabat SD, SMP, maupun SMA. Saya masih sangat merasakan mereka ada buat saya.

Beberapa contoh kecil seperti meminjam obeng, saya lebih memilih meminjam teman SMA saya yang jarang bertemu ketimbang dengan teman kampus saya. Ketika ada teman yang sedang mengalami duka, tidak segan saya langsung mengunjungi mereka atau menjenguk mereka di rumah sakit. Dan ketika ada teman saya yang mengadakan selebrasi, semuanya pun berkumpul saling membagi suka cita walau selama ini kami jarang sekali bertemu. Mungkin ini disebabkan karena kami pernah susah senang sama-sama dan rasa saling mengenal itu ada, sehingga timbul kehangatan seperti keluarga.

Namun untuk melaksanakan hal yang sama di area kampus, entah mengapa sangat sulit. Kehangatan yang terjadi di antara saya dan teman-teman saya dahulu selalu jadi perbandingan dengan kondisi saat ini. Sehingga sulit mendapatkan kecocokan dengan teman-teman di sini.

Mungkin jika dilihat saya memang orang yang "supel" mudah masuk di dalam kelompok mana pun. Ya, benar. Hal ini dikarenakan kecocokan tadi. Namun, karena hal tersebutlah sering kali saya sendirian. Ada masa di mana pembagian kelompok selalu kuhadapi dengan hembusan nafas panjang. Entah harus masuk kelompok yang mana jika saya tidak bersuara. Pasti ketika saya bertanya kelompok mereka sudah penuh atau belum ada saja yang menjawab, "Oh belum ada kelompok? Kirain udah sekelompok sama si anu." Dan si anu yang disebutkan selalu bervariasi, akibat dari yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Maka dari itu, jika pertanyaan di awal dilontarkan, maaf beribu maaf, saya memang sangat sulit untuk menjawabnya. Harap maklum.

Kamis, 20 Februari 2014

Mengapa Harus Ada Cinta?

Halo, akhirnya jumpa lagi dengan blog yang sudah melapuk ini. Sudah lama sekali tidak menumpahkan segalanya di sini. Mungkin sekarang saatnya.

Semester telah berganti, resolusi mulai dibuat kembali. Memusnahkan perasaan menyukai seseorang sepertinya tidak dapat dijadikan resolusi apabila orang yang bersangkutan masih berada di sekitar kita. Dan akhirnya hanya menjadi resolusi yang berat untuk dicapai.

Sudah mulai tidak bergantung dengannya adalah awal yang tepat, namun ternyata takdir berkata lain. Sepertinya Tuhan sedang memberi sedikit ujian dengan memberikan jadwal kegiatan yang mengharuskan aku bertemu dengannya. Rasanya ingin bertanya langsung kepada Tuhan, "Apa yang Engkau rencanakan? Membuat hatiku kembali merasakan sakit? Atau ada hadiah terindah apabila aku berhasil melewati ujianmu ini?" Tapi Tuhan tidak akan menjawab langsung pertanyaanku ini.

Hal paling sulit yang harus aku hadapi adalah menemukan dirinya bersama sang pujaan hati. Sering kali nafasku sesak karenanya.  Rasa-rasanya ingin segera pergi dan menghirup udara segar saja. Masih sulit untuk menerima kenyataan adalah sesuatu hal yang wajar, kan?

Dan semalam, seperti merasa tertampar mendengar salah satu lagu Kahitna. Ya, benar. Lagunya berjudul Cinta Sendiri.

"Pedih aku rasakan
kenyataannya
cinta tak harus
selalu miliki"

Tak harus selalu miliki. Lalu, mengapa harus ada cinta? Toh ujungnya tak harus saling memiliki. Hanya meninggalkan rasa sakit. Apa gunanya rasa sakit ini?