Minggu, 23 Mei 2010

Jeritan Hati Anak yang (Merasa) Dikungkung

Terkadang merasa berbeda. Aku tidak seperti anak-anak seusiaku. Mau yang ini dilarang, yang itu dilarang. Begini salah, begitu juga salah. Ini tak boleh, itu tak boleh pula. Aku pikir ini hanya larangan sesaat. Ya, sesaat dalam arti aku masih kecil yang bisa dikatakan jam 1 harus di rumah, cuci muka, kaki, dan tangan lalu tidur siang. Mungkin umurku saat ini belum boleh bermain-main karena mereka merasa khawatir.

Waktu terus berlalu. Teman-temanku mengajak aku dan yang lain untuk sekedar menghirup udara segar. Seperti biasanya, aku hanya menghela nafas panjang dan berkata, "Maaf, aku harus ada di rumah jam 3." Aku berpikir asyik sekali mereka bisa menghirup udara luar tanpa berkutat dengan yang lain, sedangkan aku... Aku yang selalu di dalam sel maya, dikurung. Merasa kurungan tersebut tidak pernah longgar dari dulu.

Sekarang aku sudah menginjak umur yang sudah tidak remaja lagi namun belum cukup dewasa. Aku kembali berpikir, sekarang adalah saatnya untuk merasakan kegilaan yang dulu belum aku rasakan. Rasanya aku seperti anak yang ditinggalkan zaman. Yasudahlah, itu nasibku. Tapi ternyata sel itu tidak hilang. Aku merasa di bui, tidak merasakan kebebasan.

Ini tidak adil! Kapan aku merasakan kebebasan! Aku ingin merasakan apa yang seharusnya kurasakan! Setelah dipikir-pikir sudah lama juga aku tak merasa di atas awan. Terbang bebas dan tersenyum hangat. Kemana kehangatan itu? Sepertinya sudah tidak mungkin kembali karena aku sudah ditinggalkan berabad-abad yang lalu. Haha, kasian sekali diriku. Menjadi seperti ini.

Mungkin teman-temanku selalu melihat aku tanpa beban. Sayangnya kalian semua tertipu! Aku kan manusia, jadi bisa mengenakan berbagai topeng untuk membuat yang lain tidak bermuram durja, biarkan aku saja yang merasakan. Karena aku merasa kalian adalah hartaku yang paling berharga.

Tidak, tidak. Kalian tidak perlu mengasihani diriku, sebab bukan itu yang kubutuhkan. Aku butuh kebebasan! Aku hanya ingin melepaskan semua yang telah menjerat diriku dan menjebol tembok-tembok yang mengurungku.

Hanya itu.

Sekian.

Inilah aku, anak yang merasa dikungkung.